Para calon petahana yang melakukan mutasi jabatan aparatur sipil negara (ASN) jelang berlangsungnya Pilkada seharusnya bisa didiskualifikasi. Dosen Hukum Universitas Indonesia, Titi Anggraini mengatakan birokrasi harus netral, dan tak boleh dipolitisasi, atau berpolitik praktis. Ia menegaskan, calon petahana tak boleh melakukan penggantian atau mutasi jabatan ASN hingga masa akhir jabatannya.
“Pilkada adalah pemilu. Tak ada pembedaan pilkada dan pemilu, karena itu, harus patuh pada asas luber jurdil, demokratis,” kata Titi dalam dialog publik dengan tema “Fenomena Kepala Daerah Incumbent Melakukan Mutasi Jabatan Menjelang Pilkada 2024: Telaah Terhadap Netralitas Birokrasi dan Implikasi pada Sistem Demokrasi”, Jumat (4/10).
Titi menyebut, pilkada adalah pemilu yang harus tunduk pada undang-undang serta patuh pada asas langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil. Dengan begitu, pemilu menjadi bermakna dan tidak sekadar simbolik serta seremoni belaka.
Hal senada disampaikan ahli Hukum Tata Negara yang juga mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK), Hamdan Zoelva. Menurutnya, ada ancaman serius terhadap demokrasi jika ada petahana yang melakukan mutasi seperti ini. Ia mencontohkan apa yang pernah ditanganinya sewaktu menjabat Ketua MK. Di Pilkada 2009, ia mendapat banyak temuan hasil pilkada yang akhirnya dibatalkan karena petahana memanfaatkan sumber daya yang dimiliki untuk memenangkan dirinya.
“Kekuatan incumbent memiliki ruang besar untuk memanfaatkan jabatan, memanfaatkan birokrasi, memanfaatkan kebijakan, seperti bansos. Pernah bupati memutasi lebih dari 10 camat. Camat datang ke MK dan protes. MK memutuskan ini membahayakan demokrasi, merusak demokrasi dengan mamanfaatkan jabatan untuk kepentingan dirinya,” kata Hamdan.
Sebagai informasi, Pilkada Serentak 2024 yang digelar pada 27 November 2024, di 37 provinsi dan 508 kabupaten kota, akan banyak para calon petahana yang kembali maju untuk periode keduanya. Situasi ini berpotensi memunculkan persoalan netralitas aparatur pemerintahan daerah, pemanfaatan sumber daya negara, dan penyalahgunaan kewenangan oleh calon petahana selama masa kampanye. []