Sistem hukum dan lembaga berwenang menangani Pemilu sebenarnya sudah cukup baik di Indonesia. Melalui kewenangan masing-masing lembaga itu harusnya kecurangan dan kekerasan yang merusak prinsip Pemilu demokratis dapat ditanggulangi.
“Jika pelanggaran administrasi Pemilu ada Badan Pengawasan Pemilihan Umum (Bawaslu), kode etik putusannya di Dewan Kehormatan Pengawas Pemilu (DKPP), sengketa hasil Pemilu diselesaikan oleh Mahkamah Konstitusi (MK),” kata Titi Anggraini, Dosen Fakultas Hukum Universitas Indonesia dalam diskusi bertajuk “Kecurangan dan Kekerasan dalam Pemilu 2024: Nasibnya Gimana?” di Jakarta, (5/1).
Namun ia menilai perangkat hukum seperti UU Pemilu dan Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) tidak dijalankan dengan maksimal. Titi memandang, saat ini Bawaslu hanya membutuhkan keberanian dan konsistensi menegakkan aturan main yang ada.
“Artinya kalau ini bekerja sebenarnya kita punya harapan untuk bicara nasib atas tindakan kecurangan dan pelanggaran Pemilu,” ujarnya.
Menurutnya, jika Bawaslu gagal menunjukan kemampuan sebagai pengawas dan penegak hukum Pemilu dengan adil dan efektif, bukan tidak mungkin publik akan menuntut pembubaran Bawaslu. Ia berpendapat Pemilu 2024 adalah pertaruhan, karena tidak ada jaminan politisi hasil Pemilu 2024 akan mempertahankan lembaga tersebut.
Sementara Ray Rangkuti, Direktur Lingkar Madani (Lima) mengatakan, Pemilu 2024 adalah Pemilu terburuk setelah Reformasi. Baik penyelenggara Pemilu, peserta Pemilu, dan aturan dalam Pemilu memberi sinyal kuat tidak berkualitasnya pelaksanaan Pemilu.
Masalahnya menurut Ray, pada Pemilu 2024 persoalan yang umum terjadi pada Pemilu yang telah lalu kembali diselesaikan dengan metode dan argumen yang sama. Ia menilai Bawaslu lamban dan berlarut-larut dalam menangani masalah.
“Penyakit Bawaslu itu kurang responsif, menunggu viral baru mendapat respon, sekalipun mereka merespon proses penangananya lambat, mereka butuh berminggu-minggu untuk kasus yang harusnya bisa selesai 2-3 hari,” kata Ray.