October 15, 2024

Pemilu 2024 di Luar Negeri Rawan Kecurangan

Perhimpunan Indonesia untuk Buruh Migran Berdaulat (Migrant Care) menilai pelaksanaan Pemilu 2024 di luar negeri rawan terjadi kecurangan. Berdasarkan pemantauan di empat negara, yakni Malaysia, Singapura, Hong Kong, dan Taiwan, Migrant Care menemukan sejumlah permasalahan di antaranya, daerah pemilihan (dapil) yang tidak representatif, pendataan yang meminggirkan pekerja migran, dan jadwal pemilu yang berantakan.

“Di empat negara itu semuanya mengeluhkan hal yang sama, terkait pendistribusian surat suara dan pelaksanaanya (Pemilu 2024) bertepatan dengan tahun baru Imlek,” kata Staf Pengelolaan Pengetahuan, Data, dan Publikasi Migrant Care, Trisna Dwi Yuni Aresta dalam konferensi pers Temuan Awal Pemantauan Pemilu 2024 di Luar Negeri, Jakarta Selatan, (18/1).

Trisna menganggap Komisi Pemilihan Umum (KPU) mengabaikan pemilih luar negeri yang berpotensi menghilangkan hak politik Warga Negara Indonesia (WNI) dan pekerja migran khususnya. Hal itu terbukti dengan terjadinya penurunan jumlah pemilih dalam daftar pemilih tetap (DPT) di luar negeri dari 2,08 juta orang pada Pemilu 2019 menjadi 1,75 juta orang pada Pemilu 2024.

“Angka itu terlalu kecil dibandingkan populasi warga Indonesia yang sedang bekerja, belajar, dan bermukim di luar negeri,” ucap Trisna.

Sementara menurut Direktur Eksekutif Migrant Care Wahyu Susilo, seharusnya pemilih di luar negeri memiliki dapil tersendiri karena aspirasi pekerja migran berbeda dengan masyarakat di Jakarta Selatan dan Jakarta Pusat. Ia mengatakan, sejauh ini caleg yang terus terpilih belum membawa kepentingan dan aspirasi para pekerja migran.

“Jumlah WNI di luar negeri itu sangat banyak termasuk pekerja migran. Tapi keresahan dan kepentingan para pekerja migran tidak pernah disuarakan wakil rakyat yang terpilih dari dapil itu (DKI Jakarta II),” jelas Wahyu.

Selain itu Wahyu menilai, perubahan metode pemungutan suara di sejumlah negara yang tidak lagi didominasi pemilihan langsung di tempat pemungutan suara (TPS) melainkan lebih banyak melalui mengirim surat suara lewat pos dinilai sangat rentan terjadi kecurangan dan penyalahgunaan surat suara. Terlebih banyak pekerja di luar negeri yang menerima surat suara lebih dari satu.

“Selain berpotensi curang karena tidak bisa diawasi dan dipantau secara langsung, WNI juga semakin malas memilih karena ruang bertemu dengan warga lainnya hilang,” imbuhnya.

Hal itu dibenarkan oleh Anggota The Indonesian Migrant Workers Union (IMWU) Hong Kong, Sringatin, menurutnya pelaksanaan pemilu di Hong Kong kurang transparan, sehingga sosialisasi terhadap WNI di Hong Kong tidak efektif dan tidak mendorong pemilih menggunakan hak suaranya. Sringatin mengatakan, informasi terkait Pemilu 2024 kurang melibatkan WNI di Hong Kong, dengan lebih dominannya pemilihan melalui pos dan kotak suara keliling (KSK) ia menyebut WNI di Hong Kong akan malas menggunakan hak pilihnya, karena pemilihan di TPS merupakan salah satu wadah pertemuan WNI untuk silaturahmi.

“Penetapan pemungutan suara pada 13 Februari itu tanpa melibatkan Pekerja Migran Indonesia (PMI), sedangkan hari itu masih serangkaian hari besar Imlek, jadi kemungkinan penggunaan suara akan berkurang,” jelas Sringatin.