Pemilu 2024 dianggap memiliki banyak permasalahan yang justru datang dari penyelenggara pemilu, hal itu membuat proses pengawalan pemilu menjadi sulit dilakukan. Alhasil banyak kebijakan-kebijakan mengalami kemunduran yang menyebabkan proses pemilu tidak berjalan dengan demokratis. Masalah kemandirian penyelenggara pemilu dinilai menjadi akar persoalan pada Pemilu 2024.
“Sederhananya penyelenggara pemilu itu curang sejak dalam proses seleksi partai politik. Ini rekayasa besar-besaran sehingga pemilu kita punya banyak sekali problem,” kata Direktur Network for Democracy and Electoral Integrity (Netgrit), Hadar Nafis Gumay dalam acara launching Catatan Awal Tahun (Cawahu) Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), di Tebet, Jakarta Selatan, (14/1).
Dengan banyaknya catatan kecurangan, Hadar mengajak seluruh masyarakat untuk mengawal suara pemilih melalui platform pemantauan yang sudah banyak disediakan masyarakat sipil. Hal itu bisa dilakukan dengan kampanye di media sosial menyertakan foto formulir C1 (catatan pelaksanaan pemungutan dan penghitungan suara di TPS). Jika gerakan itu dilakukan serentak, menurutnya potensi manipulasi suara bisa diminimalisir.
“Jadi biarin, masak nggak kapok sih diteriaki terus dan tunjukkan datanya ramai-ramai, itu saya yakin bisa dilakukan untuk perbaikan pemilu,” imbuhnya.
Program Manager Perludem, Fadli Ramadhanil melihat gelagat ketidak profesional dan ketidak mandirian Komisi Pemilihan Umum (KPU) sudah dilakukan sejak proses awal pemilu. Pada banyak daerah proses verifikasi partai politik sudah banyak temuan partai politik yang tidak memenuhi syarat namun tetap diloloskan, kecurangan itu disebut-sebut melibatkan institusi KPU dari tingkat pusat hingga daerah.
Problem serius KPU juga terlihat dari ketidak kepatuhan KPU pada ketentuan dan putusan peradilan. Hal itu terlihat dari bagaimana KPU menyikapi putusan Mahkamah Konstitusi (MK) terkait calon legislatif (caleg) mantan narapidana, syarat usia calon presiden dan wakil presiden, serta putusan MK soal minimal keterwakilan caleg perempuan di setiap dapil.
“Bahkan itu sudah dilaporkan secara etik ke Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilihan Umum (DKPP), namun ternyata DKPP bukan solusi, tapi bagian dari masalahnya,” terang Fadli.
Fadli menilai kredibilitas juga DKPP perlu dipertanyakan karena banyak keputusan yang dikeluarkan tidak mampu menjaga keluhuran etik penyelenggara pemilu. Ia memandang DKPP tidak bisa mengembalikan kepercayaan publik terhadap penyelenggara pemilu, padahal di tengah bermasalahnya penyelenggara pemilu peran dewan etik begitu penting.
“Nah di tengah itu, kita juga dihadapkan Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) yang sangat lemah. Padahal jika dilihat kerangka hukumnya itu sudah lebih dari cukup, namun pelanggaran pemilu yang bisa kita lihat hampir tidak ada respon yang memadai dari Bawaslu,” ucapnya. []