October 9, 2024

Perbaikan Kategori Difabel dalam Pendataan KPU

Upaya Komisi Pemilihan Umum (KPU) untuk tetap menjamin hak konstitusional kelompok difabel dalam Pemilu wajib diapresiasi. Selain mengupayakan aksesibilitas dan melaksanakan pendataan terhadap kelompok difabel, KPU juga tetap akan melaksanakan pendataan terhadap difabel mental psikososial yang sempat dipertanyakan beberapa pihak. Tetapi, apresiasi juga harus dibarengi sebuah kritik agar penyelenggaraan pemilu kedepan semakin ideal.

Salah satu kritik untuk mengevaluasi tahapan penyelenggaraan pemilu kali ini adalah kategori difabel yang dilakukan KPU dalam penetapan daftar pemilih tetap (DPT). Sejak Pilkada 2018, penulis menemukan hasil bahwa kategori difabel oleh KPU terdiri dari tuna netra, tunarungu/wicara, tuna daksa, tuna grahita, dan disabilitas lainnya. Artinya ada empat kategori difabel ditambah kondisi difabel lainnya menurut KPU.

Kategori difabel oleh KPU tidak sesuai dengan Undang-Undang No. 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas. Selain itu, kategori difabel ala KPU tidak mampu menggambarkan kondisi difabilitas yang cukup beragam.

Penulis sendiri tidak mengetahui apa yang digunakan KPU sebagai acuan membuat kategori difabel pada DPT Pilkada 2018. Jika merujuk pada UU No.8/2016, akan dijumpai bahwa kondisi difabilitas yang harus diakomodasi kehidupan bernegara jauh lebih beragam dari kategori difabel ala KPU. UU No.8/2016 menyebutkan hambatan-hambatan yang lebih spesifik yang dimiliki tiap individu karena adanya lingkungan yang kurang inklusif.

Kategori difabel menurut UU No.8/2016 yaitu disabilitas sensorik, disabilitas fisik, disabilitas intelektual, dan disabilitas mental. Disabilitas sensorik adalah kondisi difabilitas yang mengalami hambatan panca indera yang terdiri dari difabel netra dan difabel rungu/wicara. Disabilitas fisik merupakan kondisi difabilitas yang berhambatan fungsi gerak seperti difabel Paraplegi, amputasi, celebral palsy, lumpuh layuh, akibat kusta, dan akibat stroke. Disabilitas intelektual adalah kondisi individu berhambatan fungsi pikir seperti lambat belajar, difabel grahita, dan down syndrome. Kemudian disabilitas mental merupakan kondisi dimana individu bergangguan emosi dan perilaku, di antaranya difabel psikososial dan difabel perkembangan (autisme dan hiperaktif).

Kategori berdasarkan UU No. 8/2016 yang cukup menggambarkan ragam kondisi difabilitas perlu digunakan sebagai acuan dalam kategori saat pendataan. Setiap kondisi difabel membutuhkan akomodasi yang berbeda sesuai kondisi yang dimilikinya. Misalnya seorang difabel netra membutuhkan surat suara braille dalam pemilu, difabel rungu/wicara memerlukan penerjemah bahasa isyarat , atau difabel intelektual memerlukan pendampingan dalam menggunakan hak pilihnya.  Sehingga, ketika pendataan mampu menggambarkan kondisi difabel tiap individu, secara otomatis penyediaan akomodasi terhadap difabel akan lebih mudah.

Alih-alih menggambarkan keberagaman kondisi difabel yang membutuhkan akomodasi yang berbeda-beda, kategori difabel dalam DPT KPU di Pilkada 2018 cenderung menyederhanakan kondisi difabel yang beragam. Penyederhanaan ditunjukan dengan kategori empat hambatan spesifik ditambah istilah sapu jagat, yaitu “disabilitas lainnya”. Penyebutan disabilitas lainnya tentu tidak mampu menjelaskan kebutuhan-kebutuhan spesifik yang dimiliki difabel.

Tidak menyebutkan secara spesifik kondisi difabel seorang indifidu. Hal ini selain berpotensi mempersulit penyediaan akomodasi bagi difabel, kategori ala KPU juga berpotensi memunculkan pemahaman yang salah bagi masyarakat dan petugas pemilu di lapangan.

Pemahaman yang salah yang dapat timbul pada masyarakat dan petugas pemilu di lapangan misalnya berupa ketidakmampuan membedakan kondisi difabel satu dengan kondisi difabel lainnya. Ada beberapa orang yang tidak mengetahui perbedaan antara difabel grahita dengan difabel psikososial. Meski pun keduanya termasuk ke dalam kategori difabel yang berbeda, mungkin saja jika petugas lapangan KPU tidak memahami perbedaan di antara keduanya, karena yang disebutkan dalam DPT hanyalah difabel grahita (tuna grahita) sedangkan difabel yang lain termasuk difabel psikososial tidak disebutkan.

Perbaikan tentu harus dilakukan oleh KPU sebagai penyelenggara pemilu. Perbaikan kategori untuk saat ini mungkin akan sulit dilakukan, mengingat pelaksanaan pemilu sudah tidak lama lagi. Tetapi, apa yang dipaparkan dalam tulisan ini mungkin dapat dijadikan bahan evaluasi KPU pasca-Pemilu 2019 agar penyelenggaraan pemilu dan pilkada ke depan dapat berjalan lebih inklusif. []

TIO TEGAR WICAKSONO

Kontributor portal informasi hukum dan difabel Solider.id

Sumber gambar: https://afscmeatwork.org/file/869