Suara perempuan masih dianggap senyap dalam politik dan kebijakan publik hal itu disebabkan masih kuatnya kultur patriarki di Indonesia. Dampaknya perempuan tidak lepas dari kekerasan berbasis gender dalam pemilu, hal itu tercermin dari banyaknya perempuan yang masih mengalami peminggiran di media sosial.
“Dan yang kita temui menemukan banyak terjadi bentuk serangan, kekerasan, dan misinformasi terhadap perempuan dalam pemilu,” kata Peneliti Senior Institute of Sustainability, Resilient and Acknowledgement (ISRA), Intan Pratiwi dalam diskusi online bertajuk “Perempuan Menyikapi Misinformasi dalam Pemilu”, (1/11).
Berdasarkan pantauan dan analisis ISRA pada aplikasi X (Twitter) periode 1 Agustus 2018-1 Mei 2019, terdapat 1.288 tweet percakapan tentang perempuan dan pemilu 2019. Temuan tersebut mengklasifikasikan quote tweet sebanyak 746 cuitan, 523 tweet dalam bentuk balasan yang melibatkan 1.846 akun Twitter.
Intan mengatakan, perempuan kerap diserang dalam bentuk ideologi, fisik, labeling, dan agama. Melalui empat hal tersebut misinformasi menyebar di media sosial dan mengecilkan perempuan politik, sehingga perempuan tidak dinilai berdasarkan kapabilitas dan kemampuan. Intan menilai, hal itu terjadi karena masih lekatnya stigma dan sentimen terhadap perempuan di luar aktivitas domestik.
“Politik sampai saat ini masih identik dengan dunia yang sangat maskulin sekali, sehingga labeling pada perempuan menjadi hal yang paling banyak di sosial media,” terangnya.
Lebih lanjut Intan menyebut, faktor kerentanan misinformasi perempuan dalam pemilu karena perilaku buzzer didukung rendahnya literasi warganet. Selain itu ia juga menganggap mekanisme pengaduan yang tidak efisien dan singkatnya jadwal kampanye menyulitkan pemulihan korban.
Wakil Ketua Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan), Olivia Chadidjah Salampessy mengatakan, cara pandang masyarakat bahwa politik adalah dunia bagi laki-laki menjadi alasan munculnya banyak narasi perempuan tidak layak dalam politik. Padahal menurutnya pada ranah pemilu hal itu akan berdampang panjang yang berujung pengkerdilan calon legislatif (Caleg) perempuan.
“Perempuan akan sulit melangkah satu tahap lagi ke jenjang yang lebih tinggi, karena potensi kekerasan yang terjadi bisa berdimensi struktural misalnya melalui kebijakan-kebijakan yang belum mendukung afirmasi bagi perempuan, potensi kekerasan berdimensi sosial, dan potensi kekerasan akibat narasi bias gender,” jelas Olivia.
Olivia juga mengatakan masalah tersebut akibat internal partai politik yang belum terlembaga dengan baik dan demokratis. Ia memandang saat ini implementasi kebijakan afirmasi keterwakilan perempuan hanya sebagai syarat administratif belaka. Padahal menurutnya political will partai politik dalam mendorong kader perempuan mencalonkan diri sebagai caleg sangat penting untuk demokrasi. []