Dosen Fakultas Hukum Universitas Indonesia dan aktivis kepemiluan, Titi Anggraini menyebut Pemilu 2024 tidak ramah terhadap perempuan. Kepemimpinan perempuan dinilai belum terakomodasi dengan benar, buntut dari Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) No.10 Tahun 2023. Aturan tersebut dianggap mendistorsi ketentuan keterwakilan perempuan.
“Demokrasi harus mencapai keadilan dan kesejahteraan, sedangkan kebebasan bagi perempuan harus diperjuangkan. Saat ini, perempuan sama-sama kompetitif tetapi ketika masuk ke ranah pembuat kebijakan, kompetisinya ibarat seperti piramida, yang makin ke atas semakin sedikit jumlahnya,” ujar Titi dalam Indonesian Law Debating Competition Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Depok (21/4).
Menurut Titi, meski telah memasuki era modern tahun 2024 masih memiliki masalah terkait gender dan pemmbangunan inklusif. Ia mencatat, meski terdapat upaya hak perempuan yang berhasil dilakukan, namun masih banyak juga hambatan yang menyertainya seperti, masih ada stigma dan stereotipe yang menghambat perempuan dalam mengatasi tantangan gender.
“Oleh karena itu penting mencapai pembangunan yang berkelanjutan khususnya di ranah hukum,” ujarnya.
Selain itu, Titi mengatakan demokrasi sebenarnya tidak hanya masalah pemilu saja. Namun keseluruhan proses kepemiluan, baik sebelum pemilu maupun setelah pemilu. ia menegaskan, pemilu bebas dan adil yang harusnya bukan sekadar regulasi, tetapi prosesnya harus menjadi satu kesatuan.
“Partisipasi aktif masyarakat sebagai warga negara dalam kehidupan sipil dan perlindungan atas hak setiap warga negara itu sama rata. Namanya saja hak warga negara, baik itu laki-laki atau perempuan, artinya sama-sama disetarakan,” tutupnya. []