September 13, 2024

Pemohon Sengketa Pilkada Lemah dalam Aspek Pembuktian

Mahkamah Konstitusi, Kamis (18/2/2021) memutus 10 permohonan perselisihan hasil Pilkada 2020. Putusan tersebut menunjukkan bahwa sebagian dari pemohon sengketa cenderung lemah dalam aspek pembuktian, sehingga permohonannya ditolak. Hal ini dianggap akibat pasangan calon baru menyiapkan saksi dan bukti setelah kalah dalam penghitungan suara.

Kemarin, putusan yang dibacakan ialah untuk permohonan sengketa hasil Pilkada di 10 kabupaten, yakni Belu dan Malaka (Nusa Tenggara Timur), Teluk Wondama (Papua Barat), Pesisir Barat (Lampung), Kotabaru (Kalimantan Selatan), Bandung (Jabar), Nias Selatan dan Samosir (Sumatra Utara), Karimun (Kepulauan Riau), dan Kabupaten Sumbawa (Nusa Tenggara Barat).

Dari 10 permohonan yang diputuskan kemarin, empat permohonan dinyatakan tidak diterima karena tidak memenuhi syarat formil, lima permohonan ditolak, dan satu permohonan dikabulkan sebagian.

Sebelumnya, 100 permohonan lainnya yang telah diregistrasi oleh MK telah diputus dalam putusan sela. Dengan begitu, masih ada 24 permohonan lagi yang belum diputus MK.

Satu permohonan yang dikabulkan sebagian oleh mahkamah yaitu perkara Nomor 32/PHP.BUP.XIX.2021 yang diajukan pasangan nomor urut 1 Elysa Auri dan Fery Michael D di Pilkada Teluk Wondama.

Mahkamah menilai telah terjadi pelanggaran dalam pelaksanaan pemungutan suara di empat tempat pemungutan suara (TPS) di Distrik Wasior. Oleh karena itu, mahkamah memerintahkan termohon untuk melaksanakan pemungutan suara ulang (PSU) di empat TPS tersebut dalam tenggang waktu 30 hari sejak putusan diucapkan. Bawaslu Kabupaten Teluk Wondama diminta mengawasi pelaksanaan PSU secara ketat.

“Memerintahkan termohon untuk melaksanakan pemungutan suara ulang di TPS 05 Kampung Wasior II, TPS 04 Kampung Manuwak, TPS 09 Kampung Maniwak, dan TPS 14 Kampung Maniwak, Distrik Wasior yang diikuti seluruh pasangan calon dalam pemilihan Bupati dan Wakil Bupati Teluk Wondama Tahun 2020,” kata Ketua MK Anwar Usman.

Adapun, lima perkara yang ditolak rata-rata dengan pertimbangan dalil dugaan pelanggaran tidak dapat dibuktikan, atau pelanggaran terbukti tetapi tidak berpengaruh langsung terhadap perolehan suara paslon. Dalam perkara nomor 43/PHP.BUP-XIX/2021 yang diajukan oleh pasangan calon Calon Bupati dan Wakil Bupati Nomor Urut 2 Kotabaru, Burhanudin dan Bahrudin misalnya, majelis hakim menyatakan dalil pemohon terkait politisasi birokrasi dan penyalahgunaan wewenang yang dilakukan petahana tak terbukti.

Setelah mencermati bukti-bukti hasil pengawasan oleh Bawaslu Kotabaru, baik dokumentasi foto, video, dokumen surat, dan keterangan, pemohon dinilai tidak memiliki cukup bukti yang meyakinkan mahkamah. Peristiwa yang didalilkan juga dinilai tidak memengaruhi pilihan masyarakat untuk memilih pihak terkait.

“Sehingga dengan demikian, menurut mahkamah dalil pemohon tersebut tidak beralasan hukum,” kata hakim Wahiduddin Adams.

Selain itu, MK juga menolak permohonan perselisihan hasil pemilihan Bupati Belu yang diajukan Pasangan Calon Bupati dan Calon Wakil Bupati Nomor Urut 1 Willybrordus Lay dan JT Ose Luan. Dalam perkara nomor 18/PHP.BUP-XIX/2021 itu mahkamah berpendapat dalil pemohon terkait politik uang dan mobilisasi massa tak terbukti. Hal itu telah dibantah pihak terkait. Selain itu, laporan serupa juga pernah diajukan ke Bawaslu Kabupaten Belu, tetapi tak ditindaklanjuti karena tidak memenuhi unsur politik uang.

“Mahkamah tidak menemukan bukti dan keyakinan yang cukup mengenai adanya pelanggaran berupa praktik politik uang dan mobilisasi massa oleh pihak terkait yang bersifat terstruktur, sistematis, dan masif memengaruhi perolehan suara pemohon. Dengan demikian, dalil pemohon tidak beralasan menurut hukum,” ujar hakim konstitusi Enny Nurbaningsih.

Pembuktian lemah

Peneliti Kode Inisiatif Ihsan Maulana mengatakan, sebagian besar permohonan yang ditolak MK karena tidak dapat membuktikan pelanggaran yang didalilkan. Selain itu, ada pula dalil yang terbukti tetapi dinilai mahkamah tidak berpengaruh langsung pada perolehan suara. Menurut dia, paslon kerap lemah dalam aspek pembuktian, karena mereka tidak memiliki dokumentasi yang baik sejak tahapan pilkada. Mereka baru menyiapkan bukti-bukti dari saksi-saksi setelah dinyatakan kalah di pemungutan suara.

“Pada saat proses pilkada berlangsung, para paslon ini biasanya lebih fokus pada bagaimana cara mendongkrak elektabilitas dan pemenangan. Mereka tidak mendokumentasikan bukti-bukti dengan baik sebagai antisipasi jika ada upaya hukum ke MK,” kata Ihsan.

Pengajar hukum tata negara Universitas Andalas Feri Amsari mengatakan, selain permohonan ditolak, ada empat perkara dalam putusan perselisihan hasil pilkada ini yang tidak diterima MK. Ini artinya, perkara itu tidak dapat memenuhi syarat formil pemeriksaan. Baik itu syarat selisih ambang batas perolehan suara, maupun batas waktu pengajuan perkara.

Padahal, pada perselisihan hasil pilkada ini, MK cukup progresif mengesampingkan syarat formal seperti ambang batas selisih suara yang diatur di Pasal 158 UU Pilkada. MK berupaya memeriksa laporan pelanggaran, dengan menunda pemeriksaan syarat formal perkara di akhir.

Namun, sayangnya dalam proses pemeriksaan, pelanggaran yang didalilkan pemohon itu juga tidak terbukti. Sehingga, beberapa perkara tidak diterima oleh MK dengan alasan pemohon tidak berkedudukan hukum. (DIAN DEWI PURNAMASARI)

Dikliping dari artikel yang terbit di harian Kompas edisi 19 March 2021 di halaman 2. https://www.kompas.id/baca/polhuk/2021/03/19/separuh-perkara-phpkada-ditolak-karena-pelanggaran-tak-terbukti/