Pakar hukum kepemiluan Universitas Indonesia, Titi Anggraini, menilai perlunya pemisahan antara pemilu dan pilkada agar tidak diselenggarakan pada tahun yang sama. Menurutnya pelaksanaan pemilu nasional dan pilkada secara bersamaan pada 2024 berdampak negatif terhadap tingkat partisipasi pemilih serta kualitas pemilihan.
“Ada sejumlah hal yang mendesak dievaluasi dan diperbaiki dalam UU Pilkada, berkaca dari penyelenggaraan Pilkada Serentak 2024 yang dilaksanakan di tahun yang sama dengan Pemilu Serentak 2024,” ujarnya pada Jumat (29/11).
Titi menyoroti beban berat yang dihadapi penyelenggara pemilu akibat harus mengelola tahapan pemilu dan pilkada secara bersamaan. Selain itu, konsolidasi internal partai politik juga terhambat dalam proses pencalonan karena partai masih menghadapi dampak Pemilu Legislatif dan Pemilu Presiden yang berlangsung di tahun yang sama.
Lebih lanjut, Titi juga mengungkapkan bahwa pemilih mengalami kejenuhan politik akibat rentetan peristiwa politik yang terjadi secara terus-menerus. Ia menyarankan agar ada jeda minimal dua tahun antara pemilu dan pilkada guna memberikan waktu yang cukup bagi evaluasi pemilu sebelum memasuki tahapan pilkada berikutnya.
“Ini menjadi alasan yang sangat logis dan mendesak untuk memisahkan antara pemilu dan pilkada agar tidak terselenggara pada satu tahun yang sama,” tambahnya.
Selain itu, Titi menekankan bahwa pemisahan jadwal antara pemilu dan pilkada juga akan memberikan ruang bagi pemerintah daerah yang baru terpilih untuk bekerja secara lebih efektif tanpa terdistraksi oleh dinamika politik elektoral yang berkepanjangan. Selain itu, ketika pemilu dan pilkada digelar dalam tahun yang sama, perhatian publik dan media cenderung terfokus pada kontestasi nasional, sehingga pilkada kehilangan sorotan yang seharusnya diperoleh untuk memastikan pemilih dapat mengenal calon kepala daerah secara lebih mendalam.