September 13, 2024

Perluasan Kewenangan Bawaslu dan Penegakkan Hukum Pilkada

ilustrasi-artikel-01

Revisi Undang-Undang Pilkada saat ini dalam perkembangannya, diantaranya penguatan atau perluasan kewenangan Bawaslu  dan jajarannya dalam menangani berbagai sengketa Pilkada, misalnya, sengketa pada tahap pencalonan, memang pada Pilkada 2015 lalu penyelesaian sengketa administrasi pada tahap pencalonan yang berlarut-larut. Hingga memperluas kewenangannya dalam penegakkan hukum money politics dengan mendiskualifikasi pasangan calon kepala daerah yang terbukti melakukan tindak pidana politik uang.

Pada dasarnya memperkuat kewenangan Bawaslu merupakan terobosan dan usulan yang sangat bagus. Oleh karena itu Komite Independen Pemantau Pemilu (KIPP) Indonesia mendukung revisi UU Pilkada yang memperkuat atau memperluas kewenangan Bawaslu dan jajarannya dalam menangani sengketa maupun pelanggaran-pelanggaran lainnya, dengan beberapa catatan serta hal-hal penting yang perlu menjadi perhatian dalam revisi UU Pilkada khususnya mengenai penegakkan hukum, di samping yang sudah disampaikan oleh kawan-kawan LSM pemerhati pemilu:

Pertama, menurut Undang-Undang saat ini kewenangan Bawaslu sudah cukup luas, baik dalam sengketa administratif maupun pidana pemilu. Dalam sengketa administrasi, putusan Bawaslu boleh bersifat mengikat. Sifat mengikatnya putusan administrasi Bawaslu tersebut berlaku baik pada KPU maupun peserta pemilu. Sedangkan dalam pidana pemilu, misalnya, Bawaslu lah yang diberi kewenangan untuk menentukan apakah peristiwa dikategorikan sebagai pidana pemilu atau tidak yang lebih selanjutnya menjadi kewenangan Gakumdu. Namun demikian selama ini Gakumdu dalam penyelesaian perkara pemilu/pilkada tidak efektif. Oleh karena itu wajar bila ada usulan bahwa Bawaslu saja yang diperluas kewenangannya.

Kedua, problem banyaknya pelanggaran pemilu yang tidak bisa ditindaklanjuti justru bukan saja disebabkan karena terbatasnya kewenangan Bawaslu. Tapi lebih disebabkan karena rumusan delik dan limitasi waktu bisa ditindaklanjutinya secara pidana sebelum ditentukan sebagai daluarsa.

Tentang money politics, misalnya, perlu perluasan subjek hukum yang dapat dikategorikan sebagai pelaku peserta money politics. Bila hal-hal ini bisa diperbaiki ditambah kewenangan institusional, penegakkan hukum pemilu/pilkada diyakini akan lebih efektif.

Revisi UU Pilkada saat ini diharapkan menyentuh segala lini mengenai penegakkan hukum pemilu/pilkada sehingga terciptanya konsistensi penegakan hukum yang berfungsi untuk mencegah peristiwa pidana dalam skala yang lebih luas seperti election frauds conspiracy (konspirasi kecurangan pemilu).

Ketiga, bila kita cermati putusan-putusan DKPP mengenai pelanggaran-pelanggaran yang dilakukan baik oleh penyelenggara maupun pengawas dalam hal ini khususnya Jajaran Bawaslu  yang sedang diusulkan untuk diperluas kewenangnnya, jika tidak dibarengi oleh, 1) soal standar sebagai rel yang membuat kesamaan dalam memperlakukan kasus dan/atau isu yang sama. Sebagai contoh untuk kasus A di Aceh dengan di Papua, penyelesaiannya harus sama. Yang menjadi permasalahannya adalah ternyata tidak sama cara penyelesaiannya. Sehingga sebelum mengeluarkan itu, Bawaslu harus mengevaluasi diri dulu terkait permasalahan tersebut.

Kemudian 2), soal kapasitas pengawas, apakah memang pola perekrutan dan peningkatan kapasitas yang ada, sudah cukup memadai atau mumpuni untuk pengawas mampu mengemban tanggung jawab tambahan yang baru ini (perluasan kewenangan). Kita ketahui selama Pilkada 2015, DKPP banyak mengeluarkan putusan yang memberhentikan anggota Bawaslu Provinsi, Panwas Kab/Kota, maupun putusan berupa peringatan dan peringatan keras. Nah, jika poin 1 dan 2 tidaklah tertuntaskan, alangkah baiknya dipikirkan lagi penambahan kewenangan tersebut, terlebih Panwas saat ini bersifat adhoc sehingga tidak tertutup kemungkinan bisa menjadi sebuah boomerang.

Selanjutnya yang tidak kalah penting untuk dikemukakan adalah perlu adanya kualifikasi untuk menjadi anggota Bawaslu dan jajarannya jika diperluas kewenangannya, seperti harus adanya unsur ahli di bidang kepemiluan, ahli hukum pidana maupun tata negara, bidang IT dan lain sebagainya.

Keempat, hal-hal lain yang secara praktis menghambat efektifitas kinerja penyelenggara pemilu, baik KPU maupun Bawaslu, diantaranya: 1) beberapa delik pidana pemilu tidak sekaligus mencantumkan ancaman sanksi pidana. UU Kepemiluan hanya menyebut “dipidana sesuai dengan ketentuan perundang-undangan”. Oleh Gakumdu atau penegak hukum, ketentuan ini dianggap tidak jelas, karena mereka berfikir bahwa perundang-undangan dimaksud adalah UU Kepemiluan. Mereka tidak berani lari dari KUHP karena dianggapnya bukan UU bidang Kepemiluan.

2) ketentuan mengenai syarat penyelenggaraan pleno KPU dan Bawaslu. Dalam ketentuan saat ini, anggota KPU atau Bawaslu dapat diancam melakukan pelanggaran etik, kalau 3 (tiga) kali berturut-turut tidak mengikuti pleno. Harusnya tidak perlu berturut-turut, cukup 3 kali tidak ikut pleno tanpa alasan yang dapat dibenarkan. Dalam praktik, jika KPU atau Bawaslu terbelah atau terjadi relasi konfliktual, mereka saling menyandera dengan cara bergiliran tidak hadir pleno dengan harapan tidak mencapai quorum.

Kelima, perlu dipertimbangkan adanya sanksi lain dalam pemilu selain sanksi administrasi dan pidana. Perlu sanksi berupa pengurangan perolehan suara paslon apabila pelanggaran yang dilakukan dimaksudkan untuk mendapatkan perolehan suara secara tidak sah atau illegal. Dalam pemilu, sebagai efek jera yang paling ditakutkan adalah berkurangnya perolehan suara paslon. Sama halnya dengan koruptor yang takut dimiskinkan daripada pemenjaraan.

Paparan di atas adalah sebuah catatan kritis bila Bawaslu  beserta jajarannya diberikan keluasan atau penguatan wewenangnya dalam menjalankan fungsi dan tugasnya, khususnya dalam menangani sengketa atau perkara dan pelanggaran-pelanggaran pilkada/pemilu lainnya. Dan juga uraian singkat mengenai efektifitas kinerja penyelenggara pemilu, dan sanksi bagi paslon yang menghalalkan segala cara untuk meraih suara dengan cara-cara tidak sah.

Usulan untuk memperluas kewenangan Bawaslu adalah terobosan yang patut diberi apresiasi demi efektifitas penyelenggaraan Pilkada/Pemilu khususnya dalam hal penanganan perkara atauy sengketa pilkada/pemilu. Mutlak diperlukan efektivitas penegakan hukum terhadap pelanggaran-pelanggaran administratif maupun tindak pidana Pilkada. Akumulasi pelanggaran administratif atau tindak pidana Pilkada yang tidak menjadi sasaran penegakkan hukum berpotensi menjadi konflik hukum atau konflik politik pasca Pilkada. []

GIRINDRA SANDINO

Caretaker KIPP Indonesia