September 13, 2024
Print

Pemilu Tanpa Noda Korupsi

Pemilu 2019 diharapkan menjadi ajang kontestasi orang-orang yang tidak pernah terkait dengan korupsi. Upaya KPU menyaring calon anggota legislatif yang bebas dari korupsi diapresiasi publik meski kebijakan itu bukan jaminan akan menghasilkan kontestasi politik yang bersih dari tindak korupsi.

Upaya Komisi Pemilihan Umum melarang eks terpidana korupsi menjadi calon anggota legislatif mendapat apresiasi publik. Hasil jajak pendapat Litbang Kompas pada pekan lalu menunjukkan, korupsi merupakan musuh bersama di mata publik.

Peraturan KPU Nomor 20 Tahun 2018 tentang Pencalonan Anggota DPR dan DPRD yang diundangkan pada 3 Juli 2018 menyebutkan soal ketentuan partai politik (parpol) tidak menyertakan eks terpidana korupsi dalam menyeleksi bakal calon anggota legislatif (caleg). Komitmen ini diwujudkan dengan penandatanganan pakta integritas oleh partai politik.

Hasil jajak pendapat menyebutkan, sebagian besar responden (75,7 persen) setuju dengan aturan KPU tersebut. Namun, kebijakan itu juga disadari berpotensi mengancam hak politik seseorang, bahkan bisa mencabut hak politik bekas narapidana korupsi. Dalam kaitan ini, publik tetap memandang bahwa kewenangan pencabutan hak politik ada pada lembaga pengadilan. Sebanyak 61,3 persen responden menyatakan hal itu.

Publik hanya ingin pemilu tahun depan diisi oleh para caleg yang bersih dari korupsi. Apalagi, di mata publik, korupsi sebagai tindakan yang harus dimusuhi. Hasil jajak pendapat menunjukkan, pada tingkatan apa pun, selama itu terkait korupsi, publik cenderung menghindari.

Seseorang yang pernah dikaitkan dengan isu korupsi, misalnya, termasuk di antaranya pernah menjadi saksi dan dipanggil

oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), cenderung tidak dikehendaki masuk dalam perebutan jabatan publik, termasuk menjadi caleg. Apalagi, seseorang yang pernah menjadi tersangka, bahkan terdakwa perkara korupsi.

Sikap itu tidak lepas dari banyaknya kasus korupsi yang menjerat elite politik, khususnya anggota legislatif. Menurut data KPK, sepanjang 2004-2017 ada 144 anggota legislatif yang diproses hukum karena korupsi. Jumlah ini belum termasuk anggota DPR yang diproses hukum sepanjang 2018.

Korupsi dan pemilu

Dalam konteks aturan pemilu, diksi korupsi sebenarnya hal baru dalam aturan KPU. Sebelumnya, aturan terkait kontestasi pada pemilu, khususnya soal syarat pengajuan dan pendaftaran caleg, hanya mengatur secara umum terkait dengan rekam jejak keterlibatan bakal calon dalam kasus pidana.

Pada Pemilu 1999 dan 2004 muncul ketentuan syarat bagi bakal caleg bukan seseorang yang sedang menjalani pidana penjara dengan ancaman pidana penjara lima tahun. Pada Pemilu 2004, KPU juga mengeluarkan keputusan terkait kewajiban bagi bakal caleg, yakni memberikan surat keterangan bahwa dia tidak sedang dicabut hak pilihnya oleh pengadilan sebagai syarat menjadi calon anggota legislatif.

Larangan lebih tegas terjadi pada Pemilu 2009. Bagi seseorang yang pernah dijatuhi pidana penjara dengan ancaman lima tahun atau lebih dilarang maju menjadi caleg. Aturan ini berlaku sampai Pemilu 2014. Pasca-Pemilu 2014, Mahkamah Konstitusi memutuskan bekas terpidana, termasuk dalam perkara korupsi, boleh maju sebagai caleg sepanjang yang bersangkutan mengumumkan secara terbuka dan jujur kepada publik bahwa dirinya pernah menjadi terpidana.

Keputusan MK inilah yang kemudian masuk dan diakomodasi dalam UU No 7/2017 tentang Pemilu, terutama pada Pasal 240 Ayat 1 Huruf g, yang menyebutkan pengecualian bagi eks terpidana yang secara terbuka dan jujur mengemukakan kepada publik bahwa mereka adalah eks terpidana. Syarat ini membuka peluang bekas terpidana menjadi caleg.

Di poin inilah kemudian PKPU Nomor 20 Tahun 2018 melahirkan pro dan kontra. Ini karena pada Pasal 4 Ayat 3 peraturan tersebut disebutkan bahwa dalam pengajuan daftar caleg, parpol tidak menyertakan eks terpidana, salah satunya dalam kasus korupsi.

Tidak memilih

Penolakan publik pada bekas terpidana korupsi untuk menjadi caleg tidak saja ditunjukkan dengan mendukung aturan KPU terkait dengan larangan eks terpidana korupsi masuk dalam daftar caleg. Sebagian besar responden (76,9 persen) dalam jajak pendapat juga mengaku tidak akan memilih mereka pada pemilu tahun depan. Menariknya, tidak hanya responden yang setuju PKPU yang tidak akan memilih. Responden yang cenderung menolak PKPU pun sebagian besar juga tidak akan memilih caleg yang pernah menjadi narapidana korupsi.

Di mata publik, penolakan terhadap bekas narapidana korupsi menjadi caleg ini disepakati sebagai upaya untuk menghasilkan caleg yang bersih. Namun, keyakinan ini juga dibayangi oleh potensi yang juga dibaca publik bahwa caleg yang tidak pernah terlibat kasus korupsi bukan berarti menutup peluang mereka tidak akan terjerat dalam tindak pidana korupsi. Setidaknya, untuk soal ini, sikap publik cenderung terbelah. Sebanyak 54,4 persen meyakini larangan ini akan menjamin caleg bersih dari perilaku korup. Namun, sebagian responden lain (42,1 persen) menyatakan sebaliknya.

Separuh responden yang tidak yakin ini memang lebih banyak dari kelompok responden yang tidak setuju dengan adanya PKPU yang melarang bekas narapidana korupsi menjadi caleg. Selain soal ketidakyakinan menghasilkan sosok anggota legislatif yang bersih dari korup, larangan tersebut juga dipandang melanggar hak politik seseorang untuk dipilih, bahkan dianggap sudah mencabut hak politik tersebut. Untuk itulah, kemudian hasil pertemuan unsur pimpinan DPR, pimpinan Komisi II DPR, Menteri Dalam Negeri, Ketua KPU, dan Ketua Bawaslu menyepakati, pihak-pihak yang merasa dirugikan atas aturan ini bisa mengajukan uji materi ke Mahkamah Agung.

Tentu uji materi menjadi jalan tengah untuk menentukan apakah PKPU itu melanggar undang-undang atau tidak sekaligus menjadi jembatan antara upaya menghasilkan caleg yang bersih tanpa harus melanggar hak politik seseorang. Yang lebih penting lagi, verifikasi menjadi kata kunci saat nanti mengawal ribuan caleg.

Beruntung, publik tidak sekadar menolak caleg yang pernah berurusan dengan korupsi. Separuh lebih responden mengaku akan bersedia terlibat aktif dalam mencermati daftar caleg. Jika mereka menemukan caleg yang pernah terlibat korupsi, terutama yang terjadi di wilayahnya, mereka akan melaporkan hal itu kepada penyelenggara pemilu.

Antusiasme ini ditunjukkan oleh kedua kelompok responden, baik yang setuju maupun yang tidak setuju dengan aturan larangan bekas narapidana korupsi masuk daftar caleg. Hal ini menjadi potret kuatnya keinginan publik agar mereka yang berkontestasi pada Pemilu 2019 bebas dari noda korupsi. (YOHAN WAHYU/ LITBANG KOMPAS)

Dikliping dari artikel yang terbit di harian Kompas edisi 9 Juli 2018 di halaman 5 dengan judul “Pemilu Tanpa Noda Korupsi”. https://kompas.id/baca/utama/2018/07/09/pemilu-tanpa-noda-korupsi-2/