October 8, 2024

Pemilu 2024: Ancaman Kekerasan dan Tantangan Keterwakilan Perempuan

Menghadapi Pemilu 2024 Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) menyoroti potensi kekerasan terhadap perempuan bisa merambah ke ranah domestik dan rumah tangga. Hal itu disebabkan karakteristik sistem politik Indonesia didominasi budaya patriarki, yang memandang perempuan sebagai sosok lemah dan tidak bermanfaat. Padahal kehadiran perempuan politik sangat penting untuk pengambilan keputusan dan kebijakan berperspektif gender.

“Isu perempuan bukan sekedar isu tempelan, maka kesadaran masyarakat membicarakan isu perempuan sangat penting. Kalau kita melihat banyaknya tokoh perempuan dunia dengan keberhasilan yang dicapai, ini menjadi refleksi balik pada Indonesia, bagaimana perempuan hadir di ruang publik khususnya di politik,” kata Wakil Ketua Komnas Perempuan, Olivia Salampessy dalam diskusi online Komnas Perempuan bertajuk “Mewaspadai Potensi Kekerasan terhadap Perempuan dalam Pemilu 2024” (5/2).

Olivia menjelaskan, berdasarkan laporan World Economic Forum (WEF) dalam Global Gender Gap Report 2023, Indeks Kesenjangan Gender Global (GGGI) Indonesia sebesar 0,697 poin pada 2023 atau menempati peringkat 87 dari 146 negara. Skor tersebut dinilai berdasarkan empat dimensi, yakni pencapaian pendidikan, kesehatan dan kelangsungan hidup, partisipasi dan peluang ekonomi, serta pemberdayaan politik.

Lebih lanjut ia memaparkan, dalam bidang partisipasi dan kesempatan ekonomi, skor Indonesia sebesar 0,666, pada bidang pendidikan 0,972 skor dan kesehatan memperoleh skor 0,970. Angka tersebut masih berada dalam rata-rata global. Namun dalam dimensi pemberdayaan politik Indonesia hanya memperoleh skor 0,181, jauh di bawah rata-rata global. Padahal menurutnya hak politik perempuan sudah dijamin oleh konstitusi dan peraturan perundangan-undangan lainnya.

“Ini gambaran bagaimana hak politik perempuan di Indonesia masih menjadi Pekerjaan Rumah (PR) yang panjang, walaupun kita sudah dilindungi, diberi jaminan oleh konstitusi maupun berbagai bentuk kebijakan dan aturan perundang-undangan,” jelasnya.

Komisioner Komnas Perempuan Veryanto Sitohang menambahi, dalam 10 tahun terakhir kasus kekerasan terhadap perempuan sebanyak 2.452.206 kasus dan memiliki kecenderungan terus meningkat tiap tahun. Selain itu Komnas Perempuan menemukan setidaknya terdapat 441 kebijakan diskriminatif yang diproduksi pemerintahan daerah dan pemerintahan pusat, 305 kebijakan diantaranya masih berlaku hingga kini.

“Kebijakan diskriminatif ini secara langsung maupun tidak langsung, pengaturannya melakukan pembatasan, pengabaian, pengucilan, bahkan atas nama moralitas mengekang perempuan. Ini merupakan pelembagaan diskriminasi yang dampaknya sangat buruk pada kehidupan rakyat dan perempuan,” kata Veryanto.

Sementara itu Dosen Fakultas Hukum Universitas Indonesia Titi Anggraini menyebut Pemilu 2024 sebagai musim gugur bagi politik hukum keterwakilan perempuan. Hal itu didasarkan pada kebijakan Komisi Pemilihan Umum (KPU) melalui melalui Pasal 8 ayat (2) huruf a Peraturan KPU (PKPU) No.10/2023 yang justru melemahkan keterwakilan perempuan politik. Padahal menurutnya, perempuan masih menghadapi hambatan dalam partisipasi politik, baik sebagai pemilih, kontestan, maupun penyelenggara pemilu.

“Komitmen politik partai itu belum sepenuhnya solid pada perempuan, mungkin perempuan masih dianggap tidak kompetitif,” jelas Titi.

Titi juga menilai perempuan juga belum menjadi prioritas partai politik dalam pencalonan, ia melihat sedikit sekali perempuan yang mendapatkan pada nomor urut 1 pemilu legislatif (Pileg). Pada pemilu 2024 calon legislatif (caleg) perempuan yang ditempatkan di nomor urut 1 hanya 7,13% (262) caleg, nomor urut 2 11,64% (428) caleg perempuan dan nomor urut 3 sebanyak 26,28% (966) caleg perempuan. Padahal keterpilihan paling banyak pada Pemilu 2019 adalah caleg nomor urut 1.

“Dalam sistem pemilu yang calonnya terlalu banyak pemilih kesulitan mendapatkan informasi dan pendidikan kepemiluan, akhirnya sebagai voters, kalau ada caleg ditempatkan dalam bentuk peringkat maka secara logika sederhana pemilih akan berpandangan nomor urut kecil adalah prioritas,” ujarnya. []