August 8, 2024

Perkuat Landasan Hukum E-rekap

Kejelasan kerangka hukum yang mengatur rekapitulasi penghitungan suara secara elektronik atau e-rekap di dalam Pilkada 2020 menjadi salah satu hal mendesak yang mesti disiapkan oleh penyelenggara. Tanpa kerangka hukum yang jelas, penerapan rekapitulasi suara eelektronik atau e-rekap rentan menghadapi gugatan hukum.

Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada tidak secara eksplisit mengatur teknis rekapitulasi suara elektronik. Sebab, UU Pilkada itu merupakan revisi UU sebelumnya, yakni UU No 8/2015 tentang Pilkada. Di dalam UU No 8/2015 pun ketentuan rekapitulasi secara elektronik belum secara jelas diatur, karena UU itu revisi dari UU No 1/2015 tentang Pilkada. Ketentuan soal rekapitulasi elektronik juga tidak secara eksplisit dijelaskan di dalam UU No 1/2015, karena bukan merupakan norma yang diubah dari ketentuan sebelumnya, yakni Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perppu) No 1/2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota.

Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada tidak secara eksplisit mengatur teknis rekapitulasi suara elektronik

Ketentuan yang menyinggung rekapitulasi secara elektronik baru ditemui di dalam Pasal 111 Perppu No 1/2014 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota. Pasal itu berbunyi, “Mekanisme penghitungan dan rekapitulasi suara pemilihan secara manual dan/atau menggunakan sistem penghitungan suara secara elektronik diatur dengan peraturan KPU.”

Norma Pasal 111 tersebut dikecualikan dalam rangkaian revisi UU Pilkada, yakni mulai dari UU No 1/2015, UU No 8/2015, dan yang terakhir UU No 10/2016. Karena tidak diubah, norma asli Pasal 111 yang diadopsi dalam rangkaian revisi UU Pilkada tersebut masih merujuk pada Perppu No 1/2014.

Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Titi Anggraini mengatakan, tidak dicantumkannya ketentuan mengenai rekapitulasi elektronik (e-rekap) di dalam rangkaian revisi UU Pilkada itu dapat pula dibaca sebagai potensi kelemahan payung hukum e-rekap. Oleh karena itu, e-rekap harus tetap ditopang dengan kerangka hukum yang kuat sebagai jaminan legalitas terhadap pelaksanaannya. Kerangka hukum yang kuat diperlukan untuk mengantisipasi berbagai potensi masalah hukum yang mungkin timbul dari pelaksanaannya.

“UU Pilkada yang ada saat ini (UU No 1/2015, UU No 8/2015, dan UU No 10/2016) belum memberikan payung hukum bagi penerapan rekapitulasi penghitungan suara secara elektronik dalam pilkada di Indonesia,” katanya, Sabtu (6/7/2019) di Jakarta.

Payung hukum bagi pelaksanaan e-rekap itu sebaiknya dituangkan dalam bentuk revisi UU Pilkada. Sebab, bila merujuk pada keputusan KPU semata, hal itu dikhawatirkan tidak cukup kuat untuk menjadi landasan hukum bagi pelaksanaan e-rekap.

Mantan anggota KPU yang juga peneliti senior Network for Democracy and Electoral Integrity (Netgrit) Hadar Nafis Gumay mengatakan, payung hukum bagi pelaksanaan e-rekap itu sebaiknya dituangkan dalam bentuk revisi UU Pilkada. Sebab, bila merujuk pada keputusan KPU semata, hal itu dikhawatirkan tidak cukup kuat untuk menjadi landasan hukum bagi pelaksanaan e-rekap.

“Menyikapi suasana politik belakangan ini yang diwarnai dengan berbagai kecurigaan, serta tudingan kecurangan yang dialamatkan kepada KPU, perlu kiranya dalam pelaksanaan e-rekap ini didukung dengan payung hukum yang kuat. Atau setidak-tidaknya, pelaksanaan e-rekap dalam Pilkada 2020 ini harus dipastikan benar-benar telah mendapat dukungan dari pembuat regulasi, yakni DPR dan pemerintah,” katanya.

Beda tafsir

Pertanyaan terkait dengan e-rekap itu pun dapat muncul, bahkan ketika dukungan kuat diberikan DPR dan pemerintah. Tafsir atas pasal itu bisa berbeda, karena normanya mengatur dua hal, yakni mekanisme penghitungan suara dan rekapitulasi.

“Apakah e-rekap itu bisa dimaknai sebagai bagian dari sistem penghitungan suara elektronik yang diatur pasal itu, ataukah jangan-jangan ada pihak yang menafsirkan berbeda, karena beranggapan penghitungan suara berarti proses membuka satu per satu kertas suara yang dicoblos di TPS. Bila demikian tafsirnya, maka potensi gugatan hukum atas e-rekap mungkin saja terjadi,” kata Hadar.

Penerapan e-rekap dengan memanfaatkan Sistem Informasi Penghitungan Suara atau Situng memiliki landasan hukum kuat, yakni seperti diatur di dalam Pasal 111. Hal detil mengenai penerapannya akan diatur di dalam peraturan KPU (PKPU).

Anggota KPU Viryan Aziz akhir pekan lalu mengatakan, penerapan e-rekap dengan memanfaatkan Sistem Informasi Penghitungan Suara atau Situng memiliki landasan hukum kuat, yakni seperti diatur di dalam Pasal 111. Hal detil mengenai penerapannya akan diatur di dalam peraturan KPU (PKPU).

Meski demikian, KPU dalam rapat dengar pendapat (RDP) dengan Komisi UU DPR, Senin ini, juga akan membahas mengenai payung hukum e-rekap. “Segala masukan dari publik kami terima, dan akan kami bahas dalam RDP dengan DPR,” katanya. (RINI KUSTIASIH)

Dikliping dari artikel yang terbit di harian Kompas edisi 8 Juli 2019 di halaman 2 dengan judul “Perkuat Landasan Hukum E-rekap”. https://kompas.id/baca/utama/2019/07/08/kejelasan-kerangka-hukum-diperlukan/