September 13, 2024

Pemda dan Penyelenggara Pemilu Masih Alot Menyepakati Anggaran Pilkada

Hingga Senin (7/10/2019), sebanyak 61 daerah dari total 270 daerah yang akan menyelenggarakan Pemilihan Kepala Daerah serentak 2020 belum menyelesaikan persoalan anggaran. Salah satu penyebabnya adalah belum tercapainya kesepakatan besaran anggaran yang diusulkan penyelenggara pemilu dengan pemerintah daerah setempat.

Berdasarkan data Komisi Pemilihan Umum (KPU), 61 daerah yang belum menadatangani naskah perjanjian hibah daerah (NPHD) untuk pencairan anggaran Pilkada 2020 terdiri dari 3 provinsi dan 58 kabupaten/kota. Provinsi yang belum menandatangani NPHD yakni Bengkulu, Sulawesi Utara dan Sumatra Barat.

Sementara kabupaten/kota antara lain, Kab Gresik, Kab Jember, Kab Malang, Kab Mojokerto, Kota Surabaya, Kab Tanah Karo, Kab Simalungun, Kota Tanjung Balai, Kota Gunung Sitoli, Kab Asahan, Kota Dumai, Kab Solok, Kab Padang Pariaman, Kab Agam, Kab Pelalawan, Kab Bengkayang, Kab Banjar, Kota Manado, Kota Tomohon, Kab Pegunungan Arfak hingga Manokwari Selatan.

Selain itu, 6 provinsi yang telah menandatangani NPHD telah menyetujui Rp 917 miliar dari usulan anggaran Rp 1,7 triliun. Sedangkan 203 kabupaten/kota lainnya yang juga telah menandatangani NPHD telah menyepakati anggaran Rp 6,5 triliun dari usulan anggaran Rp 10 triliun.

Peraturan KPU Nomor 15 Tahun 2019 tentang Tahapan, Program, dan Jadwal Pilkada 2020 menyatakan, penandatanganan NPHD dijadwalkan paling lambat dilakukan pada 1 Oktober 2019.

Anggota KPU Pramono Ubaid Tanthowi saat konferensi pers di Media Center KPU, Jakarta, Senin (7/10) mengatakan, sejumlah kendala keterlambatan penandatangan NPHD yaitu belum tercapainya kesepakatan besaran anggaran yang diusulkan KPU daerah dengan pemerintah daerah (pemda) setempat. Hal ini membuat kedua belah pihak masih membutuhkan waktu untuk pembahasan anggaran yang lebih matang dan detail.

Kendala lainnya juga terjadi karena terdapat beberapa pimpinan pemda yang masih di luar daerah dalam jangka waktu yang lama; usulan anggaran lebih tinggi dibandingkan ketersediaan APBD; dan masih terdapat pemda atau DPRD yang memiliki kewenangan yang tidak sama dengan rincian anggaran yang diusulkan KPU.

Selain itu, tim anggaran pemda masih melakukan rasionalisasi ulang; rincian detail rencana anggaran biaya (RAB) dari KPU belum disampaikan ke DPRD; masih terdapat ketidaksepakatan terkait penomoran NPHD; hingga belum ada pembahasan dengan pemda karena penyusunan RAB yang belum selesai.

Ketua KPU Arief Budiman menyebut, mayoritas kendala belum disetujuinya NPHD memang terkait kesepakatan besaran anggaran. Menurut dia, usulan anggaran yang disampaikan KPU daerah saat ini lebih besar dari Pilkada lima tahun lalu karena menyesuaikan honor penyelenggara ad hoc hingga pertimbangan inflasi.

“Jumlah daerah yang kenaikan anggarannya dua sampai tiga kali lipat kecil sekali. Tetapi persoalan sebenarnya ini bukan soal kesepakatan, melainkan rasionalisasi seberapa besar anggaran yang sesuai untuk kebutuhan pelaksanaan pilkada di daerah tersebut,” ujarnya.

Penurunan biaya
Ketua Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) Abhan dalam rapat koordinasi evaluasi pendanaan Pilkada di Kantor Kementerian Dalam Negeri, Jakarta, di hari yang sama juga menyatakan hal serupa. Menurut Abhan,sebagian pemda menginginkan adanya penurunan standar biaya, volume kegiatan, hingga besaran honorarium pengawas adhoc.

Abhan menambahkan, pihaknya juga menyoroti hal-hal yang menonjol dalam penetapan NPHD, seperti tidak dilibatkannya Bawaslu daerah, alokasi NPHD hanya untuk tahun 2019, tahun tahapan pencairan tidak jelas, dan pemda yang menjanjikan adendum.

Selain KPU, Bawaslu daerah juga menyusun anggaran untuk NPHD. Berdasarkan catatan, baru 163 Bawaslu daerah yang menyepakati anggaran dalam NPHD. Adapun anggaran saat ini yang telah disepakati sebesar Rp 1,8 triliun dari total usulan Rp 5,2 triliun.

Persoalan sebenarnya ini bukan soal kesepakatan, melainkan rasionalisasi seberapa besar anggaran yang sesuai untuk kebutuhan pelaksanaan pilkada di daerah tersebut

Direktur Jenderal Bina Keuangan Daerah Kemendagri Syarifuddin mengakui bahwa anggaran yang diusulkan KPU dan Bawaslu daerah dalam NPHD banyak yang tidak terakomodasi oleh pemda. Namun, banyak juga penyelenggara pemilu yang berkeras tidak ingin nominal anggaran dikurangi meski kebutuhan memang tidak terakomodir.

Menurut Syarifuddin, pemda tidak akan mengurangi anggaran jika tidak melihat standar dan volumenya. Salah satu contohnya yakni mengurangi anggaran perjalanan dinas.

Meski demikian, dia menegaskan bahwa prinsipnya APBD mengikuti nominal di dalam NPHD jika telah disepakati. Hal ini sesuai dengan Peraturan Mendagri Nomor 54 Tahun 2019 tentang Pendanaan Kegiatan Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota yang Bersumber Dari APBD.

Mengganggu tahapan
Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Titi Anggraini mengatakan, permasalahan NPHD yang belum disepakati harus segera diselesaikan. Sebab, keterlambatan pencairan dana akan menggangu kualitas tahapan yang telah ditentukan dalam pilkada.

“Jangan sampai hal ini justru menjadi pintu masuk bagi hal-hal yang sifatnya melanggar hukum seperti praktik negosiasi atau penyelenggara yang harus menyiasati anggaran. Ancaman terbesarnya itu pada kualitas dan integritas Pilkada,” katanya.

Titi menilai, pada Pilkada serentak selanjutnya, penyelenggara pemilu dapat mempertimbangkan untuk mengalihkan pembiayaan Pilkada dari APBD ke APBN. Hal ini agar persoalan keterlambatan pencairan dana tidak terulang dan mencegah terjadinya praktik penyalahgunaan anggaran. (PRADIPTA PANDU)

Dikliping dari artikel yang terbit di Kompas.ID https://kompas.id/baca/utama/2019/10/07/pemda-dan-penyelenggara-pemilu-masih-alot-menyepakati-anggaran-pilkada/