August 8, 2024

Perjuangan Partai Nonparlemen demi Kesetaraan dalam Pemilu

Dua bulan menjelang tahun 2021 berakhir, hari pemungutan suara Pemilihan Umum 2024 belum juga ditetapkan. Komisi Pemilihan Umum, Dewan Perwakilan Rakyat, dan pemerintah sama-sama masih mempertahankan usulan jadwal pemilu, termasuk tahapan pendaftaran partai politik peserta pesta politik lima tahunan itu.

Kendati belum ada kepastian, partai-partai politik sudah mulai bermanuver. Tak hanya untuk menggaet suara rakyat, tetapi juga memperjuangkan kepesertaan dalam Pemilu 2024. Perjuangan untuk mendapatkan perlakuan yang sama dalam kepesertaan pemilu di antaranya dilakukan oleh partai-partai politik nonparlemen.

Empat parpol nonparlemen, misalnya, kembali mengajukan permohonan uji materi Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu ke Mahkamah Konstitusi (MK). Keempat parpol itu ialah Partai Bulan Bintang (PBB), Partai Beringin Karya (Berkarya), Partai Perindo, dan Partai Solidaritas Indonesia (PSI).

Sebagai partai yang tidak turut serta dalam pembahasan UU No 7/2017, keempat partai tersebut menyatakan punya kedudukan hukum atau legal standing untuk menguji konstitusionalitas Pasal 173 Ayat (1) UU Pemilu. Pasal ini berbunyi, ”Partai Politik Peserta Pemilu merupakan partai politik yang lulus verifikasi oleh KPU”.

Yusril Ihza Mahendra, Ketua Umum PBB, yang menjadi salah satu pemohon, dalam sidang perdana akhir September lalu, mengungkapkan bahwa Pasal 173 Ayat (1) UU 7/2017 tersebut bertentangan dengan Pasal 22 E Ayat (2) dan Pasal 24 Ayat (1) UUD 1945.

Empat parpol nonparlemen itu meminta MK membagi perlakuan tentang verifikasi administrasi dan faktual kepesertaan pemilu menjadi tiga kategori, sama seperti pengelompokan parpol yang ada saat ini.

Pertama, partai yang sudah ikut Pemilu 2019 dan dinyatakan lolos dan mempunyai wakil-wakilnya di parlemen tidak perlu lagi mengikuti verifikasi, baik faktual maupun administrasi.

Kategori kedua, parpol yang sudah diverifikasi administrasi dan faktual sudah ikut pemilu terakhir, tapi tidak lolos ambang batas parlemen (parliamentary threshold) cukup verifikasi administrasi, tanpa verifikasi faktual.

Kategori ketiga, parpol baru yang sama sekali belum pernah ikut pemilu harus melalui verifikasi administrasi dan faktual ketika mendaftar sebagai peserta Pemilu 2024.

Yusril mempersoalkan putusan MK terakhir, yaitu putusan nomor 55/PUU-XVII/2020 yang membagi partai politik ke dalam tiga kategori, tetapi hanya membagi perlakuan atau treatment verifikasi dalam dua kategori.

Pertama, parpol-parpol di parlemen hanya diwajibkan mengikuti verifikasi administrasi, tidak perlu diverifikasi faktual. Sementara parpol nonparlemen yang pernah mengikuti pemilu dan parpol baru yang belum pernah menjadi peserta pemilu sama-sama harus melalui verifikasi administrasi dan faktual.

Padahal, menurut Yusril, jika ada status yang berbeda, perlakuan yang diberikan seharusnya juga berbeda.

”Kalau kategori ada tiga, treatment juga harus ada tiga. Tapi, pemaknaan sekarang justru ketegori ada tiga, treatment ada dua. Kategori kedua dan ketiga diperlakukan dalam satu treatment. Itu bertentangan dengan prinsip keadilan dan prinsip kedaulatan rakyat yang diatur konstitusi kita,” ujar Yusril menegaskan.

Sikap MK terhadap proses verifikasi partai politik peserta Pemilu 2024 telah secara jelas dinyatakan di dalam putusan Nomor 55/PUU-XVIII/2020. MK saat itu mengabulkan sebagian permohonan Partai Gerakan Perubahan Indonesia (Garuda) yang meminta agar Pasal 173 Ayat (1) UU 7/2017 dimaknai partai yang telah lulus verifikasi Pemilu 2019 tidak diverifikasi kembali untuk pemilu selanjutnya. Artinya, Partai Garuda meminta agar parpol peserta Pemilu 2019 tidak perlu diverifikasi ulang untuk mengikuti Pemilu 2024.

Namun, MK memutuskan parpol-parpol parlemen yang akan mengikuti Pemilu 2024 tak perlu lagi diverifikasi faktual, cukup verifikasi administrasi. Sementara parpol nonparlemen yang pernah mengikuti pemilu sebelumnya diperlakukan sama dengan parpol baru, harus lolos verifikasi administrasi dan faktual.

Dalam pertimbangannya, prinsip persamaan di hadapan hukum (equality before the law) yang diberlakukan dalam hal verifikasi parpol itu cenderung abai pada penegakan prinsip keadilan karena memandang sama terhadap suatu yang seharusnya diperlakukan secara berbeda.

MK juga mempertimbangkan fakta-fakta di lapangan bahwa biaya negara untuk melakukan verifikasi parpol tidaklah murah, apalagi dalam situasi dan kondisi ekonomi negara saat ini yang harus membiayai penanggulangan pandemi Covid-19.

Semestinya parpol yang pernah mengikuti Pemilu 2019 tidak diperlakukan sama dengan parpol yang baru akan mendaftar menjadi peserta Pemilu 2024. Parpol nonparlemen cukup diverifikasi administrasi, sama dengan parpol yang lolos ambang batas parlemen.

Menurut MK, jika parpol yang sudah lolos verifikasi dan lolos ambang batas parlemen pada Pemilu 2019 diperlakukan sama dengan parpol baru, hal itu tidak adil. Sebab, esensi keadilan adalah memperlakukan sama terhadap sesuatu yang seharusnya diperlakukan sama dan memperlakukan berbeda terhadap sesuatu yang diperlakukan berbeda.

Oleh karena itu, terhadap parpol yang lolos dan memenuhi ketentuan parliamentary threshold tetap diverifikasi administrasi, tanpa verifikasi faktual. Parpol lama yang hanya memiliki keterwakilan di DPRD provinsi/kabupaten/kota dan yang tidak memiliki perwakilan harus diverifikasi secara administrasi dan faktual, sama halnya dengan partai baru.

Sekretaris Dewan Pertimbangan DPP PSI Raja Juli Antoni menegaskan, parpol tidak menemukan keadilan dalam putusan MK Nomor 55/PUU Tahun 2020 itu. ”Kalau dibaca pertimbangan hakim dan putusan hakim tidak sinkron,” katanya saat dihubungi, Sabtu (16/10/2021).

Semestinya, lanjut Raja Juli, parpol yang pernah mengikuti Pemilu 2019 tidak diperlakukan sama dengan parpol yang baru akan mendaftar menjadi peserta Pemilu 2024. Parpol nonparlemen cukup diverifikasi administrasi, sama dengan parpol yang lolos ambang batas parlemen.

Bukan sekali

Uji konstitusionalitas terhadap UU Pemilu yang diajukan empat parpol nonparlemen itu bukanlah yang pertama. UU Pemilu termasuk salah satu regulasi yang paling banyak dipersoalkan konstitusionalitasnya. MK mencatat setidaknya UU tersebut telah diuji hingga 133 kali sejak MK berdiri pada 2003.

UU Pemilu terbaru, yakni UU No 7/2017, menjadi regulasi pemilu terbanyak yang diuji di MK. Sejak diundangkan pada 2017 hingga saat ini, UU itu sudah 64 kali diuji. Disusul dengan UU No 8/2012 tentang Pemilu DPR, DPD, dan DPRD sebanyak 36 kali pengujian, dan UU No 42/2008 tentang Pemilu Presiden sudah 33 kali diuji.

Salah satu klausul yang bolak-balik dipersoalkan parpol ke MK adalah mengenai persyaratan kepesertaan dalam pemilu. Parpol harus lolos verifikasi administrasi dan faktual sesuai dengan Pasal 173 Ayat (2) UU 7/2017.

Syarat tersebut mencakup, parpol memiliki kepengurusan di seluruh provinsi, 75 persen jumlah kabupaten/kota di provinsi yang bersangkutan, 50 persen jumlah kecamatan di kabupaten/kota yang bersangkutan, dan lainnya.

MK dalam putusan tahun 2020 mengakui bahwa persyaratan untuk menjadi parpol peserta pemilu merupakan ujian yang cukup berat. Struktur kepengurusannya harus mencapai apa yang disyaratkan UU karena partai peserta pemilu merefleksikan aspirasi rakyat dalam skala besar dan bersifat nasional.

Norma itu langsung diuji ke MK begitu UU Pemilu diundangkan pada 2017. Pada 11 Januari 2018, MK mengeluarkan putusan Nomor 52/PUU-X/2017 yang menjadi dasar pelaksanaan Pemilu 2019.

Salah satu klausul yang bolak-balik dipersoalkan parpol ke MK adalah mengenai persyaratan kepesertaan dalam pemilu. Parpol harus lolos verifikasi administrasi dan faktual sesuai dengan Pasal 173 Ayat (2) UU No 7/2017.

Dalam putusan itu MK memerintahkan agar semua parpol untuk diverifikasi baik secara administratif maupun faktual oleh KPU. MK juga membatalkan Pasal 173 Ayat (3) UU Pemilu yang mengatur, parpol yang telah lulus verifikasi tidak diverifikasi ulang dan langsung ditetapkan sebagai peserta pemilu.

Salah satu pertimbangannya ialah keadilan bagi setiap parpol peserta pemilu. Semua syarat dan penetapan parpol untuk menjadi peserta pemilu tidak dapat dibeda-bedakan. Selain itu, MK juga mempertimbangkan adanya pemekaran daerah dan perkembangan demografi yang berubah dari waktu ke waktu dan tidak bersifat statis.

Kondisi parpol pun dipertimbangkan mengingat partai bukan benda mati yang bersifat statis, melainkan penuh dinamika, baik secara organisasi maupun kebijakan. Dinamika tersebut juga menimbulkan pasang surut yang antara lain disebabkan oleh konflik internal partai. Hal itu dapat berdampak pada keterpenuhan syarat kelengkapan infrastruktur internal partai politik.

Alasan lain, MK mempertimbangkan pengetatan persyaratan bagi parpol untuk dapat menjadi peserta pemilu seperti diatur di dalam Pasal 173 Ayat (2) UU No 7/2017. Pengetatan syarat parpol sesuai dengan desain konstitusi yang bermaksud menyederhanakan sistem kepartaian dengan tujuan mendukung efektivitas sistem pemerintahan presidensial yang dianut UUD 1945.

Penyederhanaan parpol

Dari fakta itu terlihat sikap MK terhadap syarat verifikasi parpol peserta pemilu berubah. Namun, perubahan sikap MK dari putusan Nomor 53/PUU ke putusan Nomor 55/PUU tidak didukung semua hakim konstitusi.

Setidaknya ada tiga hakim konstitusi, yaitu Saldi Isra, Suhartoyo, dan Enny Nurbaningsih, yang tetap berpegang pada putusan Nomor 53/PUU. Ketiganya berpandangan, menghapus keharusan verifikasi, baik administrasi maupun faktual, bagi semua parpol yang hendak menjadi peserta pemilu, jelas mengubah makna hakiki penyederhanaan parpol dalam sistem presidensial.

”Membenarkan sejumlah partai politik tidak perlu dilakukan verifikasi, terutama verifikasi faktual, sebagai peserta pemilu dapat mengubah dan menggerakkan penyederhanaan partai politik menuju pendulum yang berbeda,” demikian dikutip dari putusan MK.

Hal ini pula yang ditanyakan Saldi Isra kepada Yusril Ihza Mahendra saat memimpin sidang pengujian UU Pemilu, September lalu. Saldi meminta pemohon untuk mengaitkan penghapusan verifikasi faktual bagi parpol yang telah mengikuti Pemilu 2019 dengan desain penyederhanaan partai guna mendukung sistem pemerintahan presidensial.

Terkait dengan hal tersebut, Yusril berjanji akan memperdalam materi permohonannya. Ia juga akan memasukkan pendapatnya bahwa sebenarnya tidak ada amanat konstitusi tentang penyederhanaan partai.

”Partai politik itu mengamanatkan kebebasan dan menjamin kebebasan berserikat dan berkumpul, bukan membatasinya. Amanat itu sebenarnya tidak ada di dalam konstitusi, jadi sia‑sia juga kita memperdebatkan persoalan yang sebenarnya tidak ada. Sementara penguatan sistem presidensial itu sendiri sudah diatur di dalam konstitusi itu sendiri dan menjadi debat panjang pada amendemen yang lalu,” ujarnya.

Raja Juli juga menyampaikan bahwa penyederhaan partai secara demokratis untuk mengefektifkan sistem pemerintahan presidensial dilakukan melalui pemilu. Sementara verifikasi diperlukan untuk menyaring parpol baru yang belum pernah menjadi peserta pemilu sebelumnya.

Peneliti senior Jaringan Pendidikan Pemilih untuk Rakyat (JPPR) Nurlia Dian Paramita menyampaikan, pada prinsipnya verifikasi faktual dilakukan guna melihat kebenaran informasi data yang disampaikan parpol pada saat pendaftaran peserta pemilu. Karena itu, JPPR menilai putusan MK tidak adil karena menguntungkan parpol di parlemen.

”Jika mau berkaca pada putusan No 53/PUU, semua parpol yang sudah diverifikasi faktual pada Pemilu 2014 tetap harus menjalani verifikasi faktual ulang menjelang Pemilu 2019. Semestinya ketentuan verifikasi faktual itu tetap sama,” ujarnya.

Tak ayal, putusan MK itu pun menimbulkan banyak pertanyaan. JPPR menilai MK menerapkan standar ganda sehingga mengeluarkan putusan yang tidak adil dan lebih menguntungkan parpol-parpol parlemen yang mayoritas merupakan pendukung pemerintah.

Putusan itu, menurut Nurlia, juga merugikan para calon pemilih karena mereka tidak akan mendapatkan informasi akurat terkait parpol.

”Misalnya tentang apakah betul keterwakilan parpol yang mereka pilih representasinya ada di kabupaten/ kota dan provinsi? Lalu kebenaran domisili kantor tetap dan susunan kepengurusan parpol mesti terverifikasi secara faktual,” tuturnya.

Untuk menyederhanakan parpol, lanjut Nurlia, semestinya MK mengeluarkan putusan yang linear sebagaimana ketentuan verifikasi pada Pemilu 2019. Semua parpol perlu berkompetisi dengan lebih fair dan terbuka terkait kebenaran komposisi kepengurusan struktural dan domisili kantor tetap.

Menjelang Pemilu 2024, semua parpol tengah berjuang untuk dapat diterima menjadi peserta. Kini, setelah pasal syarat verifikasi calon peserta pemilu kembali diuji konstitusionalitasnya, nasib parpol kembali berada di tangan MK. (SUSANA RITA KUMALASANTI/ANITA YOSSIHARA)

Dikliping dari artikel yang terbit di Kompas.ID https://www.kompas.id/baca/polhuk/2021/10/18/perjuangan-partai-non-parlemen-demi-kesetaraan-dalam-pemilu