September 13, 2024

Penyelenggara Berperan Dalam Putusan “Dismissal”

JAKARTA, KOMPAS – Dalam memberikan putusan dismissal yang menentukan, apakah suatu permohonan sengketa hasil pilkada diteruskan ataukah tidak ke tahap pemeriksaan selanjutnya, Mahkamah Konstitusi akan melibatkan penyelenggara pilkada. Pelibatan Komisi Pemilihan Umum dan Badan Pengawas Pemilu itu penting guna menjamin semua pihak bisa menerima putusan MK.

Hingga Minggu (15/7/2018), ada 67 permohonan sengketa pilkada yang masuk ke MK. Tidak semua permohonan mempersoalkan selisih hasil pilkada. Menurut catatan KPU, hanya delapan daerah memenuhi syarat yang diatur dalam Pasal 158 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada. Pasal itu mengatur selisih suara yang bisa dibawa ke MK ialah 0,5 persen hingga 2 persen dari jumlah suara sah.

Delapan daerah yang memenuhi syarat ambang batas maksimal selisih suara itu ialah Maluku Utara (pemilihan gubernur), Kota Cirebon, Kota Tegal, Kabupaten Sampang, Kabupaten Nagekeo, Kabupaten Bolaang Mongondow, Kabupaten Deiyai, dan Kabupaten Timor Tengah Utara. Permohonan dari daerah lain umumnya mendalilkan adanya pelanggaran yang terstruktur, sistematis, dan masif. Alasan yang dikemukakan, antara lain, ialah politik uang, aparat sipil negara yang tidak netral, intimidasi kepada pemilih, data pemilih yang kacau, penggunaan sarana dan prasarana milik negara, dan ketidakadilan KPU.

Putusan dismissal biasanya mengacu pada pemenuhan syarat formal, yaitu selisih suara 0,5 persen hingga 2 persen. Pada sengketa hasil pilkada kali ini, KPU dan Bawaslu hadir sejak sidang pemeriksaan pendahuluan. Mereka bisa memberikan jawaban atau tanggapan tertulis mengenai perkara tersebut.

”Ketika MK memutuskan suatu perkara tidak dilanjutkan dalam pemeriksaan selanjutnya, baik KPU maupun Bawaslu telah memberikan argumentasi,” ujar Fajar Laksono Soeroso, Juru Bicara MK, Minggu, di Jakarta.

Fajar menuturkan, telaah permohonan secara detail belum dilakukan oleh kepaniteraan MK. Telaah detail mengenai apakah permohonan yang diajukan mempersoalkan selisih hasil atau lebih pada teknis penyelenggaraan baru dilakukan menjelang registrasi. Registrasi serentak dilakukan MK pada 23 Juli 2018.

Dalami substansi

Kebijakan MK meminta keterangan dari penyelenggara pilkada diharapkan memberi sinyal bahwa MK akan mendalami substansi permohonan. Dengan begitu, pertimbangan MK diharapkan tidak terpaku hanya pada syarat selisih suara.

Selain meminta keterangan dari penyelenggara, MK juga meminta ada anggota KPU dan Bawaslu yang hadir di setiap persidangan. Anggota KPU, Hasyim Asy’ari, menuturkan, hal ini didasari cara berpikir bahwa KPU menjadi penanggung jawab akhir dari penyelenggaraan pilkada.

”KPU tetap diminta harus hadir sebagai representasi lembaga, juga ada faktor pengendalian,” katanya.

Peneliti Konstitusi dan Demokrasi (Kode) Inisiatif, Adeline Syahda, menuturkan, langkah itu bisa dimaknai sebagai upaya MK untuk juga melihat prosedur dan substansi permohonan sengketa. Hal ini tidak berarti bahwa MK mengabaikan syarat ambang batas maksimal selisih perolehan suara.

Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Titi Anggraini mengatakan, pelibatan KPU dan Bawaslu sejak awal dalam pemeriksaan perkara selisih hasil pilkada juga membawa dampak positif bagi kedua lembaga. Sebab, dengan demikian kedua lembaga menjadi tahu sejak awal problem yang terjadi atau dikeluhkan oleh para pihak yang terlibat dalam pilkada.

”Ini menjadi sarana pembelajaran dan informasi yang baik bagi penyelenggara sehingga mereka bisa melakukan koreksi dalam penyelenggaraan selanjutnya,” kata Titi. (RINI KUSTIASIH DAN ANTONY LEE)

Dikliping dari artikel yang terbit di harian Kompas edisi 16 Juli 2018 di halaman 2 dengan judul “Penyelenggara Berperan Dalam Putusan “Dismissal”. https://kompas.id/baca/polhuk/2018/07/16/penyelenggara-berperan-dalam-putusan-dismissal/