August 8, 2024

PHPU Pilpres Rekomendasikan Perbaikan Sistem Kepemiluan

Proses perselisihan hasil pemilihan umum presiden dan wakil presiden (PHPU Pilpres) 2024 telah rampung setelah Mahkamah Konstitusi (MK) membacakan putusan No.1/PHPU.PRES-XXII/2024 dan No.2/PHPU.PRES-XXII/2024. Perkara yang dimohonkan Anies Rasyid Baswedan-Muhaimin Iskandar dan Ganjar Pranowo-Moch Mahfud MD itu kandas lantaran tak ada satu pun dalil para pemohon yang dikabulkan Mahkamah.

Kuasa hukum paslon Anies-Muhaimin, Bambang Widjojanto mengatakan, dalam putusan PHPU ketiga hakim yang menyatakan berbeda pendapat atau dissenting opinion sedang menuliskan sejarah peradaban demokrasi di Indonesia. Ia menilai dissenting opinion yang disampaikan mendukung beberapa dalil yang diajukan pemohon. Ketiga tersebut adalah Saldi Isra, Enny Nurbaningsih, dan Arief Hidayat.

Dalam dissenting-nya Saldi Isra yang menyatakan perlu adanya pemungutan suara ulang di beberapa daerah yang dianggap telah terjadi ketidaknetralan aparat dan politisasi bansos. Hakim lain, Enny meyakini telah terjadi ketidaknetralan pejabat yang berkelindan dengan pemberian bansos di beberapa daerah. Sementara Arief Hidayat menyebut terdapat dugaan intervensi kuat dari kekuasaan eksekutif di Pilpres 2024.

“Ini makin mendewasakan mahkamah, dari satu sisis harus dipandang sebagai hal positif karena bisa memberikan cakrawala pemikiran yang berbeda, dan perbedaan itu adalah rahmat,” kata Bambang Widjojanto dalam Bedah Putusan PHPU Pilpres yang digelar Padekha UGM (23/4).

Selain itu ia juga menyoroti proses hukum yang belum sepenuhnya substansial, ia menilai MK terlalu mengaitkan PHPU Pilpres dengan perolehan suara, padahal dalam kasus PHPU Pilkada Mk sudah mulai menggunakan hukum yang substantif tidak berdasar angka-angka. Menurutnya hal itu menunjukkan kompleksitas menjalankan proses pemilihan yang adil dan transparan.

Hal senada juga disampaikan oleh kuasa hukum paslon Ganjar-Mahfud, Annisa Ismail menilai MK tidak konsisten dalam menerapkan keadilan hukum yang substantif. Sehingga Ia menyebut, dalam proses PHPU Pilpres, beban pembuktian lebih banyak ditujukan pada pemohon, padahal termohon juga menjadi pihak yang terlibat dalam perselisihan pemilu. Sementara menurutnya, standar pembuktian yang diinginkan MK juga terlampau mustahil untuk dilakukan mengingat terbatasnya saksi dan ahli yang dihadirkan.

“Maka pentingnya evaluasi terhadap proses hukum dan demokrasi untuk memastikan keadilan dan keberlangsungan demokrasi yang sehat,” ujar Annisa.

Sementara kuasa hukum Prabowo-Gibran, Otto Hasibuan mengatakan, sesungguhnya MK telah mengakomodir dan menerima permohonan yang diminta paslon 01 dan 03, meskipun hasilnya tetap menyatakan tuduhan tidak terbukti secara hukum. Ia menilai, gugatan dari pemohon tidak didasarkan pada PHPU, melainkan pada kecurangan dan pelanggaran administratif pemilu. Padahal secara formal menurut undang-undang pemilu pelanggaran administrasi diselesaikan melalui Bawaslu bukan di MK.

“Kita harus menghormati semua pendapat dari para hakim MK, kenyataannya baik perkara PHPU tahun 2019 juga diputuskan hal yang sama,” kata Otto.

Lebih lanjut, menurut Otto kepastian hukum dan keadilan yang bermanfaat hanya bisa dicapai jika hukum acara dijalankan dengan konsisten. Ia juga mencatat agar hukum acara di MK memberi kepastian hukum, khususnya terkait dengan prosedur beracara, menurutnya hukum materil bisa ditegakkan dengan baik jika hukum acara dilaksanakan dengan konsisten.

Merespon hasil PHPU Pilpres tersebut, pakar hukum tata negara Universitas Gadjah Mada, Zainal Arifin Mochtar menyebut hukum acara PHPU Pilpres perlu banyak perbaikan, karena belum memadai untuk menyelesaikan penegakan hukum kepemiluan. Ia menyoroti batas waktu 14 hari kerja yang dinilai tak ideal untuk membuktikan dalil permohonan, sehingga pembuktian dan saksi yang dihadirkan hanya terbatas.

“Saya kira itu kelemahan yang mendasar dari hukum acara yang tidak rapi. Termasuk proses pembuktian, kalau pembuktian adalah hal yang mustahil dibuktikan,” ucapnya.

Dia juga menyoroti perbedaan pendekatan formalistis dan substansif secara tidak konsisten. Zainal menilai pendekatan hakim dalam dissenting lebih progresif karena terdapat penjelasan lebih lanjut adanya pelanggaran prinsip moralitas. Melalui dissenting opinion ketiga hakim, ia mencatat perlu banyak sekali perbaikan terhadap sistem kepemiluan, rekapitulasi, Bawaslu dan pengawasan netralitas presiden.

Selain itu Zainal juga menekankan pentingnya oposisi, ia memandang dalam sistem pemilu dan demokrasi yang tidak memberi intensif elektoral pada oposisi tawaran untuk bergabung dengan pemerintahan gampang sekali diterima. Padahal menurutnya, semakin banyak partai oposisi akan membuat demokrasi lebih sehat dan hidup.

“Mari kita ajak, partai-partai yang mau menjadi oposisi mari kita dukung di pilkada maupun pilpres selanjutnya,” pungkasnya.

Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Khoirunnisa Nur Agustyati memandang MK selalu mengaitkan putusan dengan signifikansi perolehan suara dan pelanggaran terstruktur, sistematis, dan masif (TSM). Ia juga menegaskan pendapat berbeda ketiga hakim sebagai rekomendasi perbaikan sistem kepemiluan selanjutnya, khususnya pengawasan yang dilakukan Bawaslu.

“MK mengatakan bahwa Bawaslu tidak cukup kuat menindak laporan-laporan pelanggaran pemilu baik dilakukan sebelum, selama dan setelah masa kampanye,” kata Ninis.

Ninis juga mengingatkan, catatan dari MK sudah harus diterapkan dalam Pemilu Kepala Daerah (Pilkada) mendatang. Aturan tata kelola penyaluran bansos, keterlibatan aparat, dan praktik nepotisme harus menjadi perhatian bagi penyelenggara pemilu di Pilkada November nanti. []