August 8, 2024

Pengawasan Netralitas ASN Lebih Kompleks di Pemilu dan Pilkada 2024

Pengawasan netralitas aparatur sipil negara pada Pemilihan Umum dan Pemilihan Kepala Daerah 2024 diperkirakan lebih kompleks dibandingkan dengan gelaran pemilihan sebelumnya. Itikad baik dan komitmen partai politik memastikan kontestan tidak memolitisasi birokrasi menentukan penyelenggaraan pemilu dan pilkada yang adil.

Survei Nasional Netralitas Aparatur Sipil Negara (ASN) pada Pilkada Serentak 2020 yang dilakukan oleh Komisi Aparatur Sipil Negara (KASN) menunjukkan, 62,70 persen responden setuju bahwa kedudukan kepala daerah sebagai pejabat pembina kepegawaian (PPK) menyebabkan ASN sulit bersikap netral dalam pilkada. Hanya 37,30 persen yang menyatakan tidak setuju.

Padahal, mayoritas responden (93,35 persen) memiliki pemahaman yang baik setelah mengikuti sosialisasi netralitas ASN.

Dari survei juga tergambar penyebab ASN menunjukkan ketidaknetralan dalam pilkada, antara lain, ikatan persaudaraan (50,76 persen) dan kepentingan karier (49,72 persen). Ketidaknetralan mereka dalam pilkada dipengaruhi di antaranya tim sukses (32 persen), atasan ASN (28 persen), dan pasangan calon (24 persen). Sebanyak 78,73 persen responden setuju bahwa pemberian efek jera kepada ASN pelanggar netralitas belum memberikan efek jera.

Survei ini sejalan dengan data pelanggaran ASN yang ditangani Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) pada Pilkada 2020. Saat itu, Bawaslu menemukan 514 kasus pelanggaran dan menerima 27 laporan pelanggaran netralitas ASN. Jumlah kasus pelanggaran tak berbeda jauh dengan saat Pemilu 2019 yang mencapai 519 kasus.

Adapun berdasarkan data KASN, ada 2.007 ASN yang telah diproses atas kasus pelanggaran netralitas pada Pilkada 2020. Sebanyak 79,1 persen atau 1.588 ASN di antaranya terbukti melakukan pelanggaran dan telah mendapat rekomendasi dari KASN. Dari yang telah terbukti melanggar, sanksi kepada 223 ASN belum ditindaklanjuti oleh PPK.

Meskipun banyak yang telah dilaporkan dan diproses karena melanggar netralitas saat pilkada, mayoritas responden (77,60 persen) menyatakan pelanggaran banyak yang kurang terpantau lembaga pengawas. Artinya, bisa jadi pelanggaran yang terjadi di lapangan lebih banyak dibandingkan dengan yang telah diproses oleh Bawaslu.

Ketua KASN Agus Pramusinto mengatakan, netralitas masih menjadi persoalan serius bagi ASN saat pilkada. Modusnya yakni politisasi birokrasi dan birokrasi yang berpolitik praktis. Praktik balas budi dan balas dendam dalam pengembangan karier ASN pasca-pelantikan kepala daerah definitif pun masih berjalan.

”Pada masa-masa pilkada, ASN pada hampir seluruh wilayah merasa tidak nyaman untuk melaksanakan tugas pokok dan fungsi karena terpaksa mempertimbangkan hal-hal politis,” ujarnya saat Rilis Hasil Survei Nasional Netralitas ASN pada Pilkada Serentak Tahun 2020, Kamis (16/12/2021).

Hadir pula sebagai narasumber Sekretaris Umum Forum Sekretaris Daerah Seluruh Indonesia Muhammad Idris, Tenaga Ahli Bawaslu Abdullah Iskandar, dan anggota Dewan Pembina Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Titi Anggraini.

Menjelang gelaran pemilu dan pilkada serentak nasional pada 2024, lanjut Agus, suhu politik mulai meningkat dan telah berdampak pada gejala politisasi birokrasi tak hanya terjadi di daerah, tetapi juga di tingkat pusat. Ini ditunjukkan pada sejumlah pejabat pimpinan tinggi madya pada salah satu kementerian yang menghadiri ulang tahun partai politik dengan berseragam terafiliasi parpol tertentu di Oktober lalu.

Agar gejala ini tak semakin masif mendekati 2024, KASN merekomendasikan agar sosialisasi ditingkatkan. Sosialisasi juga harus diberikan kepada parpol dan tim sukses yang turut memengaruhi netralitas birokrasi. Sanksi tegas juga harus diberikan kepada calon dan pimpinan ASN yang terbukti memobilisasi ASN untuk pemenangan. ”Perlu ditinjau kembali kedudukan kepala daerah sebagai PPK. Kedudukan ini dapat diberikan kepada sekretaris daerah yang merupakan pejabat ASN tertinggi di instansinya,” tutur Agus.

Abdullah mengatakan, bentuk konkret pelanggaran netralitas ASN pada Pilkada 2020, antara lain, mendaftarkan diri atau melakukan pendekatan kepada parpol dalam rangka menjadi bakal calon kepala daerah. Bentuk lainnya, yakni mengarahkan masyarakat untuk memilih salah satu paslon; turut aktif menghadiri sosialisasi bakal calon kepala daerah; serta membantu kegiatan kampanye calon kepala daerah, seperti membuat alat peraga kampanye, menjadi panitia kampanye, dan memberikan sambutan dalam kegiatan kampanye.

Sejak Orde Baru

Menurut Idris, politisasi birokrasi sudah terjadi sejak Orde Baru ketika pemerintah mengooptasi birokrasi untuk kepentingan politik. Praktiknya kian menguat setelah era pilkada langsung di 2004. Celakanya, problem politisasi itu membuat ASN tidak nyaman bekerja sehingga sulit mewujudkan pelayanan publik yang profesional. ”Tidak ada kenyamanan dan keamanan birokrat sehingga mereka tidak bisa mengeluarkan semua potensi yang dimiliki,” tuturnya.

Titi mengatakan, politisasi birokrasi merupakan salah satu dari tiga masalah berulang setiap pemilu dan pilkada. Pada 2024, problem pengawasan terhadap netralitas ASN diperkirakan lebih kompleks dibandingkan dengan pemilu dan pilkada sebelumnya karena pelaksanaan pemilu dan pilkada berada di tahun yang sama.

”Kompleksitas kompetisi bertemu dengan kerumitan teknis penyelenggara pemilu. Ini mengakibatkan tantangan pengawasan netralitas ASN semakin besar dan beragam,” ucapnya.

Oleh sebab itu, lanjut Titi, diperlukan itikad baik dan komitmen parpol untuk menjaga kader-kadernya yang menjadi kontestan untuk tidak terlibat politisasi birokrasi. KASN pun harus memastikan pengawasan netralitas ASN agar praktik politisasi birokrasi tidak kembali terjadi pada Pemilu dan Pilkada 2024. Praktik politisasi birokrasi membuat kompetisi menjadi tidak adil.

”Bertemunya kepentingan pragmatis ASN dengan rendahnya integritas dan komitmen demokrasi paslon untuk memenangi kontestasi menjadi tantangan besar penyelenggaraan demokrasi elektoral,” ucapnya. (IQBAL BASYARI)

Dikliping dari artikel yang terbit di Kompas.ID https://www.kompas.id/baca/polhuk/2021/12/16/pengawasan-netralitas-asn-lebih-kompleks-di-pemilu-dan-pilkada-2024