August 8, 2024

Penjabat Kepala Daerah dari TNI/Polri

Ada sekitar 272 daerah yang akan diisi oleh penjabat. Menempatkan TNI/Polri sebagai penjabat akan makin menjauhkan profesionalisme militer yang fokus pada pertahanan negara.

Imbas Penyerentakkan Pilkada di Tahun 2024

Undang-undang 10/2016, khususnya Pasal 201, menjadwalkan penyerentakan Pilkada di seluruh daerah pada November 2024. Sebagai implikasi, beberapa daerah akan mengalami kekosongan jabatan kepala daerah karena masa jabatan kepala daerahnya berakhir pada 2022 dan 2023 dan harus menunggu hingga Pilkada 2024. Ada sekitar 272 daerah yang akan diisi oleh penjabat. Sebanyak 24 gubernur serta 248 bupati dan/atau walikota masa jabatannya berakhir pada rentang 2022—2024.

Untuk mengisi kekosongan jabatan kepala daerah tersebut, UU Pilkada mengamanatkan pengangkatan penjabat kepala daerah sampai dengan terpilihnya kepala daerah melalui Pilkada serentak tahun 2024. Penjabat adalah pejabat yang memangku jabatan kepala daerah karena kekosongan jabatan kepala daerah definitif. Untuk mengisi kekosongan jabatan gubernur, diangkat penjabat gubernur yang berasal dari jabatan pimpinan tinggi madya. Sementara untuk mengisi kekosongan jabatan bupati dan walikota, diangkat penjabt bupati/walikota yang berasal dari jabatan pimpinan tinggi pratama.

Terkait hal tersebut, muncul wacana pemerintah akan menempatkan anggota TNI/Polri aktif sebagai penjabat kepala daerah. TNI/Polri dinilai diperlukan untuk memenuhi kebutuhan penjabat yang sangat banyak.

Menanggapi hal tersebut, Titi Anggraini, anggota dewan pembina Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), menilai alasan kekurangan orang tidak relevan sebab desain penyerentakkan Pilkada pada tahun 2024 ini sudah direncanakan lama sejak di UU 10/2016. Mestinya sudah ada cukup mitigasi dan persiapan matang serta kemampuan untuk mengisi kebutuhan pengisian penjabat tersebut.

Jika memang pemerintah kewalahan memenuhi kebutuhan penjabat yang banyak, sebaiknya pemerintah mengakui hal tersebut dan mempertimbangkan kembali desain penyerentakkan Pilkada di tahun 2024. Pilkada pada tahun 2022 atau awal 2023 bisa dipertimbangkan untuk daerah yang dipimpin kepala daerah dengan akhir masa jabatan pada tahun 2022 dan 2023. Kemudian, Pilkada serentak nasional ditata kembali, misalnya dilaksanakan pada tahun 2026 atau 2027.

“Kita harus legowo. Kalau itu jadi beban, ya sudah normalisasi jadwal Pilkada. Itu jadi pilihan. Ubah UU 10/2016. Tawaran itu perlu dibuka,” tegas Titi Anggraini pada diskusi “Polemik Wacana Pejabat Kepala Daerah dari TNI/Polri Aktif” (12/10).

Ahmad Doli Kurnia Tandjung, Ketua Komisi II DPR RI dari partai Golkar, mengaku partainya pernah mewacanakan desain pemilu nasional dan pemilu daerah pada saat ada rencana merevisi UU Pemilu. Kebutuhan penjabat yang sangat banyak disebut menjadi pertimbangan untuk menggeser penyerentakkan pilkada secara nasional dari 2024 ke 2027.

“Pemilu nasional dan pemilu daerah itu tidak dilakukan secara bersamaan. Tapi seperti pemilu sela. Misalnya jika kita laksanakan pemilu nasional 2024, mungkin kita melaksanakan pemilu daerah di tahun 2027. Salah satu pertimbangannya, di tahun 2022 ada 101 wilayah yang habis masa jabatannya dan di 2023 ada 171 daerah. Ini situasi yang tidak mudah,” kata Ahmad Doli Kurnia Tandjung di diskusi yang sama (12/10).

Profesionalisme TNI/Polri

Peraturan perundang-undangan telah memberi limitasi bahwa prajurit TNI dan Polri mesti mengundurkan diri untuk dapat menduduki jabatan sipil—baik di UU Pertahanan, UU TNI, maupun UU Kepolisian. Pembatasan di dalam undang-undang ini dimaksudkan untuk menjaga profesionalisme TNI/Polri dengan memastikan pemisahan ranah militer dan ranah sipil.

Meski demikian, masih ada upaya menarik TNI/Polri ke politik oleh kalangan sipil maupun mengakomodasi aspirasi TNI/Polri untuk masuk ke ranah politik. Celah-celah hukum dimanfaatkan dengan menyebut bahwa TNI/Polru yang akan diangkat sebagai penjabat berasal atau sedang ditugaskan dalam kementerian. Kondisi ini membahayakan bagi profesionalisme TNI/Polri maupun demokrasi secara umum.

Made Supriatma, visiting fellow ISEAS – Yusof Ishak Institute, menyebut penempatan TNI/Polri sebagai penjabat kepala daerah akan makin mempolitisasi TNI/Polri. Made menjelaskan karakteristik politik Indonesia adalah “politik klik”—pelaku politik akan mengamankan kekuasaan bagi kelompok kecil orang yang punya pandangan atau kepentingan bersama. Di dalam tentara, “politik klik” ini sangat kuat terbentuk berdasarkan kelas atau kesatuan.

“Klik Kopasus dan klik Kostrad itu kuat sekali. Ini pada hakikatnya akan membuat para tentara makin terpolitisasi. Begitu mereka makin terpolitisasi, saya khawatir kita kembali ke keadaan tahun 50-an dimana klik-klik ini bermain. Ini yang mendorong mereka berpolitik dan menjauhkan dari profesionalisme,” kata Made dalam diskusi daring “Menyongsong Neo-Dwifungsi TNI/Polri dalam Jabatan Kepala Daerah” (11/10).

Iwan Nurdin, Direktur Lokataru Foundation, menilai wacana penempatan TNI/Polri sebagai penjabat kepala daerah adalah satu bagian dari usaha memundurkan amanat reformasi yang ingin menempatkan TNI/Polri pada jalur profesional.

“Mereka (TNI/Polri—red) punya aspirasi politik untuk selalu ingin mendapat pembenaran untuk terlibat ke dalam ruang politik sipil yang lebih luas ketimbang kembali kepada doktrin militer profesional,” kata Iwan dalam diskusi yang sama.

Jalan lain perlu dipikirkan dalam pengisian jabatan penjabat kepala daerah. Sekretaris Daerah, misalnya, bisa jadi pilihan yang lebih kondusif untuk menjadi penjabat kepala daerah. Soal politisasi, benturan kepentingan dengan aparatur daerah, dan ketidaknetralan pengawasan yang optimal dan proporsional dari pemerintah perlu dikuatkan. Komisi Aparatur Sipil Negara, Badan Pengawas Pemilu, Ombudsman, dan perangkat negara lain yang punya otoritas difungsikan dengan baik dalam mengawasi kinerja aparatur sipil negara yang mengisi posisi penjabat.