August 8, 2024

Pemerintah: DKPP Bukan Lembaga Superior atas Penyelenggara Pemilu Lain

Pemerintah berpandangan putusan Dewan Kehormatan Penyelenggaraan Pemilu yang bersifat final dan mengikat kepada Presiden, Komisi Pemilihan Umum, serta Badan Pengawas Pemilu adalah konstitusional. Aturan itu juga dinilai tidak menjadikan DKPP sebagai lembaga superior atas penyelenggara pemilu lainnya.

Hal itu disampaikan Staf Ahli Bidang Hukum dan Kesatuan Bangsa Kementerian Dalam Negeri Eko Prasetyanto Purnomo Putro dalam sidang uji materi Pasal 458 Ayat (13) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum di Mahkamah Konstitusi, Selasa (5/10/2021). Agenda sidang adalah mendengarkan keterangan dari Presiden dan DPR. Namun, perwakilan DPR berhalangan hadir.

Eko mengatakan, sebelumnya, putusan MK Nomor 31/PUU-XI/2013 menyatakan bahwa putusan DKPP yang bersifat final dan mengikat dan diatur dalam Pasal 112 Ayat (12) Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2011 menimbulkan ketidakpastian hukum. Ini terjadi jika sifat final dan mengikat yang dimaksud sama dengan putusan lembaga peradilan.

Untuk menghindari ketidakpastian hukum itu, MK kemudian menegaskan bahwa putusan final dan mengikat DKPP tidak dapat disamakan dengan putusan final dan mengikat dari lembaga peradilan pada umumnya. Sebab, DKPP adalah perangkat internal penyelenggara pemilu yang diberi wewenang oleh UU. Sifat final dan mengikat putusan DKPP kemudian harus dimaknai final dan mengikat bagi Presiden, KPU, KPU provinsi, KPU kabupaten/kota, dan Bawaslu.

”Menurut MK, karena putusan DKPP adalah keputusan pejabat tata usaha negara (TUN) yang bersifat konkret, individual, dan final, maka dapat menjadi obyek gugatan di peradilan tata usaha negara,” terang Eko.

Dalam putusan itu, MK juga telah memberikan pengertian baru bahwa frasa final dan mengikat pada sifat putusan DKPP tidak sama dengan final dan mengikat pada umumnya lembaga peradilan. DKPP harus ditempatkan sebagaimana posisinya sebagai penyelenggara pemilu, sesuai Pasal 1 Angka 24 UU Pemilu. DKPP merupakan satu kesatuan penyelenggara pemilu dengan Bawaslu dan KPU. Dalam pertimbangan putusan itu, MK juga menegaskan bahwa putusan DKPP dinyatakan tetap final dan mengikat, tetapi hanya bagi Presiden, KPU, KPU provinsi, dan Bawaslu.

”Putusan DKPP yang bersifat final, mengikat, tidak berlaku bagi warga negara yang menjadi penyelenggara pemilu, dan diberikan ruang untuk mengajukan upaya di lembaga peradilan. Ini merupakan bentuk negara dalam memenuhi hak asasi manusia seluruh warga negara dalam hal kepastian hukum dan persamaan kedudukan hukum,” kata Eko.

Dengan demikian, pemerintah berpandangan bahwa DKPP bukanlah lembaga superior atas penyelenggara pemilu lainnya. Sebab, sifat putusan DKPP tidak sama dengan final mengikat pada lembaga peradilan. Sifat final dan mengikat putusan DKPP hanya mengikat bagi Presiden, KPU, KPU provinsi, KPU kabupaten/kota, dan Bawaslu yang melaksanakan putusan DKPP.

Dengan begitu, mekanisme checks and balances terhadap DKPP masih tetap ada. DKPP sebagai penyelenggara pemilu yang bersifat mandiri justru sedang melaksanakan tugasnya untuk melaksanakan pemilu yang memenuhi prinsip langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil.

”Berdasarkan keterangan di atas, kami berharap mahkamah menyatakan frasa nilai, final, dan mengikat dalam ketentuan Pasal 458 Ayat (13) UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu tidak bertentangan dengan UUD 1945 dan tetap memiliki kekuatan hukum mengikat,” kata Eko.

Obyek gugatan di PTUN

Hakim Suhartoyo mengatakan, memang putusan MK Nomor 31/PUU-XI/2012 mengatakan bahwa putusan DKPP mengikat Presiden, KPU, dan Bawaslu. Namun, salah satu pertimbangan penting dalam putusan itu adalah bahwa putusan DKPP adalah putusan pejabat TUN yang dapat dijadikan obyek gugatan di pengadilan TUN. Mahkamah ingin mendapatkan penegasan mengenai hal itu karena berkaitan dengan permohonan penggugat.

”Yang dimohonkan pemohon adalah bagaimana kalau putusan DKPP itu dimasukkan dalam kelompok atau rumpun putusan Badan Tata Usaha Negara sehingga bisa langsung di-challenge di peradilan TUN. Jadi, tidak melalui tangan Presiden, keputusan KPU, dan Bawaslu. Ini yang perlu penegasan,” kata Suhartoyo.

Suhartoyo juga meminta agar pemerintah menjelaskan terkait kedudukan DKPP yang sama dengan penyelenggara pemilu, tetapi produk hukumnya tidak bisa dijadikan langsung sebagai obyek gugatan di pengadilan TUN. Hal ini menimbulkan ketidakpastian hukum karena produk dari DKPP dibedakan dengan penyelenggara pemilu, yaitu KPU dan Bawaslu.

Hakim Saldi Isra menambahkan, permasalahan putusan DKPP harus dilihat dalam koridor desain penyelenggaraan pemilu. KPU, Bawaslu, dan DKPP lahir dari pemaknaan konstitusi terkait Komisi Pemilihan Umum. Pemerintah harus lebih serius terhadap desain sistem dan penyelenggaraan pemilu ke depan.

Apakah lembaga seperti DKPP akan dipermanenkan atau ada pemikiran alternatif lain. Mahkamah perlu mendapatkan penjelasan lebih mendalam agar dapat menata supaya pemilu tidak ruwet dan rumit karena terlalu banyak pihak yang terlibat di dalamnya.

”Ada yang menyelesaikan tahapan, administrasi, etik, sengketa hasil. Kira-kira ada enggak diskusi yang lebih komprehensif di internal pemerintah terkait dengan ini sehingga membantu mahkamah dalam meneropong petitum yang dimintakan pemohon,” kata Saldi.

Menurut Saldi, mahkamah juga harus memikirkan apabila ada fenomena pemberhentian mendadak anggota penyelenggara pemilu. Jika hal itu terjadi secara bersamaan, apakah ada ruang bagi mereka untuk mempersoalkan hal itu. Karena itu, pemerintah diharapkan memperdalam argumen dan pendapatnya terkait dengan desain penyelenggara pemilu ke depan.

Sebelumnya, anggota KPU, Evi Novida Ginting dan Arief Budiman, mengajukan uji materi Pasal 458 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum ke Mahkamah Konstitusi, Rabu (23/6/2021). Pasal tersebut mengatur tentang putusan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu yang bersifat final dan mengikat.

Alasan uji materi tersebut adalah para pemohon prinsipal merasa dirugikan hak konstitusionalnya oleh putusan DKPP yang bersifat final dan mengikat. Dengan keberadaan pasal itu, hak para pemohon untuk melakukan upaya hukum di pengadilan terhalangi. DKPP melalui putusannya pernah memberhentikan Evi Novida Ginting karena dianggap melanggar kode etik penyelenggara pemilu dalam perkara yang diajukan Hendri Makaluasc, calon anggota DPRD Provinsi Kalimantan Barat.

Putusan itu dijatuhkan pada 18 Maret 2020. Pemohon, yaitu Hendri Makaluasc, menganggap Evi tidak mampu menyokong terwujudnya penyelenggaraan pemilu berintegritas yang memastikan kemurnian suara pemilih sesuai desain sistem pemilu proporsional terbuka dengan metode penetapan calon terpilih berdasarkan suara terbanyak. Evi menggugat keputusan presiden yang memberhentikan jabatannya secara tak hormat ke PTUN. Evi pun menang sehingga kembali diangkat sebagai komisioner KPU.

Kemudian, pada 13 Januari 2021, DKPP kembali menjatuhkan sanksi pemberhentian kepada Arief Budiman sebagai ketua KPU. DKPP menilai Arief melanggar kode etik dan pedoman perilaku penyelenggara pemilu terkait pengaktifan kembali Evi sebagai anggota KPU.

Arief diadukan kepada DKPP karena menemani Evi yang berstatus nonaktif sebagai anggota KPU saat mendaftarkan gugatan ke PTUN. Arief juga diadukan karena membuat putusan yang dianggap melampaui kewenangannya saat meminta Evi kembali aktif melaksanakan tugasnya sebagai anggota KPU. (DIAN DEWI PURNAMASARI)

Dikliping dari artikel yang terbit di Kompas.ID https://www.kompas.id/baca/polhuk/2021/10/05/pemerintah-dkpp-bukan-lembaga-superior-atas-penyelenggara-pemilu-lain/