Pemerintah Ingin Partisipasi Pilkada Meningkat
JAKARTA – Pemerintah menargetkan partisipasi masyarakat dalam pemilihan kepala daerah meningkat pada tahun depan. Meski target pilkada 2017 meleset, Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo menyatakan indikator pertama keberhasilan Komisi Pemilihan Umum dalam pilkada 2018 adalah jika pemilih mencapai 78 persen dari total pemilik hak suara. “Ini target kesuksesan yang ingin dicapai pemerintah,” kata Tjahjo saat menutup Rapat Kerja Koordinasi Nasional Persiapan Pilkada Serentak 2018, di Hotel Kartika Chandra, Jakarta Selatan, kemarin.
Rapat kemarin dihadiri oleh Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan Wiranto, pengurus Komisi Pemilihan Umum, Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu), dan Panitia Pengawas Pemilu. Gubernur, bupati, dan wali kota inkumben dari 171 daerah penyelenggara pilkada 2018 juga diundang.
Rencananya, pencoblosan digelar secara serentak pada 27 Juni 2018. Sedangkan pendaftaran pasangan calon kepala daerah baru dibuka pada 8 Januari mendatang selama tiga hari. Saat ini, sejumlah partai politik terus melakukan konsolidasi internal, termasuk menyusun koalisi antarpartai untuk menyiapkan jagoannya.
Tjahjo tak menjelaskan detail bagaimana target 78 persen itu ditetapkan. Sebab, dalam penyelenggaraan pilkada 2017, partisipasi pemilih hanya sekitar 74 persen, meleset dari target awal 77,5 persen.
Tjahjo hanya mengatakan, selain tingkat partisipasi tinggi, pemerintah berharap pilkada serentak mendatang tidak diwarnai praktik politik uang dan kampanye hitam dengan menyebarkan ujaran kebencian tentang lawan. “Mari masing-masing calon adu gagasan dalam mempercepat pembangunan di daerah,” ujarnya.
“Tegas terhadap kampanye hitam. Berujar kebencian terkait dengan SARA harus ditindak tegas oleh aparat.”
Menurut dia, pemerintah telah menginstruksikan Kepolisian RI agar menindak tegas pelanggaran pidana pemilihan umum. Dia pun berharap KPU, Bawaslu, Panwaslu, dan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) bersinergi. “Demi proses demokrasi yang baik,” kata Tjahjo.
Hal senada diutarakan Menteri Wiranto. Dia menyesalkan hingga kini istilah “serangan fajar” atau “serangan senja” masih melekat dalam pelaksanaan pilkada. Kecurangan dengan membeli suara untuk memenangkan calon tertentu ini sangat rentan terjadi dan laporannya terus bermunculan.
Wiranto bahkan mensinyalir ada korelasi antara politik uang dan tingkat partisipasi masyarakat. Dia mencontohkan, dalam pemilihan kepala daerah di wilayah Provinsi Jawa Tengah tahun ini, muncul laporan tentang kosongnya tempat pemungutan suara karena tak ada pemilih. “Dicek oleh petugas, kenapa kok enggak datang? ‘Enggak ada serangan fajar, Pak,’” kata Wiranto.
Ketua Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu, Harjono, mengatakan modus kecurangan dalam pemilu bukan hanya berupa politik uang dan kampanye hitam. Beberapa laporan yang masuk DKPP juga menunjukkan pelanggaran kerap kali memanfaatkan adanya celah hukum.
Dia mencontohkan adanya kasus perubahan sertifikat hasil rekapitulasi penghitungan suara, menggelar penghitungan di tempat tertutup, hingga tidak dibagikannya salinan rekapitulasi suara. “Instrumen prosedural lainnya yang banyak dijadikan modus kecurangan pemilu adalah pemanfaatan waktu yang terbatas,” kata Harjono, sembari berharap adanya partisipasi publik untuk mengawal setiap tahapan proses pemilu.
Ketua KPU, Arief Budiman, mengklaim telah menyiapkan langkah-langkah pencegahan untuk memperkecil pelanggaran administrasi dan pidana. Salah satunya adalah memberikan supervisi dan kontrol ketat kepada penyelenggara pemilu serta sosialisasi kepada peserta pemilu dan masyarakat. “Selain itu, berkoordinasi dengan Bawaslu dan kepolisian.” DIAS PRASONGKO | MAYA AYU PUSPITASARI
Potensi Masalah hingga Rekapitulasi
Komisi Pemilihan Umum (KPU) telah mengidentifikasi potensi masalah dalam delapan tahapan pemilihan kepala daerah. Berikut ini rinciannya:
1.Penyusunan dan Pengesahan Anggaran Pemilihan
– Komitmen kurang dari kepala daerah dan DPRD untuk membahas anggaran.
– Ketersediaan anggaran tidak sesuai dengan kebutuhan.
– Pencairan anggaran tidak tepat waktu.
2. Perekrutan Badan Ad Hoc
– Keterbatasan kualitas dan jumlah calon yang memenuhi syarat sebagai anggota badan ad hoc.
– Potensi perilaku nepotisme dan suap dalam perekrutan.
– Netralitas calon anggota.
– Campur tangan/tekanan dari ormas
3. Penyusunan Daftar Pemilih Tetap
– Pemilih tidak terdaftar akibat tidak punya identitas kependudukan.
– Pemilih ganda akibat KTP atau kartu keluarga lebih dari satu.
– Rendahnya partisipasi masyarakat untuk memberi masukan.
– Pemilih yang tinggal di wilayah sengketa atau ilegal.
4. Pencalonan
– Manipulasi data pendukung oleh bakal calon perseorangan.
– Dukungan ganda oleh pendukung atau partai politik yang sedang bersengketa.
– Pemalsuan dokumen pencalonan dan/atau syarat calon.
– Potensi politik uang dalam pencalonan.
5. Kampanye dan Masa Tenang
– Politik uang dalam bentuk hadiah, uang, pembagian bahan pokok.
– Penggunaan fasilitas publik oleh calon inkumben.
– Kampanye hitam dan SARA.
– Beredar berita bohong.
6. Distribusi Logistik Pemilu
– Logistik pemilihan terlambat di TPS.
– Kekurangan surat suara.
– Keamanan logistik pemilu baik sebelum ataupun setelah pemungutan suara.
7. Pemungutan dan Hitungan Suara
– Serangan fajar.
– Penyalahgunaan formulir model C6.
– Pemilih menggunakan hak pilih lebih dari satu.
– Manipulasi penghitungan suara.
– Pemilih tidak terdaftar.
8. Rekapitulasi dan Penetapan Hasil
– Manipulasi data.
– Politik uang kepada penyelenggara untuk mengubah hasil.
– Perbedaan data dan persepsi saksi dengan KPU.
– Tekanan atau teror dari pendukung yang kalah.
https://koran.tempo.co/konten/2017/10/24/423102/Pemerintah-Ingin-Partisipasi-Pilkada-Meningkat