August 8, 2024

Perkuat Sanksi Pelanggar Protokol Kesehatan di Pilkada

Kerumunan massa yang tampak saat tahapan pendaftaran calon kepala/wakil kepala daerah di Pemilihan Kepala Daerah 2020 tak terulang di tahapan penetapan calon pada Rabu (23/9/2020). Penyelenggara pemilu melarang para calon hadir saat rapat pleno penetapan sehingga kehadiran massa pendukung calon bisa dicegah. Namun, hal itu tak menghilangkan kekhawatiran munculnya kerumunan di tahapan lainnya. Apalagi aturan yang ada dinilai belum cukup kuat mencegahnya.

Tidak adanya massa pendukung calon saat penetapan calon kepala/wakil kepala daerah oleh Komisi Pemilihan Umum, misalnya, terlihat saat KPU Sulawesi Utara menetapkan calon untuk Pilkada Sulut. Tidak seperti pilkada dalam masa normal, penetapan calon itu pun tak dihadiri oleh para calon. KPU Sulut menyiarkan agenda penetapan itu melalui konferensi video dalam jaringan yang terbuka untuk umum.

Ketua KPU Sulut Ardiles Mewoh mengatakan, sesuai hasil rapat koordinasi dengan para calon, diputuskan para calon tidak perlu hadir dalam rapat pleno penetapan. Mereka pun diingatkan untuk tidak mengerahkan massa pendukungnya ke kantor KPU.

Setelah agenda penetapan calon, dilanjutkan agenda pengundian dan pengambilan nomor urut calon pada Kamis (24/9). Komisioner KPU Sulut, Yessy Momongan, mengatakan, kerumunan saat agenda pengundian nomor urut juga coba dicegah. Setiap pasangan calon di Pilkada Sulut 2020 hanya boleh membawa rombongan maksimal delapan orang. Bagi pendukung calon, bisa menyaksikan pengundian secara daring.

Kendati demikian, komisioner KPU Sulut lainnya, Salman Saelangi, mengatakan, ada kemungkinan munculnya kerumunan massa pendukung berdasarkan inisiatif sendiri.

Dalam kesepakatan bersama KPU, Badan Pengawas Pemilu, dan Polda Sulut, pihak-pihak yang menyebabkan kerumunan bakal ditindak dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan. Peraturan Gubernur Sulut No 60/2020 dapat pula digunakan sebagai dasar pembubaran massa.

Selain di Manado, penetapan calon Pilkada Kalimantan Selatan, Pilkada Bandar Lampung, dan Pilkada Karawang juga tidak dihadiri calon ataupun massa pendukungnya.

Kekhawatiran kerumunan

Sekalipun kerumunan massa tak terlihat saat agenda penetapan calon, hal itu tak menghilangkan kekhawatiran munculnya kerumunan massa di tahapan pemilihan lainnya. Apalagi aturan hukum yang ada dinilai belum cukup kuat untuk mencegah timbulnya kerumunan tersebut.

Sebagai contoh, menurut anggota Dewan Pembina Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Titi Anggraini, belum ada aturan yang memberikan sanksi langsung, seperti diskualifikasi atau pengurangan masa kampanye, pada peserta pilkada yang terbukti melanggar protokol kesehatan. Jika aturan itu tersedia, diyakini akan membuat peserta pilkada lebih ketat dalam menerapkan protokol kesehatan bagi dirinya ataupun pendukungnya saat pilkada.

KPU, dinilai Titi, serba tergesa-gesa dalam penyiapan instrumen hukum. Padahal, semua instrumen hukum seharusnya tersedia jauh hari sebelum dimulainya pilkada.

”Nah, ini, kan, tidak. Dasar hukum dipersiapkan sembari memulai tahapan. Padahal, dasar hukum adalah fondasi dari pengelolaan tahapan pemilihan itu sendiri. Tidak heran jadinya kita serba gagap dan akhirnya tambal sulam merespons setiap fenomena yang ada di lapangan,” kata Titi.

Untuk itu, menurut Titi, opsi penundaan pilkada seharusnya diambil agar aturan hukum bisa disempurnakan. Selain itu, opsi penundaan juga dibutuhkan agar memberikan ruang yang cukup untuk sosialisasi, internalisasi, dan penguatan kapasitas pada pihak-pihak yang akan menerapkan aturan baru tersebut.

”Tidak bisa hit and run. Membuat aturan tetapi pelaksanaannya penuh dengan ketergesaan. Apalagi bila pertaruhannya adalah keselamatan warga negara. Keselamatan dan kesehatan warga negara jangan sampai terkorbankan hanya demi ambisi politik segelintir orang atau akibat kebijakan yang tidak dipersiapkan,” kata Titi.

Kepala Pusat Penelitian Politik Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Firman Noor menilai, jika celah hukum tak segera diselesaikan dan ditambah kondisi pandemi yang masih buruk, kualitas pelaksanaan pilkada pun terancam. Penyebaran virus pun bisa semakin tak terkendali.

Menurut Firman, jika protokol kesehatan masih diabaikan di tahapan lainnya di pilkada, lebih baik pilkada ditunda.

Kebutuhan perppu

Anggota Bawaslu, Ratna Dewi Pettalolo, pun melihat aturan yang ada masih lemah. Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada tak bisa dijadikan payung hukum untuk menindak pelanggar protokol kesehatan. Adapun sanksi terhadap pelanggar protokol kesehatan dalam Peraturan KPU (PKPU) Nomor 6 Tahun 2020, yang mengatur pelaksanaan pilkada di tengah pandemi Covid-19, tidak cukup kuat, yaitu sebatas teguran.

”Jadi, jalan terbaik untuk mempertegas pengendalian massa adalah diatur di level undang-undang. Namun, hal ini juga tidak mungkin karena terbatasnya waktu. Alternatif lain adalah dengan menerbitkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang (perppu) untuk merumuskan secara jelas subyek yang akan dikenai sanksi,” ujar Dewi.

Apabila perppu tidak diterbitkan, pilihan lain adalah memaksimalkan penegakan hukum oleh aparat Polri, yaitu dengan memidanakan setiap pelanggar protokol kesehatan.

Terkait PKPU No 6/2020, anggota KPU, I Dewa Kade Wiarsa Raka Sandi, berharap, revisi aturan itu bisa diundangkan pada Kamis.

Dalam revisi, sejumlah metode kampanye akan diubah. Pertemuan yang melibatkan massa banyak, seperti rapat umum, konser, dan arak-arakan, bakal dilarang. Pasangan calon pun dianjurkan berkampanye secara daring. Namun, metode kampanye langsung mendatangi calon pemilih tetap diperbolehkan asalkan menerapkan protokol kesehatan.

Selain bertumpu pada penyelenggara pemilu dan aparat keamanan, kepatuhan pada protokol kesehatan juga ditegakkan oleh partai politik.

PDI-P, misalnya, akan tegas memberi sanksi bagi anggota dan kader partainya yang melanggar protokol kesehatan di tahapan pilkada. Ini seperti disampaikan Sekjen PDI-P Hasto Kristiyanto. (BOW/FAI/OKA/REN/FLO/NDU/MEL/VIO/NIK/ZAK/FRN/JUM/VDL/COK/CIP/SYA)

Dikliping dari artikel yang terbit di harian Kompas edisi 24 September 2020 di halaman 3 dengan judul “Perkuat Sanksi Pelanggar Protokol”. https://www.kompas.id/baca/polhuk/2020/09/24/perkuat-sanksi-pelanggar-protokol-kesehatan-di-pilkada/