April 19, 2025
Ilustrasi Rumahpemilu.org/ Haura Ihsani

Pemilu 2024 Masih Belum Ramah Penyandang Disabilitas

Pemilu 2024 masih menyisakan masalah bagi penyandang disabilitas, khususnya masalah pendataan pemilih penyandang disabilitas. Hal itu menimbulkan berbagai kendala administratif dan teknis dalam proses pemilu. Pada pemilu-pemilu sebelumnya partisipasi pemilih disabilitas juga seringkali terkendala masalah pendataan yang sampai saat ini belum sepenuhnya memadai.

“Perkembangan jumlah penyandang disabilitas yang terdaftar, dari 343.865 pada Pemilu 2014 meningkat menjadi 375.195 pada 2019, dan melonjak drastis menjadi 1.101.178 pada 2024,” kata Peneliti The Indonesian Institute, Christina Clarissa Intania dalam diskusi online bertajuk “Partisipasi Penyandang Disabilitas dalam Pemilu 2024” (20/6).

Menurutnya, Komisi Pemilihan Umum (KPU) sebagai penyelenggara pemilu mempunyai peran penting untuk bahwa proses pendataan responsive, dengan mendatangi langsung warga yang berada di daerah terpencil, serta melibatkan berbagai pihak untuk memastikan keakuratan dan keadilan bagi penyandang disabilitas. Upaya itu menurut Clarissa menunjukkan komitmen KPU meningkatkan partisipasi dan melindungi hak politik penyandang disabilitas secara merata di seluruh Indonesia.

Selain itu Clarissa mengatakan, banyaknya penyandang disabilitas yang belum memiliki Kartu Tanda Penduduk (KTP) juga menjadi penghambat berbagai layanan publik dan hak-hak sipil. Masalah mendasar lainnya adalah perspektif masyarakat yang masih banyak menganggap bahwa penyandang disabilitas bukan merupakan bagian dari masyarakat.

“Hal ini mengakibatkan marginalisasi sosial dan ekonomi bagi kelompok ini,” ucapnya.

Lebih lanjut, Clarissa berharap Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil (Disdukcapil) serta Dinas Sosial dapat memastikan semua penyandang disabilitas dapat memperoleh KTP dan hak-hak administratif lainnya tanpa hambatan. Untuk mendukung hal itu, Clarissa mengatakan perlu adanya posko dan pelayanan khusus di masing-masing daerah agar penyandang disabilitas lebih terfasilitasi.

Menjelang Pilkada 2024 diselenggarakan Clarissa juga mendorong kerjasama antar KPU dan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) serta pemerintah terkait untuk memastikan proses Pilkada berjalan dengan inklusif dan efisien. Terutama dalam hal pencatatan pemilih dan penyediaan fasilitas yang ramah bagi penyandang disabilitas.

Peneliti Bidang Sosial TII, Dewi Rahmawati Aulia menambahkan, partisipasi politik merupakan hak dasar penyandang disabilitas yang harus dijamin oleh negara. Dewi menjelaskan, menjelang Pilkada 2024 masih banyak tantangan yang dihadapi penyandang disabilitas untuk berpartisipasi dalam pemilu, seperti aksesibilitas tempat pemungutan suara hingga ketersediaan informasi yang mudah dipahami.

TII merekomendasikan keberlanjutan program sosialisasi dan pendidikan untuk penyandang disabilitas, untuk memberikan pemahaman mendalam tentang hak-hak politik dan prosedur pemilu, serta memastikan penyandang disabilitas memiliki akses penuh terhadap informasi pemilu yang relevan. Selain itu juga diperlukan pelatihan bagi petugas pemilu untuk membekali pengetahuan dan keterampilan yang dibutuhkan saat melayani penyandang disabilitas.

TII juga mendesak transparansi serta akuntabilitas anggaran program inklusi pemilu, mencakup pelaporan yang jelas dan rinci alokasi dan penggunaan anggaran. Dewi menilai hal itu penting dilakukan untuk memastikan sumber daya benar-benar dialokasikan dan digunakan sesuai kebutuhan penyandang disabilitas.

“Dengan rekomendasi-rekomendasi ini, kami berharap dapat mendorong terciptanya lingkungan politik yang lebih inklusif dan ramah bagi semua warga negara, termasuk mereka yang memiliki disabilitas,” harapnya.

Sementara Cucu Saidah dari Disability Inclusion Advisor Consultant mengingatkan bahwa pelibatan penyandang disabilitas bukan hanya saat menjelang pemilu saja, namun dilakukan untuk jangka panjang. Hal itu ia ungkapkan karena evaluasi dan monitoring secara menyeluruh masih kurang efektif dilakukan oleh pihak-pihak terkait. Selain itu, Saidah menganggap upaya partai politik memastikan kampanye inklusif bagi penyandang disabilitas juga tidak dilakukan.

“Hal ini adalah kewajiban yang harus dipenuhi untuk memastikan edukasi politik dan hak pilih yang inklusif,” kata Saidah.

Saidah mengatakan stigma dan perspektif keliru tentang penyandang disabilitas harus diatasi dengan mengubah perspektif berbasiskan hak. Menurutnya hal itu penting untuk memahami dan mengidentifikasi hambatan yang dihadapi penyandang disabilitas dalam mengakses informasi dan hak pilih. Ia menegaskan, KPU, Bawaslu, Disdukcapil memiliki peran signifikan untuk memperbaiki instrument lebih baik. Namun upaya itu tidak bisa dilakukan hanya menjelang pemilu saja, namun harus berkepanjangan.

“Untuk mengubah perspektif menjadi berbasis hak, aksesibilitas harus menjadi prasyarat dalam semua proses Pemilu, mulai dari edukasi tentang hak pilih hingga pelaksanaan pemilu,” pungkas Saidah. []