October 15, 2024

Pemilu di Republik Twitter

“Enggak semua yang ditulis di Twitter itu sama, kan, sama aslinya?”

Nama Pengusaha Arif Cahyadi tak pernah dikenal oleh publik sampai kemudian sebuah akun media sosial memaparkan citra baik tentang dirinya. Pencitraan itu kemudian disusul dengan cuitan berantai dari akun-akun lainnya hingga publik memandang Arif sebagai seorang tokoh yang patut diperhitungkan. Setelah nama, demikian pula pencitraan dirinya, menjadi Trending Topic di jejaring media sosial, isu yang kemudian muncul adalah pencalonan dirinya sebagai Gubernur DKI Jakarta. Sementara itu, Arif sendiri tak pernah tahu perihal pencalonan dirinya sebagai Gubernur.

Bukan sekadar tak tahu, Arif bahkan tak pernah berencana untuk mencalonkan dirinya sebagai Gubernur DKI. Seseorang telah memanfaatkan namanya demi kepentingan pribadi. Orang tersebut adalah Kemal, politisi yang merancang citra Sang Calon Gubernur.

Kemal datang ke sebuah warnet kumuh tempat di mana sekelompok pemuda bekerja di depan layar komputer untuk mengendalikan isu yang berkembang di jejaring media sosial, dalam hal ini adalah Twitter. Kepada mereka, Kemal memesan isu untuk membangun sosok Arif. Para pemuda itu merancang pencitraan diri Arif dengan menggunakan sejumlah akun palsu yang memaparkan citra baiknya sebagai seorang pengusaha. Dengan akun-akun palsu itu pula, mereka menyampaikan dukungan kepada Arif untuk menjadi Cagub DKI Jakarta.

Jaringan di balik isu pencalonan Arif sebagai Cagub DKI kemudian berhasil dibongkar oleh Sukmo, salah satu perancang isu itu sendiri. Sukmo menyampaikan modus penciptaan citra Arif kepada seorang jurnalis. Kemudian, jurnalis tersebut memuat hasil investigasinya bersama Sukmo ke media cetak tempat di mana ia bekerja.

Pada akhirnya publik mengetahui siapa Arif. Melalui berita sang jurnalis di media cetak, publik pun mengetahui rencana busuk Kemal, yang ingin memanfaatkan posisi Arif jika kelak ia menjadi Gubernur Terpilih DKI. Dalam Republik Twitter, media cetak, dengan investigasi berbasis fakta, mengalahkan Twitter, yang mencuitkan data fiktif.

Media Sosial dan dinamika pemilu

Berdasarkan data Statista yang dilansir tahun ini (2014), Indonesia adalah negara dengan pengguna Twitter terbanyak ketiga, setelah Amerika dan Jepang. Dengan demikian, ketergantungan masyarakat Indonesia terhadap Twitter terbilang cukup tinggi. Tingginya ketergantungan masyarakat tersebut membuat Twitter mudah untuk mengendalikan persepsi publik.

Kemal, dalam Republik Twitter, memanfaatkan jejaring media sosial untuk menunjang citra seseorang demi di pemilu daerah. Hal ini pun terjadi pada Pemilu Presiden dan Wakil Presiden (Pilpres) 2014 lalu. Media sosial dimanfaatkan untuk konstestasi pemilu. Perbedaannya selain menaikan citra calon presiden atau pasangan calon, media sosial di Pilpres 2014 pun digunakan untuk menjatuhkan citra capres atau paslon lain.

Kampanye-kampanye busuk berseliweran di lini masa Twitter dan Facebook, juga media sosial lainnya seperti Blog, Youtube, atau Instagram. Tujuannya satu, menjatuhkan Tim Pasangan Calon Presiden dan Calon Wakil Presiden tertentu, sesuai dengan kepentingan kelompoknya masing-masing. Kampanye busuk di jejaring media sosial sangat mudah menuai tanggapan.

Kelompok yang sama akan mendukung, dan memperbusuk kampanye mereka, sementara kelompok yang berseberangan cenderung menanggapi secara emosional. Tanggapan emosional akan dibalas dengan tanggapan yang lebih emosional, hingga kemudian menimbulkan dinamika sosial yang tak hanya terjadi di dunia maya, melainkan juga di dalam kehidupan nyata.

Bawaslu mengakui, mereka tak bisa mengawasi lalu-lintas kampanye hitam yang mengalir deras di dalam media sosial. Melalui Komisionernya, Daniel Zuchron, Bawaslu mengatakan bahwa media sosial bukan ranah pengawasan mereka. Bawaslu berharap, Menteri Komunikasi dan Informatika cepat tanggap dalam menangani persoalan kampanye busuk dalam jejaring media sosial, sebab, menurut Daniel, Menkominfo memiliki otoritas untuk mendeteksi lalu-lintas elektronik.

Daniel Zuchron sendiri mengatakan, Bawaslu merekomendasikan untuk menutup akun yang terbukti menyebarkan kampanye-kampanye busuk. Persoalannya, jika akun-akun penyebar kampanye busuk tersebut adalah akun palsu, seperti akun pendukung pencalonan Arif sebagai Gubernur DKI dalam Republik Twitter, penutupan akun tak akan menimbulkan efek jera terhadap pelakunya. Penutupan akun sepertinya bakal sia-sia, mengingat mudahnya seseorang dalam membuat akun yang baru, dan kemudian kembali melakukan hal yang serupa melalui akun barunya tersebut.

Sementara itu, Menkominfo, Tifatul Sembiring, mengatakan bahwa himbauan untuk tak menanggapi kampanye busuk dengan serius sudah cukup untuk meredam dinamika sosial yang terjadi di masa menjelang pemilu. Menurut penelitiannya, 44 persen pengguna media sosial adalah remaja. Maka, kampanye busuk di media sosial tak perlu ditanggapi secara serius. Tapi pada kenyataannya kampanye busuk di media sosial benar-benar menimbulkan dinamika sosial yang serius, justru karena penggunanya adalah remaja, yang cenderung tak berpikir panjang terhadap konflik sosial yang bakal mereka hasilkan dari perilaku politik mereka di media sosial.

Sinergitas penyelenggara pemilu dan pemerintah

Pernyataan antara Bawaslu dan Menkominfo menunjukkan, pemerintah dan penyelenggara pemilu belum bersinergi secara maksimal. Mekanisme Penegakkan Hukum Terpadu (Gakkumdu), yang melibatkan Bawaslu, Polri, dan Jaksa Agung, terlalu panjang untuk mengatasi pelanggaran demi pelanggaran yang mengalir begitu deras, sementara batas kadaluarsa dari sebuah laporan pelanggaran itu sendiri terlalu pendek.

Berdasarkan pengalaman dalam penanganan kasus dugaan pelanggaran hukum pemilu yang lalu, sejumlah kasus yang diteruskan oleh Bawaslu ke pihak kepolisian dihentikan, sebab tak memenuhi syarat untuk bisa disebut sebagai pelanggaran hukum pemilu. Jika Bawaslu, sebagai pihak penyelenggara, telah menyerahkan laporan kasus dugaan pelanggaran kepada pihak kepolisian, sesungguhnya aneh, bagi kepolisian, untuk menyatakan laporan tersebut bukan merupakan tindakan pelanggaran. Bukankah Bawaslu yang seharusnya punya otoritas untuk menentukan yang mana yang pelanggaran dan yang mana yang bukan?

Hal itu menunjukkan bahwa persoalan pemilu belum menjadi prioritas bagi pemerintah. Wewenang Bawaslu sendiri masih sangat terbatas (atau dibatasi) untuk menindaklanjuti segala bentuk pelanggaran yang, menurut mereka, berada di luar ranah pengawasannya. Penyelenggara hanya bisa menindak pelaku pelanggaran yang identitasnya telah terdaftar dalam Komisi Pemilihan Umum (KPU), baik sebagai penyelenggara, peserta, maupun tim kampanye. Lalu bagaimana dengan pengguna jejaring media sosial?

Kampanye busuk di media sosial praktis tak tertangani. Republik Twitter menunjukkan kepada kita bahwa Twitter telah menjadi medan tempur paling strategis dalam membangun, pun menjatuhkan, citra seseorang.

Peneliti Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Veri Junaidi, mengatakan, jika memang bukan ranahnya, seharusnya Bawaslu bisa menempatkan pelanggaran di jejaring media sosial dalam kategori pelanggaran lainnya. Seandainya Bawaslu benar-benar memasukkan pelanggaran di jejaring media sosial sebagai bentuk pelanggaran pemilu, kemudian apa langkah selanjutnya? Bagaimana menelusuri pelaku yang identitasnya belum jelas tersebut? Bagaimana jika si pemilik akun menghapus sendiri akunnya, sebelum penegak hukum menangani kasusnya?

Mengutip Ketua Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu, Jimly Asshiddique, sesungguhnya yang dibutuhkan dalam pemilu dan jejaring media sosial (tambahan, dari saya) adalah etika. Jika pengguna media sosial mengenal etika dalam penggunaannya, tentu saja angka kampanye busuk bakal dapat ditekan.

Etika pemilu dan masyarakat

Dari pengalaman pemilu tahun ini, Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), sebagai organisasi yang berada di tengah-tengah masyarakat, harus segera mendampingi mereka dalam mengenal etika dalam pemilu, sebab sanksi hanya berlaku bagi masyarakat yang belum dewasa. Seberat apa pun sanksi dijatuhkan, saya pesimis sanksi tersebut dapat menimbulkan efek jera terhadap para pelanggar hukum. Lagipula, animo masyarakat terhadap politik hari ini sudah demikian tinggi, adalah sangat sayang untuk kemudian menekan mereka dengan sanksi-sanksi.

Dalam Republik Twitter, etika tersebut hadir dalam diri seorang jurnalis. Jurnalisme menyampaikan fakta berbasis investigasi untuk meredam desas-desus ala warung kopi. Persoalannya, di Pilpres 2014 media massa beserta jurnalisnya melakukan ketaksesuaian fakta dan terlibat dukungan. Media massa televisi, cetak, dan online juga terpolarisasi mendukung paslon Pilpres 2014.

Maka, Republik Twitter dan Pilpres 2014 menyadarkan, pekerjaan rumah Indonesia dengan pemilunya adalah bagaimana menyediakan ruang perbincangan di masyarakat yang bisa membuktikan fakta layaknya jurnalistik investigatif. Bagaimana pula ruang perbincangan ini diselenggarakan dan bisa diakses luas masyarakat dengan segala tingkat ekonomi.

Pada dasarnya pemilu dan twitter bisa diakses siapa pun. Selain syarat untuk berhak atau layak mengaksesnya, keduanya ada prosedur identifikasi keterlibatan. Tapi prosedur yang menyertakan kebebasan mengakses dan terlibat di pemilu dan twiiter menjadi hal yang normatif saja jika tak menyertakan etika tiap personal dalam interaksinya. []

BAGUS PURWOADI
Pegiat rumahpemilu.org