August 8, 2024

Pemilu 2024 Diusulkan 15 Mei, Komisi II DPR Beri Lima Masukan

Komisi II DPR RI memberikan lima masukan jika  Pemilu digelar 15 Mei 2024 sesuai usulan pemerintah. Selain pengurangan masa penyelesaian sengketa pemilu dan kampanye, data kependudukan juga mesti diperbaiki. Jika syarat itu dilaksanakan, jadwal pemilihan kepala daerah tak perlu diundur dan revisi Undang-Undang Pilkada juga tidak dibutuhkan.

Ketua Komisi II DPR dari Fraksi Golkar Ahmad Doli Kurnia Tandjung, di Jakarta, Kamis (7/10/2021), mengatakan, hingga sejauh ini, kepastian tanggal belum disepakati. Dalam rapat konsinyering antara penyelenggara pemilu, pemerintah, dan Komisi II DPR, Rabu (6/10/2021) kemarin, perbedaan pandangan masih muncul dari fraksi-fraksi.

”Saya ingin menegaskan, tak ada deadlock, tak ada kata buntu. Ini semua masih dalam proses dan masih dalam frame waktu yang memungkinkan untuk mendengar semua aspirasi, semua pandangan. Kalau kami mau paksa-paksakan, rapat kemarin, 6 Oktober bisa saja, kalau mau voting, tetapi kami tidak mau,” ujar Doli.

Sebelumnya, pemerintah mengusulkan agar pemilu anggota legislatif dan presiden digelar pada 15 Mei 2024. Berdasarkan hasil simulasi Komisi Pemilihan Umum (KPU) apabila mengacu pada usulan tersebut, jika Pemilu digelar 15 Mei, pilkada dilaksanakan pada 19 Februari 2025.  Simulasi itu telah memperhitungkan kecukupan waktu di dalam setiap tahapan.

Berdasarkan informasi yang diperoleh Kompas, fraksi yang mendorong agar pemilu dilakukan pada 15 Mei 2024 antara lain Nasdem, Golkar, dan Partai Amanat Nasional (PAN). Adapun yang menginginkan 21 Februari 2024 ialah Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P), Partai Persatuan Pembangunan (PPP), dan Partai Keadilan Sejahtera (PKS). Beberapa fraksi lain belum tegas menyatakan sikap.

Kurangi beban penyelenggara

Menurut Doli, Komisi II DPR telah menginventarisasi setidaknya ada lima syarat  pemilu digelar pada 15 Mei 2024. Jika lima syarat itu dipenuhi, diharapkan beban kerja penyelenggara pemilu dapat dikurangi. Selain itu, jadwal pilkada juga tak perlu mundur ke tahun 2025.

Salah satu syaratnya adalah pengurangan masa penyelesaian sengketa pemilu. Penyelenggara pemilu dan pemerintah perlu duduk bersama dengan Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi guna membahas mengenai standar dan mekanisme atau waktu yang dibutuhkan untuk menyelesaikan sengketa pemilu.

Syarat lain adalah pengurangan masa kampanye pilkada. Pengadaan logistik khusus pemilu juga perlu dipermudah, tak perlu melalui lelang. Untuk itu Presiden perlu menerbitkan payung hukum berupa peraturan presiden yang mengatur ketentuan khusus pengadaan logistik pemilu. Dengan demikian, distribusi logistik juga bisa dilakukan dengan cepat.

Persyaratan lain adalah penggunaan teknologi informasi pada sejumlah tahapan pemilu. Tahapan penghitungan suara, misalnya, dapat dilakukan dengan memanfaatkan sistem informasi rekapitulasi elektronik (sirekap) milik KPU yang disempurnakan. Pembangunan sistem data kependudukan yang terintegrasi dan valid juga penting sehingga tak perlu lagi ada tahapan pencocokan dan penelitian.

Jika semua hal itu bisa dilakukan, menurut Doli, revisi UU Pilkada ataupun peraturan pemerintah pengganti undang-undang (perppu) tidak diperlukan. Untuk diketahui, UU Pilkada mengamanatkan agar pilkada digelar pada November 2024.

”Nah, saya dari awal, dan kami juga di Komisi II sudah memberikan warning, sebisa mungkin kami menghindari terjadinya revisi undang-undang. Karena apa? Karena, itu, kan, membutuhkan energi politik lagi. Padahal, dari awal, kami sepakati tidak ada revisi UU Pilkada, ya, sudah kita jalan saja dengan (amanat UU Pilkada) yang ada,” ucap Doli.

Alasan lain, penerbitan perppu juga dihindari agar tidak memunculkan reaksi publik yang berlebihan. Pemerintah dan DPR tidak ingin dengan mudahnya menerbitkan perppu demi mengakomodasi kepentingan politik.

”Kami tidak ingin, publik nanti bilang, ’ini pemerintah dan DPR dikit-dikit perppu, mereka mau ini, perppu, suka-suka mereka saja, sedangkan kalau kami punya keinginan, enggak bisa’. Nah, ini yang saya hindari,” kata Doli.

Penjabat kepala daerah

Sementara itu, anggota Komisi II DPR dari Fraksi Partai Demokrat, Anwar Hafid, mengatakan, usulan untuk memundurkan pilkada ke 2025 akan membutuhkan perubahan UU Pilkada. Padahal, DPR dan pemerintah telah sepakat tidak merevisi  UU Pilkada.  Hal lainnya, Demokrat tidak menghendaki ada penjabat kepala daerah yang diangkat presiden ketika belum ada kepala daerah baru yang terpilih pada tahun 2024.

”Kami terus terang di Partai Demokrat menolak itu. Karena ini bertentangan dengan komitmen kita, yaitu tidak ada revisi,” ujar Anwar.

Jika hal itu dilakukan, menurut Anwar, sama juga dengan melanggengkan kekuasaan tanpa mandat rakyat. ”Karena nanti semua kepala daerah di Indonesia ini minus kepala daerah yang terpilih 2020, itu diangkat oleh presiden, tidak diangkat oleh rakyat. Tentu kita tidak ingin kepala daerah kita yang sudah kita sepakati melalui pemilihan langsung oleh rakyat akan diperpanjang tanpa mandat dari rakyat,” katanya.

Kendati demikian, ia menyadari KPU sebagai lembaga yang diberi kewenangan oleh UU Pemilu untuk menentukan jadwal dan tahapan pemilu mesti menyiapkan teknis penyelenggaraan sebaik-baiknya. Oleh karena itu, Demokrat menilai opsi pertama yang diajukan oleh KPU, yakni pemilu, 21 Februari 2024, dan pilkada 27 November 2024, sebagai opsi yang paling tepat.

Penyelenggaraan pemilu dan pilkada dengan jeda waktu yang disiapkan oleh KPU di 2024 dipandang sudah memadai. Jika pemilu dilakukan pada 21 Februari 2024, masih ada cukup waktu untuk penyelesaian sengketa dan penyiapan calon kepala daerah. Sebab, hasil Pemilu 2024 dijadikan dasar dalam penentuan pencalonan kepala daerah 2024.

Anwar mengatakan, sebenarnya jalan tengah bisa diambil dari opsi penyelenggaraan Pemilu 21 Februari 2024. Misalnya, April 2024 setelah Lebaran, atau awal Maret sebelum puasa. Namun, penetapan itu juga harus melihat perkembangan teknis KPU dalam penyelenggaraan pemilu.

”Kemarin saya juga pertanyakan kepada pemerintah. Kalau KPU sudah mendesain pemilu, lalu tidak didengarkan, dan terulang peristiwa 2019, dan kualitas pemilu kita amburadul, siapa yang bertanggung jawab,” katanya.

Mendengarkan KPU

Anggota Komisi II dari Fraksi PKB, Yanuar Prihatin, mengatakan, pertimbangan KPU harus didengarkan sebab lembaga itu yang paling tahu kondisi penyelenggaraan pemilu.

Penyelenggaraan pemilu sebelum puasa dan Lebaran dipandang sudah tepat. Momentum puasa dan Lebaran diharapkan bisa mengurangi suhu politik yang meningkat. Jika pemilu dilakukan pada Februari 2024, masih bisa terkejar momentum puasa dan Lebaran untuk mendinginkan suasana panas politik sesudah pemilu.

”Kalau pemilu dilakukan sesudah puasa dan Lebaran, kita akan kehilangan momentum mendinginkan suasana politik itu,” ujar Yanuar.

Pemunduran pilkada merupakan pilihan yang bisa diambil untuk memastikan pemilu dan pilkada dapat dilakukan dengan baik. Artinya, kecukupan waktu bagi masing-masing tahapan harus dijamin, dan mempertimbangkan pula beban kerja penyelenggara.

Namun, ketika pemilu dipaksakan 15 Mei 2024, KPU mengusulkan pilkada diundur ke 2025. Pemunduran itu mensyaratkan perubahan regulasi. ”Artinya aturan main diubah, dan itu bertabrakan dengan kesepakatan awal,” katanya.

Secara terpisah, anggota Dewan Pembina Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Titi Anggraini, mengatakan, pemunduran pilkada merupakan pilihan yang bisa diambil untuk memastikan pemilu dan pilkada dapat dilakukan dengan baik. Artinya, kecukupan waktu bagi masing-masing tahapan harus dijamin, dan mempertimbangkan pula beban kerja penyelenggara.

”Saya pikir DPR dan pemerintah masih memiliki waktu untuk melakukan revisi terbatas pada UU Pilkada,” ucap Titi. (RINI KUSTIASIH/NIKOLAUS HARBOWO)

Dikliping dari artikel yang terbit di Kompas.ID https://www.kompas.id/baca/polhuk/2021/10/07/pemilu-2024-diusulkan-15-mei-komisi-ii-dpr-beri-lima-masukan/