Pemilu Indonesia pasca-Reformasi sudah berlangsung lima kali dan menghasilkan pemerintahan terpilih yang tidak diinterupsi aksi nondemokratis. Karena ini, pemilu negara terbesar ketiga dunia ini layak jadi rujukan demokrasi dunia.
“Suatu negara ketika sudah melaksanakan pemilu lima kali berturut-turut tanpa satupun terinterupsi perilaku non demokratis, maka negara itu wajib menjadi rujukan demokrasi di dunia,” kata anggota Komisi Pemilihan Umum, August Mellaz dalam diskusi Peran Strategis Mahasiswa Mengawal Transparansi Informasi Pemilu dalam Mewujudkan Pemilu Terbuka 2024, Selasa (26/09).
August menjelaskan, ada pengalaman baik yang bisa diambil selama mengelola lima kali pemilu secara demokratis. Menurutnya, setiap periode pemilu kita berkomitmen untuk merealisir proses lebih baik. Tantangannya kemudian, pergeseran generasi yang sangat terbiasa dengan informasi dan teknologi.
August mengutip data 52-55 persen pemilih adalah milenial dan generasi Z. Angka ini sesuai dengan perkembangan teknologi informasi yang bertemu dengan generasi yang ramah dengan teknologi.
“Harusnya pemilu mendatang sangat egaliter,” ujar August.
Akademisi Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Titi Anggraini mengatakan, perkembangan teknologi dan informasi harus beriringan dengan pemilih yang berdaya dan terinformasi baik. Keadaan ini mampu mendorong pemilih membuat keputusan secara bermakna.
“Misal bijakmemilih.id dengan keterbukaan data dari KPU mengajak para pemilih tahu makna angka-angka. Jadi tahu bahwa pemilu bukan sekedar logo partai, tetapi ada orang yang terlibat di dalamnya yang perlu ditelusuri rekam jejaknya. Makna keterbukaan akhirnya akan menyentuh esensi elemen demokrasi, yaitu partisipasi aktif warga negara untuk ambil peran,” pungkas Titi. []