September 13, 2024

Penyalahgunaan Wewenang Jelang Pilkada Bisa Semakin Marak

Kasus dugaan suap Bupati dan Ketua DPRD Kutai Timur beserta pejabat dan rekanan daerah lainnya menjadi peringatan bahwa penyalahgunaan kewenangan semakin marak jelang Pilkada.

Komisi Pemberantasan Korupsi masih mendalami keterkaitan kasus dugaan suap proyek infrastruktur di Kabupaten Kutai Timur dengan pengumpulan modal untuk pemilihan kepala daerah atau  Pilkada 2020. Meskipun demikian, kasus tersebut menjadi alarm, menjelang pilkada, kemungkinan penyalahgunaan wewenang akan semakin banyak terjadi.

Pelaksana Tugas Juru Bicara Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Ali Fikri, ketika dihubungi, Minggu (5/7/2020) di Jakarta, mengatakan, hingga saat ini tim penyidik KPK masih melakukan pemeriksaan intensif terhadap ketujuh tersangka. Mereka sudah ditahan pascaoperasi tangkap tangan di Jakarta, Kutai Timur, serta Samarinda.

Tim penyidik KPK juga akan segera memanggil saksi-saksi yang mengetahui adanya dugaan penerimaan uang oleh para tersangka tersebut. Terkait kaitan uang yang disita dengan pencalonan Ismunandar dalam pilkada mendatang, masih akan didalami tim penyidik.

Penyidik akan dalami lebih lanjut terkait dengan penggunaan uang-uang tersebut, termasuk juga pengembangan jumlah penerimaannya. (Ali Fikri)

”Nanti penyidik akan dalami lebih lanjut terkait dengan penggunaan uang-uang tersebut, termasuk juga pengembangan jumlah penerimaannya,” kata Ali.

Pada Jumat (3/7/2020), KPK menetapkan tujuh tersangka dalam kasus dugaan suap terkait proyek infrastruktur di lingkungan Pemerintah Kabupaten Kutai Timur. Dua di antaranya adalah Bupati Kutai Timur Ismunandar dan istrinya, Encek UR Firgasih, yang saat ini menjabat Ketua DPRD Kutai Timur.

Tiga orang lainnya adalah kepala dinas di Pemkab Kutai Timur dan dua orang tersisa adalah rekanan proyek. Mereka ditangkap di lokasi berbeda, yakni di Jakarta, di Kutai Timur, dan Samarinda. Penyidik KPK menyita uang Rp 170 juta, beberapa buku tabungan dengan saldo total Rp 4,8 miliar, dan sertifikat deposito Rp 1,2 miliar. Selain itu, diduga telah terjadi penerimaan suap untuk kepentingan kampanye Ismunandar (Kompas, 4/7/2020).

Direktur Pusat Kajian Anti Korupsi Universitas Gadjah Mada Oce Madril mengatakan, secara umum, selalu ada kaitan antara kontestasi politik lokal dengan dugaan korupsi yang terjadi di tingkat lokal atau pemerintah daerah. Aktornya tidak jauh dari politisi lokal, entah kepala daerah, politisi yang duduk di kursi DPRD, atau mereka yang ada di birokrasi.

”Sebenarnya faktor pilkada boleh jadi satu alasan karena kenyataannya pilkada memerlukan itu modal yang kuat. Sudah menjadi rahasia umum bahwa pilkada itu memerlukan modal besar, seperti modal untuk pencalonan partai, juga modal untuk kampanye,” kata Oce

Menurut Oce, dugaan suap proyek infrastruktur di Kabupaten Kutai Timur menarik karena memperlihatkan dinasti politik secara gamblang. Meski keterkaitan antara uang hasil korupsi dan modal untuk pilkada perlu dibuktikan secara hukum, untuk mempertahankan dinasti politik, tidak ada cara lain kecuali merebutnya di dalam kontestasi pilkada.

Meski modal untuk maju dalam kontestasi pilkada tidak selalu berasal dari korupsi, godaan bagi petahana untuk menyalahgunakan kewenangannya akan lebih besar. Di sisi lain, aturan tentang politik uang tidak berjalan efektif dan proses pencalonan di dalam partai dinilai tidak transparan.

Dugaan suap proyek infrastruktur di Kabupaten Kutai Timur menarik karena memperlihatkan dinasti politik secara gamblang. Meski keterkaitan antara uang hasil korupsi dan modal untuk pilkada perlu dibuktikan secara hukum, untuk mempertahankan dinasti politik, tidak ada cara lain kecuali merebutnya di dalam kontestasi pilkada. (Oce Madril)

Oleh karena itu, Oce melanjutkan, partai politik mesti menerapkan proses kandidasi yang lebih transparan dan akuntabel. Sebab, proses itu tidak hanya menyangkut partai, tetapi juga berdampak pada publik.

Masyarakat pun diharapkan menerapkan standar integritas dalam memilih politisi yang maju dalam pilkada. Salah satunya adalah melihat rekam jejak, seperti pernah diduga melakukan korupsi atau pernah menjadi terpidana korupsi, termasuk jika integritasnya dikenal tidak baik.

”Mestinya mereka tidak diberi tempat supaya kita bisa menghasilkan calon yang tidak membawa masalah ke depan,” ujar Oce menambahkan. (NORBERTUS ARYA DWIANGGA MARTIAR)

Dikliping dari artikel yang terbit di harian Kompas https://kompas.id/baca/polhuk/2020/07/05/penyalahgunaan-wewenang-jelang-pilkada-bisa-semakin-marak/