August 8, 2024

Perempuan Terus Dianggap sebagai Beban Politik

Tidak terpenuhinya kuota 30% keterwakilan calon anggota legislatif (caleg) perempuan di setiap daerah pemilihan (dapil) dinilai sebagai bentuk kegagalan penyelenggara pemilu dan partai politik dalam menjalankan amanat afirmasi dalam undang-undang. Perempuan masih dipandang sebagai pihak yang tidak layak masuk dalam bagian politik. Anggapan ini masih ada di para elite partai politik dan kini di para anggota Komisi Pemilihan Umum (KPU).

“KPU yang sekarang itu bermasalah, tidak terpenuhinya DCT keterwakilan perempuan itu bukan kali pertama. Masalah yang lainnya mulai dari verifikasi parpol, caleg koruptor, tidak mematuhi putusan MK, dan banyak lagi,” kata Bivitri dalam seminar “Perlindungan Perempuan dalam Pemilu: Suarakan, Mau Apa di 2024?” yang digelar Serikat Perjuangan Rakyat Indonesia (SPRI) di Cikini, Jakarta Pusat (2/12).

Sama seperti lembaga pasca reformasi lainnya, menurutnya saat ini Komisi Pemilihan Umum (KPU) sedang dibajak sehingga lebih mementingkan partai politik dibandingkan masyarakat. Hal ini berdampak pada menurunnya jumlah perempuan yang terpilih sebagai anggota DPR. Akibatnya, produk legislasi yang dibuat parlemen berpotensi tidak mengakomodasi kepentingan perempuan, sehingga muncul ketimpangan gender.

Lebih lanjut, Bivitri menduga partai politik belum memiliki komitmen yang kuat dalam memastikan keterlibatan perempuan dalam dunia politik. Misalnya dengan memisahkan lingkup kerja kader perempuan, sehingga perempuan tidak dapat bersaing di pengurus inti partai. Ia memandang partai seringkali mengabaikan perempuan dalam pengambilan keputusan, hal itu terbukti dengan masih banyaknya struktur partai yang masih timpang antara laki-laki dan perempuan.

“Partai politik masih berideologi patriarki, bisa dilihat dari struktur dan cara berorganisasi. Jadinya meskipun sudah ada affirmative action, tapi perempuan masih dianggap beban,” ungkapnya. []