JAKARTA, KOMPAS — Demokrasi, yang menghendaki penyebaran kekuasaan negara dalam masyarakat luas, ternyata di Indonesia hidup dalam sistem politik yang masih bersifat oligarki atau kondisi di mana jabatan publik dan kekayaan negara hanya dikuasai sebagian kecil masyarakat.
Pemilu, sebagai salah satu mekanisme pemberian kekuasaan kepada masyarakat luas, dinilai belum mampu menjawab persoalan tersebut. Pesan itu disampaikan dalam acara diskusi publik bertajuk “Oligarki dalam Transformasi Ekonomi dan Politik di Indonesia” yang diselenggarakan oleh Megawati Institute di Jakarta. Selasa (5/9).
Hadir sebagai pembicara dalam diskusi tersebut Direktur Eksekutif Lembaga Survei Indonesia (LSI) Kuskrido Ambardi, Pendiri Pusat Data Bisnis Indonesia (PDBI) Christianto Wibisono, Direktur Eksekutif International NGO Forum on Indonesian Development (Infid) Sugeng Bahagijo, dosen Universitas Airlangga Airlangga Pribadi, dan Reno Koconegoro dari Megawati Institute.
“Dalam ilmu politik, kerap kali oligarki diposisikan berlawanan dengan demokrasi. Namun, yang terjadi di Indonesia sebaliknya. Demokrasi bisa hidup di dalam sistem politik yang bersifat oligarki. Pemimpin politik yang dipilih melalui mekanisme yang demokratis, yaitu pemilu, masih merupakan para elite masyarakat yang memiliki penguasaan modal ekonomi yang besar,” ujar Ambardi.
Ambardi mengatakan, hal itu salah satunya disebabkan oleh terdapatnya perbedaan dalam proses politik antara pemilu dan perumusan kebijakan. Pada saat pemilu, seluruh masyarakat bebas memilih calon yang akan duduk di kursi eksekutif ataupun legislatif. Namun, hanya sedikit masyarakat yang memilih berdasarkan gagasan atau kebijakan politik yang dibawa oleh seorang calon.
“Dari berbagai hasil survei yang dilakukan, saya mengamati hanya sekitar 10 persen pemilih yang memilih berdasarkan visi dan misi kebijakan calon. Sementara 90 persen lainnya hanya memilih berdasarkan ketertarikan lambang partai, peci, atau dasi calon. Akibatnya, setelah pemilu berakhir, sistem politik berubah menjadi elitis. Hal itu dapat dilihat dari sistem penganggaran di DPR,” katanya.
Ambardi mengungkapkan, sistem pemilu legislatif saat ini, yang memungkinkan para caleg bertarung dengan calon lain di dalam satu partai, sulit mendobrak praktik oligarki di Indonesia. Ia menilai, sistem pemilu tertutup, di mana pemilih hanya akan memilih partai, dapat dipertimbangkan. Dalam sistem itu, ide atau gagasan kebijakan akan disatukan secara kolektif oleh partai sehingga yang diperjuangkan ialah kepentingan bangsa, bukan caleg.
Ketimpangan ekonomi
Airlangga juga mengakui, praktik oligarki di Indonesia masih dominan meski ada upaya memutusnya sejak reformasi. Airlangga menilai, jika persoalan ketimpangan ekonomi masyarakat Indonesia tidak segera diatasi, kondisi frustrasi yang dialami masyarakat kelas ekonomi menengah ke bawah akan dimanfaatkan menjadi instrumen politik oleh kelompok-kelompok oligarki lainnya, yang saat ini mungkin beroposisi.
Soal ketimpangan ini juga diakui Reno. Dia mengutip data Credit Suisse tahun 2016 menyebutkan, 10 persen penduduk terkaya di Indonesia menguasai 75,7 persen kekayaan nasional. “Presiden Joko Widodo telah mencoba memutus praktik-praktik oligarki melalui berbagai kebijakan redistribusi aset produktif, misalnya kebijakan reforma agraria melalui pemberian sertifikat tanah langsung kepada masyarakat,” tutur Reno.
Berbagai langkah yang diambil Presiden dalam mengatasi oligarki, menurut Sugeng, sudah benar. Namun dia menilai, hal itu belum cukup untuk mengubah sistem. “Dibutuhkan berbagai kebijakan lain agar redistribusi aset atau modal yang sudah dilakukan dapat berjalan efektif di masyarakat secara berkelanjutan,” ujar Sugeng.
Sementara itu, Christianto Wibisono berpendapat, Indonesia memiliki peluang yang besar dalam hal kekuatan ekonomi di dunia. Ia mencontohkan, pada 1927, perusahaan General Motors telah percaya bahwa Jakarta merupakan pilihan terbaik kedua untuk dijadikan tempat investasi di benua Asia setelah Yokohama, Jepang.
“Kita tidak boleh pesimistis dalam menatap potensi ekonomi kita. Kalau kita mau berjuang dan serius, tahun 2045 kita bisa berada di urutan empat dunia dalam hal kualitas ekonomi,” ujarnya.
Ia juga menyoroti perlunya perbaikan pengelolaan aset nasional atau badan usaha milik negara (BUMN) agar dapat memberikan manfaat yang lebih efektif. Sejauh ini, keuntungan yang didapat dari 119 BUMN yang ada dinilai belum efisien. (DD14)
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 6 September 2017, di halaman 2 dengan judul “Pemilu Belum Hapus Oligarki”.
http://print.kompas.com/baca/polhuk/politik/2017/09/06/Pemilu-Belum-Hapus-Oligarki