Mahalnya ongkos politik di Indonesia dianggap menjadi penyebab utama banyaknya politisi mendapatkan pendanaan dari bisnis yang merusak lingkungan. Pendanaan tersebut disusul kesepakatan dalam kebijakan politik yang menguntungkan bisnis perusak lingkungan. Peneliti Korupsi Politik Indonesia Corruption Watch (ICW), Yassar Aulia menyebut regulasi dan sistem di Indonesia belum optimal untuk menjawab transparansi data untuk menindak kejahatan finansial yang menopang kejahatan lingkungan.
“Secara umum korupsi di sumber daya alam berbicara soal politik perizinan yang selalu tumpang tindih, masuknya dana politik dari perusahaan tambang yang tidak bisa dilacak pemiliknya itu tidak pernah bisa diungkap. Kami melihat Peraturan Presiden (Perpres) 13/2018 tidak memiliki sanksi yang cukup sehingga tidak bisa menindak penerima dan pemberi manfaat dari perusahaan,” kata Yassar dalam diskusi online ICW “Pemilu dan Siklus Kejahatan Lingkungan” (26/1).
Perpres tentang Penerapan Prinsip Mengenali Pemilik Manfaat dari Korporasi dalam Rangka Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang dan Terorisme tersebut dinilai tidak mempunyai semangat pencegahan tindak pidana pencucian uang. ketidakjelasan rumusan pasal dalam Perpres berakibat tidak dapat dijalankannya pasal oleh aktor yang dituju. Selain itu tidak adanya kanal partisipasi publik yang masif dan politik hukum yang ada belum mampu menindak temuan kejahatan finansial menjadi alasan hal itu masih tumbuh subur.
“2,6 juta yang tercatatkan di Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkumham) yang melaporkan siapa pemilik manfaatnya masih sangat jauh, kalau tidak salah terakhir datanya cuma sekitar 36-38%. Lagi-lagi tidak ada rezim yang tersentralisasi yang kuat membuka data yang bisa diendus, sehingga tahu hubungannya dengan politik kita,” jelasnya.
Menurut Yassar, sirkulasi keuangan dari bisnis kotor untuk politik sudah terjadi sejak lama, namun ia menilai penegak hukum tidak dapat berbuat banyak. Ia memandang relasi dibalik tambang ilegal memiliki banyak kaitan dengan kekuasaan politik, sehingga menghasilkan relasi yang tidak seimbang pada penegak hukum. Kecenderungan tersebut menurutnya disebabkan regulasi yang ada belum sesuai dengan standar global, baik terkait penanganan korupsi, transparansi data maupun komitmen menghadapi kejahatan lingkungan.
“Belum ada pembenahan serius terkait pendanaan politik elektoral, akhirnya menghasilkan jabatan publik yang hanya diisi oleh elite yang punya sumber daya ekonomi yang sangat masif atau individu yang bergantung pada konglomerat atau korporasi perusak lingkungan,” kata Yassar.
Sementara itu Forest Campaigner Greenpeace South East Asia Iqbal Damanik menyebut Industri ekstraktif memiliki dampak berkepanjangan bagi lingkungan dan konflik masyarakat. Terlebih keterkaitan tambang dengan politik, terus berlangsung bertahun-tahun karena operasional industri ekstraktif membutuhkan dukungan politik. Dalam hubungan itu, Iqbal menilai sangat memungkinkan adanya konflik kepentingan.
“Dalam pemikiran bisnis dan politik yang paling cepat dan besar uangnya adalah industri yang berbasis lahan dan lingkungan. Mempunyai hubungan partai politik ini menjadi penting karena dia akan memutuskan kebijakan terkait industri lingkungan,” jelas Iqbal.
Resikonya menurut Iqbal, dapat dilihat dari bencana-bencana yang disebabkan kerusakan alam. Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) mencatat, setidaknya pada tahun 2023 terjadi 4.940 bencana alam di Indonesia, jumlah tersebut mengalami kenaikan 39,39% dibandingkan setahun sebelumnya sebanyak 3.544 kejadian. Kebakaran hutan dan lahan (karhutla) menjadi bencana alam yang paling sering terjadi dengan 1.802 kejadian, disusul banjir 1.170 kejadian dan cuaca ekstrem dan tanah longsor masing-masing sebanyak 1.155 dan 579 kejadian.
“Dan setiap tahun tren bencana itu selalu naik dan itu semua berasal dari krisis iklim. 10 tahun lagi kenaikan itu mungkin bisa lima kali lipat kalau kita tidak menyelamatkan dari industri perusak lingkungan,” ujarnya.
Sementara itu Dinamisator Jatam Kalimantan Timur Mareta Sari menilai, ketiga pasangan calon (Paslon) hanya mengusung solusi palsu bagi krisis iklim, yang hanya dibalut dengan istilah ekonomi hijau berupa transisi energi dan hilirisasi. Ia juga menyebut kontestan dan tim pemenangan capres-cawapres juga berisi pelaku bisnis dan oligarki ekstraktif dari tingkat nasional hingga daerah.
“Sehingga ada tunggakan utang sosial ekologis yang tidak bisa dinominalkan,” tegas Mareta.
Lebih lanjut, menurutnya dengan pola seperti itu pemilu tidak akan bisa menyelesaikan permasalahan tambang, janji dan program yang ditawarkan saat kampanye dinilai justru semakin membangkrutkan bentang sosial dan ekologis. Ia mengatakan, di Kalimantan timur setelah pemilu selesai ada izin tambang baru, misalnya di tahun 2008 terdapat 589 Izin Usaha Pertambangan (IUP), meningkat menjadi 1.180 IUP pada 2013. Di Kutai Kartanegara setelah Pemilihan Bupati (Pilbup) tahun 2009 terdapat 191 izin tambang baru, dan pada 2017 terdapat 172 izin tambang di Kalimantan Timur (Kaltim).
“Jadi kondisi setiap selesai pemilu selalu mengakibatkan perubahan pola konsumsi dan produksi, misalnya lahan pertanian menjadi lahan kelapa sawit melalui program-program pemerintah yang menyebabkan penyusutan ruang hidup,” imbuhnya.
Selain itu menurutnya, konflik agraria pada tiap pemilu semakin bertambah dan semakin luas ruangnya. Berdasarkan catatan Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) pada 2023 lalu setidaknya terdapat 241 kasus konflik agraria di Indonesia yang melibatkan 638,2 ribu Hektar. Yang terjadi menurutnya, pemenang pemilu justru mengeluarkan kebijakan dan program yang kontroversial dan tidak mendukung kelestarian lingkungan.
Mareta menyebut janji kampanye peserta pemilu tidak pernah relevan dengan kebutuhan masyarakat dan tidak menyentuh pada akar permasalahan yang ada di masyarakat. Misalnya soal lubang tambang di Kaltim, setiap kali kampanye peserta pemilu selalu mengangkatnya sebagai janji kampanye yang akan diselesaikan ketika menjabat.
“Apa yang dihadapi dan solusi yang diberikan tidak nyambung, jadi hal seperti itu banyak di Kalimantan Timur. Tapi sejauh ini belum ada politisi yang punya gagasan terhadap perampasan atau penumpasan tambang ilegal,” tandasnya. []