Pada Pemilu 2019 ada 309.762 warga Pemalang tidak hadir ke TPS. Siapakah mereka ini? Apa yang harus KPU lakukan agar di Pilkada 2020 kasus golput tidak terjadi sebanyak itu?
Untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan di atas KPU Kabupaten Pemalang baru-baru ini membuat penelitian khusus. KPU turun ke desa-desa yang angka partisipasi pemilihnya rendah. KPU mewawancarai kepala desa, ketua RT, tokoh masyarakat, mantan petugas TPS (KPPS), dan warga yang pada Pemilu lalu tidak mencoblos.
Kesimpulan pertama penelitian menyatakan perantau merupakan pelaku golput paling mencolok di Pemilu. Golput secara massif terjadi di Pemalang selatan yang notabene kantong perantau. Di sana ada 34 dari 90 desa punya angka partisipasi di bawah 65 persen. Partisipasi paling tragis terjadi di Kecamatan Moga. Hanya dua dari 10 desa yang partisipasi pemilihnya di atas 65 persen.
Kesimpulan kedua menyatakan golput di pemilih lanjut usia (lansia) tidak terlihat mencolok tapi signifikan mengurangi angka partisipasi. Lansia adalah mereka penduduk berusia 60 tahun ke atas. Faktor kesehatan serta kesadaran keluarga lansia menjadi sebab utama komunitas ini golput.
Kesimpulan ketiga ada pada data pemilih itu sendiri. Data penelitian menyebut ada 79.638 pemilih yang pada hari coblosan sudah tidak berada di Kabupaten Pemalang karena berbagai alasan. Antara lain si pemilih sudah meninggal dunia, pindah alamat, tidak dikenal, tidak dapat ditemui, dan alasan lain.
Rekayasa Elektoral
Pilkada di masa pandemi akan jadi tantangan sekaligus peluang bagi perbaikan angka partisipasi. Para perantau golput karena pada hari coblosan tidak bisa pulang ke Pemalang. Tapi karena pandemi (sementara) mereka memilih tetap tinggal di kampung halaman sampai wabah covid-19 berakhir.
Gugus Tugas Covid-19 Kabupaten Pemalang menyebut 100.350 orang pulang kampung semasa pandemi. Cepat atau lambat para perantau itu akan berangkat lagi ke Jakarta. Itu artinya KPU harus punya strategi khusus agar mereka tetap bisa menggunakan hak pilih pada 9 Desember 2020.
Mengimbau apalagi memaksa mereka untuk pulang di hari coblosan tidaklah mungkin dilakukan. Satu-satunya cara agar komunitas perantau tidak golput adalah diperbolehkannya pemberian suara via pos. Jadi perantau bisa mencoblos kemudian mengirim surat suara dari tempat mereka kerja tanpa harus mudik ke kampung halaman.
Apakah cara ini bisa diterapkan di Pilkada 2020?
Pemberian suara via pos bukanlah hal baru. Metode ini sudah lama KPU terapkan bagi para pemilih luar negeri di setiap Pemilu. Jadi ada peluang besar cara yang sama juga bisa diterapkan pada Pilkada 2020. Apalagi baru-baru ini Ketua KPU RI sempat mengusulkan ide pemberian suara via pos sebagai satu bentuk rekayasa elektoral mencegah penularan covid-19.
Ketua KPU RI juga memunculkan ide ada kotak suara keliling (KSK). Jadi nanti ada petugas KPPS bergerak dari pintu ke pintu rumah warga sambil membawa kotak suara, surat suara, dan alat coblos. Cara itu akan mendorong semua pemilih, khususnya lansia, bisa nyoblos dari rumah masing-masing. Badan Pusat Statistik (BPS) menyebut pada tahun 2020 penduduk lansia di Kabupaten Pemalang mencapai 165.540 orang.
Data Pemilih Berkualitas
Data pemilih lahir dari proses pemutakhiran data pemilih (mutarlih) yang dikerjakan oleh petugas pencocokan dan penelitian (coklit). Di masa normal petugas coklit harus door to door memastikan benar tidaknya pemilih di satu TPS. Tapi di masa pandemi petugas coklit hanya akan menemui ketua RT.
Coklit seperti ini punya kelemahan. Produk data pemilih yang dihasilkan akan sangat bergantung pada pengetahuan wilayah, kelengkapan dokumen penduduk, dan kepemimpinan yang dimiliki oleh ketua RT. Metode coklit baru ini juga akan sangat bergantung pada kecakapan si petugas coklit itu sendiri. Apakah dia sekadar bertamu, langsung mempercayai data yang dipaparkan, atau berinisiatif melakukan kroscek di lapangan saat menerima beberapa informasi yang kurang jelas dari ketua RT?
Pandemi telah memaksa semua struktur pemerintahan dari pusat sampai level RT membenahi data penduduk. Ketua RT, terutama di wilayah perdesaan, mulai sadar akan dinamika kependudukan seperti kematian, kelahiran, dan laju urbanisasi. Kesadaran ini muncul saat masa pandemi; situasi di mana mereka dituntut untuk hati-hati menyeleksi siapa saja warga yang berhak menerima bantuan sosial akibat covid-19.
Nah, awal Juli nanti, dalam suasana seperti itulah para petugas coklit bekerja. Pengalaman selama tiga bulan terakhir (menyeleksi penerima bansos) akan jadi bekal informasi ketua RT saat menerima petugas coklit. Intinya ketua-ketua RT sudah sangat siap menjawab pertanyaan-pertanyaan yang akan dilontarkan petugas coklit.
Tapi, bagaimanapun juga data pemilih berkualitas akan lahir dari proses coklit berkualitas. Itu artinya proses ini hanya bisa dilahirkan oleh petugas coklit yang mumpuni. Nah, sebagai langkah awal sebaiknya KPU melalui penyelenggara Pemilu di desa (PPS) lebih dulu menyeleksi petugas coklit terbaik.
Mereka yang terpilih harus mengenal warga setempat. Lebih baik lagi kalau petugas coklit tersebut tinggal di lingkungan RT tempat dia akan bertugas mencoklit data pemilih. []
AGUS SETIYANTO
Anggota KPU Kabupaten Pemalang, Jawa Tengah