September 13, 2024

Peradilan Khusus Pemilu Mendesak Dibentuk

Peradilan khusus pemilu mendesak dibentuk sebagai bagian dari upaya menciptakan keadilan elektoral. Desain kelembagaan dan mekanisme pencarian keadilan pemilu yang ada saat ini dinilai rentan menimbulkan tumpang tindih putusan lantaran terlalu banyaknya pintu untuk mencari keadilan. Akibatnya, pencarian keadilan dalam penyelenggaraan pemilu justru tidak dapat diwujudkan.

Wacana untuk membentuk peradilan khusus pemilu pun telah mengemuka sejak tahun 2009, dan terus muncul dalam setiap pembahasan tentang revisi Undang-undang Pemilu. Namun, hingga sekarang, desain kelembagaan peradilan pemilu itu belum juga terwujud. Berkaca dari persoalan yang muncul dalam mekanisme pencarian keadilan pada Pemilu 2019, dorongan untuk membentuk peradilan pemilu kembali disuarakan masyarakat sipil. Namun, pada kenyataannya, diskursus mengenai pembentukan peradilan pemilu itu belum muncul di DPR.

Pengajar hukum tata negara dari Universitas Sebelas Maret (UNS) Solo, Agus Riewanto, mengatakan, dalam desain yang diatur di dalam UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu, ada lima lembaga yang diberi kewenangan untuk memberikan putusan terkait dengan pemilu, baik menyangkut pelanggaran administrasi maupun sengketa hasil dan pidana pemilu. Lima lembaga itu ialah Mahkamah Konstitusi (MK) yang memutus perselisihan hasil pemilu; Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) yang memutus pelanggaran kode etik penyelenggara pemilu; Badan Pengawasan Pemilu (Bawaslu) yang memutus sengketa proses pemilu; Sentra Penegak Hukum (Sentra Gakumdu) dan Pengadilan Negeri (PN) yang menangani pidana pemilu; serta Bawaslu provinsi dan Bawaslu kabupaten/kota yang memutus pelanggaran administrasi pemilu.

“Perlu ada mekanisme yang pasti supaya tidak ada banyak pintu keadilan dalam pemilu. Banyaknya pintu mencari keadilan ini justru tidak memberikan keuntungan, karena malah menimbulkan keadilan tidak tercapai,” katanya dalam diskusi daring yang digelar oleh Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Minggu (2/8/2020) di Jakarta.

Menurut Agus, desain keadilan pemilu dengan banyak pintu itu menimbulkan persoalan, karena belum memenuhi rasa keadilan. Putusan pengadilan kerap kali baru keluar ketika tahapan telah selesai. Selain itu, tumpang tindih putusan pengadilan juga tidak jarang terjadi karena ada banyak pengadilan yang berwenang memberikan putusan. Kondisi itu juga membuat desain peradilan pemilu tidak efektif dan efisien. Beragamnya lembaga yang menangani perkara pemilu memicu banyak pihak untuk mencoba peruntungan dengan memanfaatkan berbagai pintu keadilan yang tersedia ketika tidak puas dengan satu putusan pengadilan.

Dasar hukum peradilan khusus pemilu, menurut Agus, sebenarmya telah ada, dan bsia dijadikan landasan oleh pembentuk UU. Dasar hukum itu antara lain ialah Pasal 157 Ayat (1) dan (2) UU No 10/2016 tentang Pilkada, Pasal 24 Ayat (3) UUD 1945, dan Pasal 38 Ayat (1) UU No 48/2009 tentang Kekuasaan Kehakiman. Selain itu, keberadaan peradilan khusus di Indonesia pun telah dikenal sejak masa kolonial Belanda.

Desain keadilan pemilu dengan banyak pintu itu menimbulkan persoalan, karena belum memenuhi rasa keadilan. Putusan pengadilan kerap kali baru keluar ketika tahapan telah selesai dan tumpang tindih.

Keberadaan badan peradilan khusus pemilu juga dikenal di negara-negara lain di dunia. Beberapa negara yang belum mapan kekuatan yudikatifnya memasrahkan badan peradilan pemilu kepada badan legislatif. Ada pula negara yang menyerahkan peradilan pemilu itu kepada mekanisme yang ada di bawah peradilan umum, seperti Australia, Kanada, Jepang, dan India. Sejumlah negara lain membangun badan peradilan khusus pemilu yang posisinya setara dengan MK dan Mahkamah Agung (MA), yakni Brazil, Urugay, dan Meksiko. Negara lain di Eropa Timur memasrahkan peradilan pemilu kepada MK. Adapun negara-negara yang baru saja lepas dari konflik atau penjajahan menyerahkan peradilan pemilu itu kepada mekanisme penyelesaian alternatif yang disponsori oleh Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB).

Untuk Indonesia, menurut Agus, ada tiga model yang bisa dipilih. Pertama, badan peradilan khusus pemilu itu ada di bawah MA. Badan ini lebih memungkinkan bila ada di bawah peradilan tata usaha negara (PTUN). Sayangnya, MA menolak hal ini karena dikhawatirkan kian membebani penanganan perkara di MA.

Model kedua, Indonesia bisa saja membentuk badan peradilan khusus pemilu yang sifatnya otonom atau mandiri. Kedudukannya bisa sejajar dengan MA dan MK. Contoh ini bisa meniru praktik di Meksiko.

Model ketiga, badan peradilan khusus ini disandang oleh Bawaslu, yakni dengan mengubah Bawaslu menjadi lembaga kuasi-peradilan. Hanya saja untuk model ketiga ini, Bawaslu hanya bisa menyelesaikan kasus administrasi, etik dan proses pemilu, sedangkan untuk sengketa hasil tetap menjadi kewenangan MK, dan pidana pemilu tetap menjadi tanggung jawab peradilan umum. Bedanya dengan desain peradilan pemilu yang ada sekarang, Bawaslu dalam model ketiga ini bukan bertindak sebagai pengawas, melainkan penindak dan pemberi putusan.

Direktur Eksekutif Perludem Titi Anggraini mengatakan, tiga model tersebut diharapkan bisa menjadi masukan bagi pembuat UU di tengah perumusan RUU Pemilu. Pembahasan mengenai desain peradilan pemilu itu pun tidak kalah penting dengan tema-tema lain seperti ambang batas pencalonan, ambang batas perolehan suara untuk menghitung kursi parlemen (parliamentary threshold), besaran daerah pemilihan, dan sistem pemilu.

Pembahasan mengenai desain peradilan pemilu itu pun tidak kalah penting dengan tema-tema lain seperti ambang batas pencalonan, ambang batas parlemen, besaran daerah pemilihan, dan sistem pemilu.

Belum jadi diskursus

Wakil Ketua Komisi II DPR dari Fraksi Nasdem Saan Mustopa, yang juga menjadi nararumber dalam diskusi tersebut mengatakan, saat ini diskursus mengenai desain kelembagaan peradilan khusus pemilu belum muncul di Komisi 2 DPR. Namun, tema itu merupakan suatu isu yang menjadi kebutuhan semua partai politik (parpol), sebab sebagai peserta pemilu mereka pasti akan memerlukan upaya pencarian keadilan. Isu itu juga dipandang terkait langsung dengan kepentingan peserta pemilu dalam mencari keadilan, baik dalam proses maupun hasil pemilu. Oleh karenanya, dorongan untuk membentuk peradilan khusus pemilu itu boleh jadi muncul sebagai komitmen bersama fraksi-fraksi di DPR.

“Wacana peradilan khusus pemilu ini sudah ada sejak Pemilu 2014. Jadi, menurut saya ini akan menjadi komitmen dari semua fraksi-fralsi untuk membentuk peradilan khusus pemilu. Mungkin isu ini akan lebih mudah diakomodir daripada isu-isu lain yang diusulkan masuk ke dalam RUU Pemilu,” ungkapnya.

Secara pribadi, Saan menilai model pertama, yakni menempatkan badan peradilan khusus pemilu di bawah MA merupakan pilihan yang sesuai dengan Indonesia. Alasannya, model itu memungkinkan penyelesaian persoalan pemilu di daerah dapat dilakukan oleh pengadilan tinggi di masing-masing ibukota provinsi. Dengan demikian, tidak semua persoalan pemilu terpusat penyelesaiannya di Jakarta.

Komisi II DPR saat ini masih dalam proses menyerap masukan dari berbagai pihak, termasuk dari pakar dan masyarakat sipil mengenai model-model badan peradilan khusus pemilu

Selain itu, model kedua juga memerlukan upaya dan waktu yang lebih lama karena harus mengusahakan dilakukannya amandemen konstitusi. Demikian halnya untuk model ketiga yang tidak jauh berbeda dengan desain kelembagaan peradilan pemilu yang sudah ada saat ini.

Saan mengatakan, pihaknya saat ini masih dalam proses menyerap masukan dari berbagai pihak, termasuk dari pakar dan masyarakat sipil mengenai model-model badan peradilan khusus pemilu. Pembahasan mengenai hal itu akan dilakukan di Komisi II DPR.

Sementara itu, anggota Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI Hasyim Asy’ari, yang juga menjadi pembicara dalam diskusi, menuturkan, pihaknya berada pada posisi untuk mengajak semua pihak mendefinisikan terlebih dulu subyek maupun obyek hukum dalam  badan peradilan khusus itu. Misalnya, partai politik, apakah sebagai badan privat atau badan publik. Ketika telah diketahui dan diatur secara jelas kedudukan parpol dalam struktur hukum di Tanah Air, selanjutnya akan lebih mudah untuk menentukan di peradilan mana seharusnya gugatan atau pencarian keadilan itu dilakukan.

“Sebagai contohnya, ketika parpol diatur sebagai badan privat, maka gugatan atas putusan parpol, misalnya ketika terjadi sengketa dengan anggota partainya, merupakan wilayah peradilan perdata. Sebab, baik parpol dan anggotanya sama-sama badan privat. Lain lagi kalan parpol disebut sebagai badan publik, maka putusannya adalah putusan tata usaha negara, dan karenanya segala sengketa mengenai parpol ditangani oleh PTUN,” kata Hasyim. (RINI KUSTIASIH)

Dikliping dari artikel yang terbit di harian Kompas edisi 3 Agustus 2020 di halaman 2 dengan judul “Peradilan Khusus Pemilu Mendesak Dibentuk” https://www.kompas.id/baca/polhuk/2020/08/03/peradilan-khusus-pemilu-mendesak-dibentuk/