August 8, 2024

Perselisihan Hasil Pilkada: Keadilan Substantif Dinanti

Keadilan substantif di Mahkamah Konstitusi perlu didahulukan dalam penyelesaian sengketa gugatan perselisihan hasil pemilihan kepala daerah Sabu Raijua, Nusa Tenggara Timur, dibandingkan syarat prosedural. Karena itu, MK diharapkan memandang sengketa gugatan tersebut sebagai perkara yang kasuistik.

Pendiri Network for Democracy and Electoral Integrity (Netgrit), Hadar Nafis Gumay, saat webinar bertajuk ”Menjawab Polemik Pilkada Sabu Raijua”, Minggu (28/2/2021), di Jakarta, mengatakan, meskipun kurang memiliki syarat formil, MK dinilai perlu melanjutkan perkara tersebut hingga ke sidang pembuktian karena ada substansi pelaksanaan pilkada yang cacat hukum dan tak memenuhi syarat.

Ada unsur ketidakadilan dan kejujuran dalam penyelenggaraan pemilu yang dilakukan salah satu peserta yang seharusnya tidak memenuhi syarat untuk berkontestasi karena berkewarganegaraan asing. Ketidakadilan tersebut mengakibatkan pemilih tidak mendapatkan hak yang lengkap karena tidak paham terhadap latar belakang salah satu kandidat yang ternyata bukan warga negara Indonesia. Apalagi, terjadi kelambatan pengambilan keputusan yang dikhawatirkan berujung pada upaya lepas tanggung jawab dari Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) serta Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkumham).

”Saya khawatir ada motif politik dan tujuan lain untuk menetapkan bahwa Orient memenuhi syarat,” katanya.

Sejak awal, menurut Hadar, seharusnya penyelenggara pemilu melakukan koreksi setelah ada fakta dari Kedutaan Besar Amerika Serikat dan surat rekomendasi dari Badan Pengawas Pemilu.

”Saya khawatir ada motif politik dan tujuan lain untuk menetapkan bahwa Orient memenuhi syarat”

Hal senada diungkapkan Peneliti Kajian Konstitusi dan Demokrasi Inisiatif, Viola Reininda. Menurut Viola, MK perlu memeriksa perkara perselisihan hasil pilkada Sabu Raijua meskipun tidak memenuhi syarat formil karena diajukan melewati tenggang dan pemohon tidak memiliki kedudukan hukum.

Pembelajaran

Hal itu akan menunjukkan pesan dari MK untuk memulihkan sendi-sendi keadilan dan kejujuran dalam pilkada Sabu Raijua yang salah satu kandidatnya diketahui berkewarganegaraan asing. ”Mahkamah mesti menilai bahwa perkara ini sifatnya kasuistik,” katanya.

Perkara ini didaftarkan sangat jauh dari batas waktu pendaftaran. Bahkan, dalam beberapa perkara, MK sudah mengeluarkan putusan untuk sebagian besar sengketa perselisihan hasil pilkada untuk 100 pemohon.

Kendati secara prosedural perkara ini tidak memenuhi persyaratan formil, lanjut Viola, keputusan MK untuk menyidangkan kasus ini bisa menjadi pembelajaran kepada pemerintah dan penyelenggara pemilu untuk segera mengambil keputusan. Sebab, hingga jadwal pelantikan kepala daerah 26 Februari, Kementerian Dalam Negeri masih menunda dan belum membuat keputusan terkait pelantikan kepala daerah di Sabu Raijua.

”Jika sejak awal ada ketegasan dari penyelenggara pemilu, tidak perlu lagi dilanjutkan sengketa di MK,” ucapnya.

Sebelumnya, tercatat ada dua penambahan permohonan perselisihan hasil pilkada Sabu Raijua di MK. Gugatan pertama diajukan pemohon pasangan calon nomor urut 1 di pilkada Sabu Raijua, Nikodemus N Rihi Heke dan Yohanis Uly Kale.

Dalam permohonannya, Nikodemus meminta MK membatalkan keputusan Komisi Pemilihan Umum (KPU) Sabu Raijua tentang penetapan rekapitulasi hasil penghitungan suara pemilihan bupati dan wakil bupati terpilih dalam pemilihan bupati dan wakil bupati Sabu Raijua tertanggal 16 Desember 2020.

Adapun permohonan kedua diajukan Yanuarse Bawa Lomi atas nama Aliansi Masyarakat Peduli Demokrasi Sabu Raijua serta Marthen Radja dan Herman Lawe Hiku selaku perorangan warga negara Indonesia.

Terkait permohonan sengketa hasil pilkada itu, Mahkamah Konstitusi diharapkan menjadi jalan terakhir atas kebuntuan persoalan bupati terpilih Sabu Raijua, Nusa Tenggara Timur, Orient Patriot Riwu Kore, yang masih mengambang hingga kini. Dengan demikian, polemik bupati terpilih yang berkewarganegaraan asing itu bisa segera berakhir dan ada kepastian hukum.

Sejauh ini, Kemenkumham tak kunjung menyelesaikan kajian atas status kewarganegaraan Orient. Di sisi lain, Kemendagri juga tidak bisa memutuskan pelantikan Orient jika kajian itu belum selesai. Hal ini dikhawatirkan akan terjadi saling lempar tanggung jawab antar-instansi (Kompas, 28/2).

Tarik ulur

Peneliti Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi, Fadli Ramadhanil, menuturkan, perlu ada kepastian terhadap jadwal pelaksanaan pilkada yang telah usai. Penundaan pelantikan yang berlarut dari Kemendagri justru membuat tidak pastinya tahapan pilkada di Sabu Raijua. Padahal, surat dari Kedutaan Besar Amerika Serikat mengenai status kewarganegaraan Orient dan rekomendasi Bawaslu cukup kuat untuk mengambil keputusan.

”Sikap tarik ulur dari masing-masing lembaga yang terkesan tidak mau mengambil tanggung jawab membuat ketidakpastian tahapan pilkada di Sabu Raijua,” ucapnya.

”Sikap tarik ulur dari masing-masing lembaga yang terkesan tidak mau mengambil tanggung jawab membuat ketidakpastian tahapan pilkada di Sabu Raijua”

Menurut pengajar hukum tata negara dari Sekolah Tinggi Hukum Indonesia Jentera, Bivitri Susanti, putusan MK bisa menjadi rujukan terakhir untuk kasus Pilkada Sabu Raijua. Sebab, Kemendagri dan Kemenkumham terkesan tidak memiliki inisiatif untuk menyelesaikan persoalan kewarganegaraan Orient.

Padahal, pemerintah dan penyelenggara pemilu semestinya mengutamakan kepentingan warga. Pelayanan publik dikhawatirkan terganggu jika tak segera ditentukan bupati dan wakil bupati definitif. ”Kasus Pilkada Sabu Raijua menunjukkan ada permasalahan etika dan kepemimpinan daerah yang tidak patut,” katanya.

Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Indonesia Topo Santoso mengatakan, ada pelanggaran administratif dalam Pilkada Sabu Raijua karena Orient seharusnya sudah tak memenuhi syarat sejak awal kontestasi dan dianggap tak termasuk dalam peserta pemilu. (IQBAL BASYARI)

Dikliping dari artikel yang terbit di harian Kompas edisi 1 Maret 2021 di halaman 2 dengan judul “Keadilan Substantif Dinanti”. https://www.kompas.id/baca/polhuk/2021/03/01/keadilan-substantif-dinanti/