Pencalonan kepala daerah adalah sesuatu hal yang sangat menarik. Banyak orang menginginkan jabatan ini. Beragam motivasi mendasari orang-orang ingin menjadi Kepala Daerah, dari keinginan untuk mengabdi, untuk mengaktualisasikan diri, mau populer, atau karena hasrat yang lain.
Untuk menjadi kepala daerah, harus memenuhi persyaratan, baik syarat calon yaitu kualifikasi pribadi atau pun syarat pencalonan yaitu jalur partai politik dan perseorangan. Persaingan untuk menjadi kepala daerah begitu tinggi karena banyaknya orang yang berminat, juga karena jabatan kepala daerah yang bergelimang wewenang dan fasilitas walau pun gaji pokoknya hanya setara gaji dua orang petugas kebersihan di Provinsi DKI.
Bagi yang punya pengalaman dalam pencalonan pilkada, pasti mengetahui, begitu sulitnya menjamin pencalonan yang kompetitif. Jangankan untuk menjadi kepala daerah, untuk menjadi calon kepala daerah saja bukanlah hal yang mudah. Sebab, semuanya mesti melewati gigihnya perjuangan mendapatkan syarat pencalonan. Ini berlaku baik di jalur partai politik maupun di jalur perseorangan.
Undang-undang pilkada berketentuan, pasangan calon kepala daerah yang diajukan oleh partai politik haruslah yang mendapatkan rekomendasi yang ditetapkan oleh dewan pimpinan pusat. Makna dewan pimpinan pusat dalam hal ini adalah ketua umum dan sekretaris jenderal atau oleh sebutan lain yang memiliki kewenangan yang sama.
Tak jarang didengar hal-hal yang diwajibkan di dalam mendapatkan rekomendasi ini, ada partai politik yang membuat slogan antimahar. Pertanyaannya, apakah ada partai politik yang mewajibkan mahar? Ada partai politik yang membuat slogan mengutamakan kader. Kita bisa bertanya, apakah ada partai politik yang tidak mengutamakan kadernya? Sejumlah partai politik ini seperti mau menjelaskan adanya praktik pencalonan yang buruk tapi tidak menyertakan kenyataan yang konkrit.
Orang-orang yang berminat dan berambisi menjadi kepala daerah tentu harus mendapatkan rekomendasi partai politik sebagai syarat pencalonan. Berbagai lobi dan pendekatan dilakukan untuk memperolehnya dan hai ini tentu sangat wajar dilakukan dan memang harus dilakukan. Tetapi di dalam prakteknya, ada juga hal-hal yang dirasa tidak lagi etis, tidak aspiratif atau janggal karena dasar pemberian rekomendasi oleh ketua umum tidak mengakomodir aspirasi kader di daerah. Di lain pihak ada pasangan calon yang berusaha melobi semua partai politik sehingga tidak ada lagi kompetitor dari jalur partai politik.
Ketua umum partai politik dalam hal ini begitu berkuasa dan menjadi penentu apakah bakal pasangan calon bisa mengikuti kontestasi pilkada. Undang-undang pilkada juga mengatur ini dan bisa disalahgunakan. Selain disalahgunakan ketua umum, yang mau mencalonkan yang mendapat rekomendasi bisa melakukan penyalahgunaan dengan cara memborong semua rekomendasi partai politik. Kompetitor yang dianggap kuat elektabilitas bisa terbungkam. Ada beberapa kekecewaan di daerah akibat dari pasangan calon yang direkomendasikan tidak sesuai aspirasi kader. Calon tunggal merupakan wujud dari rekomendasi semua partai politik yang diberikan kepada satu pasangan calon saja.
Pada Pilkada 2020, daerah bercalon tunggal kemungkinan akan semakin banyak dibanding pilkada sebelumnya. Ada kemungkinan, lebih dari 30 daerah diikuti satu pasangan calon sesuai dengan rekomendasi partai politik yang telah diserahkan. Apakah ini murni aspirasi rakyat dam kader, atau apakah aspirasi elite semata?
Banyaknya aksi penolakan terhadap calon tunggal. Ini menandakan bahwa pemberian rekomendasi oleh hampir seluruh partai politik ke satu pasangan calon, memang wajar dipertanyakan.
Pilkada adalah proses di mana rakyat akan menentukan siapa yang akan menjadi pemimpinnya. Kedaulatan berada di tangan rakyat karena semua memiliki hak suara yang sama. One people, one vote, one value. Katanya demokrasi adalah pemerintahan dari, oleh, dan untuk rakyat. Dari praktik pencalonan di pilkada, apakah bisa disimpulkan kedaulatan rakyat bergeser menjadi kedaulatan ketua umum partai politik? []
PABER COLOMBUS SIMAMORA