November 11, 2024

Pemuda dan Regenerasi Pemilih

Pemilih muda di Pemilu 2024 diperkirakan berjumlah 60 persen dari total pemilih. Jika pemilih ini ikut berpartisipasi dengan menyumbangkan suaranya di hari pemilihan, dampaknya bakal baik terhadap masa depan demokrasi karena lancarnya proses regenerasi pemilih di Indonesia.

Selama ini, pembicaraan tentang pemilih muda diwakili dengan ruang dan kesempatan yang didapatkan oleh pemuda dalam memperebutkan posisi politik, baik di ranah legislatif atau eksekutif. Pembicaraan tentang pemilih yang menentukan “pemuda” punya kesempatan besar terpilih atau tidak, jarang teredukasi dan diyakinkan bahwa peran mereka penting di pemilu.

Kesempatan Politik

Harus diakui permasalahan utama yang tampak pada pemilih muda tidak percaya bahwa suara mereka tidak berpengaruh di politik, karena lambatnya sirkulasi elite di partai politik. Hal ini disebabkan karena partai politik di Indonesia masih menggunakan pendekatan lama (tua), ini tidak hanya “penyakit” di partai lama, namun juga terhadap partai-partai baru.

Partai politik sedang berusaha untuk membangun kolaborasi dengan pemilih muda atau berupaya agar dilihat membangun persepsi setara. Namun kenyataannya, parpol gagal memperlihatkan kolaborasi di partai. Pemilih muda jarang melihat partai belum memberi kesempatan yang strategis kepada para pemuda, kecuali sebagai medianya.

Ruang yang diberikan kepada pemuda tentu tidak sebagai bentuk gagah-gagahan, agar partai dinilai peduli dengan milenial dan Gen Z. Namun, untuk menarik pemilih yang 60 persen dari total pemilih tidak mungkin 75 persen narasi dan panggungnya dikuasai oleh baby boomer.

Kesalahan-kesalahan dalam memberi panggung masih sering terjadi. Dalam kegiatan-kegiatan yang diadakan oleh partai,  KPU, dan Bawaslu terkait pemilih muda, narasumber yang dihadirkan untuk berbicara pemilih muda mayoritas berasal dari generasi Baby Boomer dan Gen X. Para Baby Boomer dan Gen X dulunya pernah muda dan tidak salah juga berbicara tentang potensi dan peluang pemuda di politik. Perbedaan zaman terkadang narasi yang disampaikan tidak jauh-jauh dari pengalamannya pada tahun 1966 atau 1998. Pada akhirnya, narasi yang dibicarakan lebih kepada membanggakan kejayaan pemuda masa lalu di ranah politik. Ide-ide tersebut cenderung mental dalam percakapan Gen Millennial dan Gen Z, karena cerita yang disampaikan tidak memiliki korelasi dengan era saat ini.

Partai Beradaptasi

Dari permasalahan di atas, partai tidak boleh salah membaca strategi dalam memberi kepercayan kepada elite untuk menjawab fenomena ini. Apalagi partai mengalami masalah dalam regenerasi pemilih, salah satunya pekerjaan rumah yang perlu juga diperbaiki oleh partai sebagai prasyarat jika ingin terus relevan dengan zaman.

Selama ini, partai masih bergantung dengan pemilih senior. Namun, lambat laun pemilih tersebut mulai tua dan meninggal. Party ID yang menjadi kebanggan sejumlah partai, pelan-pelan juga terus redup. Pemilih muda punya penilaian sendiri dalam menentukan pilihan, tanpa harus mengkonfirmasikan kepada orang tuanya.

Kemandirian pemilih muda ini dalam menentukan pilihan politik, malahan memberi peluang pemuda untuk mempengaruhi pilihan politik orang tua. Pemuda dikenal lebih adaptif dengan teknologi, punya media yang lebih baik untuk memperoleh informasi, dan mempengaruhi pemilih senior.

Oleh karena itu, memberikan kesempatan kepada kader-kader muda untuk mengisi jabatan strategis, sebagai salah satu upaya untuk merespon bahwa pemilih muda melihat partai juga beradaptasi dengan perubahan zaman. Partai dikuasai oleh keluarga, menjadikan pendanaan partai bergantung dengan anggaran beberapa orang.

Akhirnya, ini yang menyebabkan sirkulasi elite bermasalah, karena kuasa anggaran tidak berada pada ranah organisasi. Jika ingin partai lebih mandiri dan terbuka, pendanaan partai dibantu oleh negara atau tidak memberi ruang segelintir elite memiliki saham mayoritas di partai.

Penguasaan partai oleh segelintir orang memang sulit dihindari, karena kesempatan yang didapatkannya itu juga lewat demokrasi. Rakyat yang memilih dan memberi ruang keluarga tertentu tetap kuat. Hal ini tentu bakal menarik, jika partai berani melakukan perombakan besar-besaran di internalnya dengan melakukan peremajaan struktur partai dengan memberi ruang terhadap figur-figur yang lebih muda dari berbagai kelompok. Sikap ini tentu mempertaruhkan sikap elite yang sedang berkuasa bahwa kekuasaan itu harus terbagi agar sirkulasinya baik.

Sirkulasi Generasi

Sikap partai di atas adalah bagian dari menjawab tantangan dan strategi untuk melihat tahun 2045, di mana proyeksi pertumbuhan penduduk Indonesia berakhir. Indonesia bakal memasuki “ageing population”, penduduk dengan usia tidak produktif lebih banyak dibandingkan dengan yang produktif.  Struktur sosial, ekonomi, politik, dan budaya di masa depan akan didominasi oleh generasi yang saat ini sedang tumbuh. Perubahan sistem sosial akan terjadi dengan adanya pergantian generasi di struktur-struktur yang ada di masyarakat.

Perubahan itu menjadi kekhawatiran bagi pelaku sosial, ekonomi, dan politik melihat masa depan penduduk Indonesia. Beberapa strategi dilakukan untuk memperkenalkan nilai kepada generasi yang saat ini sedang tumbuh. Eksistensi di masa depan dijawab dengan mendekati generasi ini agar ikut masuk ke dalam kebiasaan, kelembagaan, dan sosial yang sudah dibentuk. Perubahan-perubahan yang dilakukan untuk mendekati generasi ini yakni dengan mengenali kebiasaannya.

Singkat kata, saat hak pilih pemuda berada di angka 60 persen, banyak harapan dan pola kerja yang mereka inginkan kedepannya. Perubahan sosial, ekonomi, dan budaya juga ikut mengubah persepsi generasi berikutnya tentang posisi mereka di politik. Makanya, parpol atau lembaga-lembaga yang punya tantangan membaca potensi pertumbuhan generasi dan peran apa yang bisa diambilnya untuk perkembangan demokrasi. []

ARIFKI CHANIAGO

Direktur Eksekutif Aljabar Strategic Indonesia