December 12, 2024

Perbaikan Lingkungan melalui Pilkada

Konsolidasi demokrasi dan peningkatan kualitas lingkungan tidak bisa berdiri sendiri. Keduanya saling berkelindan dan menopang satu sama lain. Sebab, secara teoritis, banyak ahli sependapat bahwa demokrasi dapat menawarkan ekosistem yang lebih memungkinkan bagi kualitas lingkungan hidup, dibandingkan rezim non-demokratis.

Peluang demokrasi dalam mempertahankan dan memperbaiki kualitas lingkungan didasari oleh beberapa hal. Pertama, demokrasi yang terkonsolidasi mampu menjamin adanya sistem hukum dan politik yang berkeadilan. Sistem ini akan mampu menjamin hak individu dan hak kolektif, terutama hak atas lingkungan yang bersih dan sehat.

Kedua, demokrasi yang baik juga mampu mempengaruhi komitmen pemerintah untuk mengikuti standar atau kesepakatan internasional dalam upaya perbaikan kualitas lingkungan, khususnya penganggulangan perubahan iklim. Komitmen ini pastinya tidak berhenti di atas kertas, melainkan diwujudkan melalui kebijakan pro-lingkungan yang konsisten dan terintegrasi lintas sektor.

Ketiga, demokrasi yang baik ditandai oleh penyelenggaraan Pemilu yang berintegritas. Jika demokrasi cukup sehat, maka Pemilu dapat menjadi mekanisme dalam mengakomodasi isu-isu krusial di tengah masyarakat, seperti isu lingkungan. Selain itu, Pemilu yang berintegritas akan menjamin beberapa konsep penting demokrasi seperti kontrol dan akuntabilitas, konsep yang fundamental bagi upaya peningkatan kualitas lingkungan.

Terjebak dalam Pascademokrasi

Sayangnya, konsolidasi demokrasi bukanlah perkara yang mudah. Dalam satu dekade terakhir kita menyaksikan bagaimana resesi demokrasi terjadi di banyak negara, termasuk Indonesia. Penurunan kualitas demokrasi ini dikerangkai dalam berbagai istilah, seperti democracy backsliding, democracy regression, authoritarian reversion, democratic erosion, illiberal shift, dan lain sebagainya. Meskipun berbeda-beda, istilah-istilah ini menyiratkan bahwa norma dan institusi demokrasi mulai kehilangan signifikansinya dalam proses bernegara.

Jacques Ranciere dalam bukunya yang berjudul “Hatred of Democracy” juga membahas konsep pascademokrasi. Dalam buku ini, Rancière mengkritik demokrasi kontemporer yang telah mengalami kemunduran. Alih-alih menjadi ruang yang setara bagi partisipasi rakyat, demokrasi justru berubah menjadi sebuah sistem yang lebih mengutamakan elite dan teknokrasi.

Ranciere berpendapat bahwa dalam kondisi pascademokrasi, rakyat (demos) menjadi pasif dan tereksklusi dari proses politik. Demokrasi berubah menjadi sebuah ritual formal tanpa substansi, di mana keputusan-keputusan penting diambil di balik layar oleh segelintir elite predatoris. Dalam kondisi pascademokrasi, partisipasi warga negara dibatasi pada memilih di antara pilihan-pilihan yang sudah direstui oleh elite politik dan ekonomi.

Secara singkat, pascademokrasi telah mengarusutamakan depolitisasi, dominasi elite, dan reduksi partisipasi rakyat. Kecenderungan ideologis ini mengikis nilai ideal demokrasi berupa kesetaraan dan kedaulatan rakyat. Jika dibiarkan berlanjut, keterjebakan dalam pascademokrasi tidak hanya berdampak pada kualitas demokrasi saja, tetapi juga dapat memperburuk pembangunan sektor lainnya, termasuk lingkungan.

Karakteristik pascademokrasi dapat dengan mudah ditemukan di Indonesia. Jika mengaca pada beberapa tahun belakang, demokrasi Indonesia nyatanya belum memberikan ruang partisipasi yang inklusif dan setara bagi warga negara. Berbagai kebijakan ekonomi yang diambil Pemerintah seringkali tidak berakar pada artikulasi kepentingan rakyat.

Sebagai contohnya adalah Omnibus Law atau berbagai Proyek Strategis Nasional (PSN). Kebijakan semacam ini seringkali hanya melahirkan partisipasi artifisial yang terbatas bagi rakyat. Berbagai kebijakan yang dilahirkan pemerintah hanya fokus pada prioritas kepentingan elite tanpa adanya akuntabilitas dan transparansi. Akibatnya, tidak sedikit kita menyaksikan infiltrasi proyek ekonomi berskala besar justru berakhir pada perusakan lingkungan hidup dan merugikan masyarakat setempat.

Selain itu, demokrasi di Indonesia juga dijalankan secara parsial karena tidak menghargai hak individu dan kelompok, khususnya mereka yang berjuang pada sektor lingkungan. Sangat mudah kita temukan contoh bagaimana aktivis lingkungan justru mendapati intimidasi, ancaman dan tindakan koersif ketika melakukan penolakan atas pembangunan yang merusak lingkungan. Berdasarkan data KPA, setidaknya 2.700 konflik agraria muncul selama kepemimpinan Presiden Joko Widodo. Dalam konflik ini seringkali masyarakat setempat merupakan korban yang mengalami double burden: rusaknya alam lingkungan dan kohesivitas sosial.

Sebagaimana yang dicirikan oleh Ranciere, Pemilu di Indonesia juga menjadi ajang konsolidasi elite, bukan redistribusi kekuasaan. Pemilu di Indonesia justru menjadi momentum ekspansi dominasi penguasa atas sumberdaya. Pemilu seringkali ditunggangi sebagai sarana dalam memenuhi kepentingan ekonomi politik. Perkawinan pengusaha dan penguasa dalam Pemilu dapat dilihat dari konfigurasi elite politik kita yang merupakan pengusaha tambang. Sebagai contohnya, berdasarkan riset Project Multatuli, industri pertambangan batubara didominasi oleh pengusaha cum penguasa.

Dominasi elite politik cum pengusaha tambang menjadi tantangan terberat dalam menjamin ruang demokrasi yang sehat dan bersahabat bagi perbaikan lingkungan. Sebab, dominasi elite ini hanya akan memperkuat kelompok oligarki predatoris yang sangat pragmatis dalam memanfaatkan ruang politik. Tidak hanya dengan menunggangi Pemilu, kelompok ini juga tidak jarang mengendarai wacana terkait lingkungan seperti perubahan iklim, untuk kepentingan mereka.

Hilirisasi nikel yang diwacanakan sebagai upaya mengatasi perubahan iklim dapat menjadi gambaran. Meski wacana hilirisasi ini diproduksi oleh para elite secara positif, namun pada faktanya proyek ini justru mengarah pada pendulum yang berbeda. Proyek hilirisasi justru terkesan kontraproduktif akibat perusakan alam yang dihasilkan. Sebagai contohnya adalah proyek hilirisasi nikel di Morowali yang justru merusak lingkungan dan meningkatkan konsumsi batu bara untuk suplai listrik. Maka dari itu, kebijakan hilirisasi pada akhirnya justru menyisakan berbagai permasalahan lingkungan bagi masyarakat setempat.

Momentum Perbaikan

Di titik ini kita menyadari bahwa demokrasi yang bermasalah hanya melahirkan pemimpin, kebijakan, dan wacana yang tidak sepenuhnya mendukung perbaikan lingkungan. Keterjebakan dalam kondisi pascademokrasi berpotensi hanya memperburuk keadaan. Meskipun terkesan berat, menyadari permasalahan demokrasi tidak lantas membuat kita pesimis akan masa depan lingkungan di Indonesia. Setidaknya dalam waktu dekat kita dapat memanfaatkan Pilkada sebagai upaya perbaikan kualitas demokrasi dan perbaikan kualitas lingkungan di Indonesia.

Meskipun tidak sepenuhnya menutupi kegagalan demokratis, Pilkada masih menawarkan secercah harapan. Setidaknya Pilkada merupakan momentum dalam meredistribusi kekuasaan di tingkat lokal dan meningkatkan kualitas kepemimpinan lokal. Redistribusi kekuasaan di level lokal menjadi penting dalam menghadapi konsolidasi besar-besaran elite pusat. Selain itu, ia menjadi penting dalam menyikapi kecenderungan resentralisasi kekuasaan dengan jalinan patronase hingga ke pusat. Hal ini dapat meminimalisir potensi menguatkanya kecenderungan elite lokal yang menjadi kepanjangan tangan dari para elite pusat, sebagaimana yang terjadi di masa Orde Baru.

Pilkada juga menjadi momentum dalam mendiversifikasi kepentingan elite sehingga tidak dihegemoni oleh kepentingan tunggal yang monolitik. Pilkada dapat menjadi ajang konfrontasi ideologis antar aktor yang membuat pemilih memiliki alternatif ide sebagai acuan dalam memilih pemimpin. Dengan begitu, Pilkada dapat merevitalisasi ruang politik (repolitisasi), tidak hanya di level lokal tetapi juga dalam relasinya dengan kelas elite di pusat.

Suksesnya Pilkada secara substantif tidak hanya memperkuat pondasi demokrasi, secara praktis ia juga akan menghasilkan pemimpin yang berkompetensi, independen, dan ideologis. Dengan begitu, akan lahir pemimpin yang berpotensi menjadi antitesa atas inflitrasi kepentingan dan jaringan patronase elite nasional terhadap kepemimpinan daerah yang seringkali mendegradasi demokrasi dan kualitas lingkungan di daerah. Pemimpin seperti ini pastinya bukan hayalan belaka. Dalam sebuah riset di wilayah industri nikel di Sulawesi, saya menyaksikan masih ada tokoh lokal yang bertekad mencalonkan diri di Pilkada demi memperbaiki kondisi wilayahnya.

Pilkada yang berintegritas juga akan menghasilkan “kontrak politik” antara pemimpin dan rakyat. Yakni, pada satu sisi, Pilkada akan menghasilkan pemimpin yang bertanggungjawab dan secara konsisten menjalankan akuntabilitas politiknya. Pada sisi lainnya, Pilkada menghasilkan rakyat yang teredukasi dan rasional, yang secara konsisten mampu menjalankan fungsi kontrol atas kekuasaan. Dua aktor ini secara resiprokal akan terus berinteraksi demi lahirnya kebijakan yang bersumber dari aspirasi rakyat. Jika kondisi ini terwujud, maka akan ada kesinambungan kepentingan antar keduanya, dan konflik antara pemerintah daerah dan warga terkait lingkungan akan dapat diminimalisir.

Idealisasi Pilkada yang berintegritas pastinya membutuhkan prasyarat yang tidak mudah. Sebagaimana dalam memperbaiki kondisi pascademokrasi, Pilkada perlu diselengarakan dengan membuka ruang politik agar tidak didominasi oleh segelintir elite predatoris. Pilkada juga perlu menawarkan berbagai ide pembangunan alternatif yang dapat memantik gairah politik masyarakat yang selama ini terjebak dalam arus depolitisasi. Hidupnya gairah politik ini juga perlu disambut dengan edukasi politik dan ruang politik yang inklusif dan setara bagi partisipasi setiap warga negara.

Idealisasi Pilkada memang terkesan berat, namun inilah kondisi pascademokrasi yang sedang kita hadapi. Alih-alih pesimis, kita harus tetap optimis bahwa penyelenggaraan Pilkada masih mampu menghasilkan pemimpin dan kebijakan yang berpihak pada peningkatan kualitas lingkungan kita. Pilkada ini adalah momentum! []

FAIZ KASYFILHAM