Pemerintah dan DPR Berkukuh pada Sikapnya
JAKARTA, KOMPAS — Pembahasan ambang batas pencalonan presiden dalam Rancangan Undang-Undang Penyelenggaraan Pemilu terancam menemui jalan buntu. Sampai kemarin, fraksi-fraksi di DPR dan pemerintah masih berkukuh pada sikapnya sehingga keputusan belum bisa diambil.
Dari lima isu krusial dalam RUU Penyelenggaraan Pemilu, ambang batas pencalonan presiden menjadi isu yang paling alot. Bukan hanya fraksi-fraksi di DPR yang berkukuh pada pendirian masing-masing, melainkan juga pemerintah.
Adapun terkait tiga isu lain, yaitu sistem pemilu legislatif, metode konversi suara ke kursi, dan alokasi kursi per daerah pemilihan, pemerintah cenderung menyerahkan ke DPR. Satu isu lain, yaitu ambang batas parlemen, cenderung disepakati di angka 4 persen.
Keputusan terkait lima isu krusial itu seharusnya diambil dalam rapat antara DPR dan pemerintah, Selasa (13/6). Namun, sampai dua jam dinanti, tidak ada perwakilan dari pemerintah yang hadir. Akhirnya, rapat diundur sampai Rabu ini. Pemerintah dan partai politik diberi tambahan waktu satu malam untuk saling melobi.
Ketua Pansus RUU Penyelenggaraan Pemilu dari Fraksi Partai Kebangkitan Bangsa Lukman Edy mengatakan, lobi antara pemerintah dan enam partai politik pendukungnya (kecuali Partai Amanat Nasional, Demokrat, Gerindra, dan Partai Keadilan Sejahtera) telah dilangsungkan pada Senin malam. Namun, kata sepakat belum didapat karena semua pihak masih pada pendirian masing-masing.
“Makanya, mereka meminta tambahan satu hari lagi. Antara fraksi pendukung pemerintah saja belum ada kesepakatan, apalagi dengan yang lain,” katanya. Menurut Lukman, jika pembahasan buntu di tingkat pansus, khususnya untuk isu ambang batas pencalonan presiden, pembahasan akan dibawa ke rapat paripurna untuk diambil keputusan lewat suara terbanyak.
Syarat pencalonan
Saat ini, pemerintah dan PDI-P berkukuh pada ambang batas pencalonan presiden sebesar 20 persen perolehan kursi dan 25 persen perolehan suara nasional dalam pemilu sebelumnya. Sementara di antara fraksi di DPR beredar beberapa opsi. Selain seperti sikap pemerintah, ada opsi meniadakan ambang batas pencalonan presiden atau menurunkan ambang batas itu sampai angka tertentu.
“Syarat usung capres harus tetap diberlakukan. Jangan sampai demi memperbesar ruang kontestasi dan memperbanyak calon presiden, prinsip penguatan sistem presidensial dilanggar,” kata Sekretaris Jenderal PDI-P Hasto Kristiyanto, yang kemarin mendatangi Ketua Umum Partai Hanura Oesman Sapta Odang dan Ketua Umum Partai Golkar Setya Novanto di Kompleks Parlemen.
Di sisi lain, Fraksi Partai Demokrat berkukuh mengusulkan ambang batas sebesar 0 persen. Sementara beberapa fraksi lain bersedia berkompromi dan mengambil jalan tengah berupa ambang batas pencalonan presiden di angka 6,5 persen sampai 10 persen perolehan suara nasional.
Pemerintah berharap pembahasan tidak menemui jalan buntu. Namun, jika jalan buntu menjadi akhir dari pembahasan, pemerintah menyatakan siap kembali ke undang-undang yang lama. “Kalau sampai deadlock, ya sudah, kembali saja ke UU yang lama,” kata Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo.
Pemerintah, kata Tjahjo, memahami berbagai perbedaan, khususnya di DPR, karena isu-isu krusial dalam RUU Penyelenggaraan Pemilu menyangkut partai politik. Itu sebabnya, pemerintah kemarin memutuskan untuk tidak hadir dalam forum rapat dengan DPR. “Sudah ada kesepakatan dengan ketua pansus bahwa pemerintah tidak hadir. Rapat akan dilanjutkan besok (hari ini),” katanya.
Anggota pansus dari Fraksi Partai Nasdem, Johnny G Plate, mengusulkan agar pemerintah mempersiapkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang jika pembahasan RUU Penyelenggaraan Pemilu menemui jalan buntu.
Namun, anggota pansus dari Fraksi PAN, Totok Daryanto, mengingatkan, pembahasan jangan sampai buntu karena hal itu akan memunculkan guncangan politik. Jika musyawarah untuk mufakat tidak berhasil, pengambilan keputusan lewat voting sangat dimungkinkan.
Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi Titi Anggraini menyayangkan pembahasan yang berlarut-larut pada lima isu krusial, khususnya ambang batas pencalonan presiden, yang terlalu bernuansa elitis. (AGE/MHD)
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 14 Juni 2017, di halaman 2 dengan judul “Pembahasan Terancam Buntu”.
http://print.kompas.com/baca/polhuk/politik/2017/06/14/Pembahasan-Terancam-Buntu