September 13, 2024

Persoalan Krusial Penyelenggaraan Pemilu Tak Cukup Diatur lewat PKPU

Sejumlah persoalan krusial di dalam penyelenggaraan pemilu tak cukup hanya diatur melalui peraturan Komisi Pemilihan Umum, tetapi harus selevel undang-undang. Persoalan-persoalan krusial itu harus diantisipasi agar tragedi pada Pemilu 2019 tidak terulang lagi. Karena itu, rencana revisi Undang-Undang Pemilu diharapkan bisa dilanjutkan.

Anggota Komisi II DPR dari Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Nasir Djamil, di Jakarta, Selasa (9/2/2021), mengatakan, seharusnya kekuatan-kekuatan politik di DPR tak hanya bersepakat secara politis, tetapi DPR harus pula mendengar aspirasi penyelenggara pemilu. Jika revisi UU Pemilu tidak dilakukan dan pemilu serentak tetap digelar pada 2024, kejadian tragis pada Pemilu 2019 rentan terulang.

”Kalau desain pemilu masih seperti ini, kami khawatir KPU tak bisa melakukan pemilu serentak secara makismal di tahun yang sama. Kami ingin beri daya ke KPU melalui revisi UU Pemilu sehingga kejadian-kejadian pada Pemilu 2019 tidak terulang kembali,” ujar Nasir.

Jika revisi UU Pemilu tidak dilakukan dan pemilu serentak tetap digelar pada 2024, kejadian tragis pada Pemilu 2019 rentan terulang.

Sebelumnya, enam fraksi di DPR sudah menyatakan akan menolak revisi UU Pemilu. Keenam fraksi itu meliputi Golkar, Gerindra, Partai Nasdem, Partai Amanat Nasional, Partai Kebangkitan Bangsa, dan Partai Persatuan Pembangunan. Alasan yang dikemukakan mirip, yaitu karena saat ini negara sedang fokus menghadapi Covid-19.

Sementara PDI-P sebagai fraksi dengan kursi terbanyak di DPR memberikan sinyal akan menolak revisi karena pertimbangan kondisi pandemi Covid-19. Sementara itu, dua fraksi lainnya di DPR, Demokrat dan PKS, masih tetap dengan sikapnya, menyetujui revisi UU Pemilu.

Pemerintah, lanjut Nasir, harus berpikir ulang atas keputusan menunda revisi UU Pemilu. Rakyat harus berada di atas segala-galanya dibandingkan dengan kepentingan politik sesaat.

”Walau itu sah-sah saja, tetapi kepentingan masyarakat harus kita utamakan. Fraksi PKS tetap mendorong revisi UU Pemilu untuk memperbaiki kualitas demokrasi di Indonesia,” tutur Nasir.

Revisi UU Pemilu tetap dibutuhkan karena ada beberapa isu lain yang juga perlu diatur secara undang-undang. Misal, ambang batas parlemen, ambang batas presiden, alokasi kursi daerah pemilihan, dan penggunaan sistem rekapitulasi elektronik

Selain persoalan keserentakan, menurut Nasir, revisi UU Pemilu tetap dibutuhkan karena ada beberapa isu lain yang juga perlu diatur secara undang-undang. Misal, ambang batas parlemen, ambang batas presiden, alokasi kursi daerah pemilihan, dan penggunaan sistem rekapitulasi elektronik (Sirekap).

”Ini tentu bukan isu-isu ringan. Ini isu-isu berat yang butuh pemikiran, simulasi, dan aturan hukum yang kuat sehingga kita bisa memperbaiki kualitas pemilu ke arah yang lebih substantif,” tuturnya.

Anggota Komisi II DPR dari Fraksi PKB, Luqman Hakim, berharap, jika sampai jelang pelaksanaan Pemilu 2024 tidak terbuka kesempatan untuk merevisi UU Pemilu, terpaksa Komisi II DPR harus bisa meyakinkan Presiden Joko Widodo agar mengeluarkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang (perppu).

Perppu itu, menurut dia, terutama berkaitan dengan Pasal 383 di UU Pemilu, yang mengatur penghitungan suara harus selesai pada hari pemungutan suara.

”Karena kalau aturan ini tidak diubah, kita bisa membayangkan 2024 nanti, korban yang jatuh dari penyelenggara pemilu akan persis kayak kemarin, bisa bertambah jumlahnya. Dan, itu dosa kita semua kalau kita tidak mengubah (aturan) itu,” kata Luqman.

Alasan pandemi Covid-19, yang diungkapkan fraksi-fraksi partai koalisi di DPR sehingga menunda revisi UU Pemilu, tidak masuk akal. Sebab, Pilkada 2020 pun digelar pada Desember 2020 ketika negara ini masih dalam situasi pandemi.

Tak cukup PKPU

Peneliti Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Fadli Ramadhanil, pun berpandangan, alasan pandemi Covid-19, yang diungkapkan fraksi-fraksi partai koalisi di DPR sehingga menunda revisi UU Pemilu, tidak masuk akal. Sebab, Pilkada 2020 pun digelar pada Desember 2020 ketika negara ini masih dalam situasi pandemi.

Seharusnya, dari penyelenggaraan Pilkada 2020, pemerintah dan DPR berefleksi bahwa masih ada sejumlah aturan dalam UU Pemilu yang harus disempurnakan agar penyelenggaraan berjalan optimal dan aman dari penyebaran virus. Selain itu, revisi bertujuan untuk mengurangi beban kerja penyelenggara pemilu sehingga tragedi pada Pemilu 2019 tak terulang lagi.

Hal-hal yang perlu diatur dalam undang-undang, misal proses mekanisme pemberian suara, proses pemilih datang ke TPS dalam situasi pandemi, serta format kampanye yang lebih efektif dan efisien dalam situasi pandemi.

”Ini, kan, perlu dipikirkan dan harus dibahas secara terukur antara DPR dan pemerintah. Perubahan sikap itu semestinya didasarkan pada kepentingan publik karena publik menjadi cerminan dari DPR itu sendiri,” kata Fadli.

Ada sejumlah persoalan krusial yang tak cukup mengandalkan peraturan KPU (PKPU), misal kewenangan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu, relasi KPU dan Badan Pengawas Pemilu, pembentukan peradilan pemilu, serta penataan desain keserentakan pemilu.

Persoalan-persoalan tersebut, menurut Fadli, masih tergolong kecil. Ada sejumlah persoalan krusial yang tak cukup mengandalkan peraturan KPU (PKPU), misal kewenangan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu, relasi KPU dan Badan Pengawas Pemilu, pembentukan peradilan pemilu, serta penataan desain keserentakan pemilu. Sebab, jika semua diatur lewat PKPU, ia khawatir akan menimbulkan kerancuan dalam peraturan perundang-undangan.

”Itu tak mungkin diatur di PKPU karena materi tersebut harus dibuat selevel undang-undang. Kalau semua diatur di PKPU, akan banyak sekali pertentangan-pertentangan norma antara PKPU dan undang-undang. Tujuan diatur lewat undang-undang juga agar ada pembahasan yang luas melibatkan partisipasi masyarakat dapat persetujuan bersama antara DPR dan pemerintah,” tuturnya.

Ia juga tidak sependapat jika Presiden malah didorong mengeluarkan perppu. Sebab, ia meyakini, materi perppu tidak akan jauh berbeda dengan draf revisi UU Pemilu yang ingin dibahas.

”Kalau mau mengeluarkan perppu tetapi tidak mau membahas undang-undang, menurut saya aneh. Ini, kan, masih ada waktu sampai 2024, kenapa tidak dibahas saja bersama dari sekarang melalui revisi UU Pemilu,” katanya. (NIKOLAUS HARBOWO)

Dikliping dari artikel yang terbit di Kompas.ID https://www.kompas.id/baca/polhuk/2021/02/09/persoalan-krusial-penyelenggaraan-pemilu-tak-cukup-diatur-lewat-pkpu/