Pemilu 2024 mendatang menjadi momentum untuk memilih calon presiden yang bisa melindungi kebebasan sipil. Pemilu serentak ini pun merupakan momen untuk memilih calon anggota legislatif yang mendukung legislasi dan penyerapan aspirasi yang menjaga kebebasan sipil. Sejumlah kasus menunjukan berkurangnya kebebasan sipil disebabkan oleh pejabat negara melalui jalur konstitusional yang harapannya tidak dilakukan oleh pejabat negara terpilih dari Pemilu 2024.
“Dalam komponen kebebasan sipil, perlunya kita menilai dan memutuskan calon-calon pejabat publik yang akan kita pilih nanti memiliki komitmen untuk menghindari demokrasi Indonesia jatuh dalam ekosistem otokrasi model baru,” kata peneliti Departemen Politik dan Perubahan Sosial Centre for Strategic and International Studies (CSIS), Nicky Fahrizal dalam diskusi “Update Politik Nasional: Pemilu 2024, Peta Kompetisi Partai, dan Situasi Keamanan di Papua,” di Auditorium CSIS, Jakarta Pusat (25/9).
Ia menyebut kebebasan berpendapat belum berjalan dengan baik. Masih banyak permasalahan dalam kebebasan akademik, mendapatkan akses informasi dan jaminan perlindungan informasi pribadi.
“Dalam komponen kebebasan sipil, perlunya kita menilai dan memutuskan calon-calon pejabat publik yang akan kita pilih nanti memiliki komitmen untuk menghindari demokrasi Indonesia jatuh dalam ekosistem otokrasi model baru. Gejala-gejala ini sudah mulai terasa dalam konteks demokrasi konstitusional hari ini,” kata Nicky.
Lebih lanjut, Nicky menerangkan, pembatasan kebebasan sipil itu menggunakan instrumen hukum yang sah, menetapkan regulasi hukum yang membatasi masyarakat sipil, dan menggunakan serangan cyber terhadap kelompok oposisi dan kelompok kritis. Meskipun secara konstitusional kebebasan sipil sudah dijamin secara kuat dalam konstitusi, akan tetapi dalam implementasinya beberapa kebebasannya tidak dilaksanakan dengan baik.
“Pada pemilu 2024 kita berupaya memastikan bahwa gejala ini tidak semakin kuat, dengan memilih pemimpin yang memiliki komitmen terhadap demokrasi konstitusional dan komitmen kuat terhadap budaya politik yang sehat,” ujarnya.
Selain itu, Nicky menambahkan, Pemilu Legislatif (Pileg) yang berkualitas akan menentukan sejauh mana parlemen atau DPR merepresentasikan aspirasi masyarakat. Karena parlemen yang sehat dan berkualitas akan menjalankan fungsi pengawasan terhadap pemerintah dan membahas rancangan undang-undang dengan baik.
Menurutnya, ada kecenderungan harusnya menjadi isu politik akan tetapi menjadi isu hukum. Sehingga banyak undang-undang yang diajukan ke Mahkamah Konstitusi (MK) yang sebenarnya adalah isu politik. Nicky memberi contoh soal batasan umur Capres atau Cawapres.
“MK harusnya membahas isu hukum konstitusionalitas tetapi membahas isu politik yang seharusnya menjadi perdebatan di parlemen. Jadi MK ditarik untuk membahas isu politik, sehingga konstitusi kerap kali memiliki potensi terkooptasi oleh kekuasaan,” pungkasnya. []