August 8, 2024

Pilkada 2020 dalam Kenormalan yang Tidak Normal

Sebelumnya, dalam rapat dengar pendapat (RDP) Kamis (11/6/2020), DPR bersama Menkeu dan Mendagri menyetujui usulan penambahan anggaran untuk KPU, Bawaslu, dan DKPP untuk penyelenggaraan Pilkada 2020. KPU kemudian mengajukan tambahan anggaran sebesar Rp 4,7 triliun, DKPP sebesar Rp 39 miliar, dan Bawaslu sebesar Rp 478 miliar.

Dalam rangka menjamin pelaksanaan Pilkada Serentak 2020 yang semua tahapan harus berpedoman pada protokol kesehatan Covid-19, Komisi II DPR RI bersama Mendagri, Menkeu, KPU RI, Bawaslu RI, DKPP RI, dan kepala BNPB/kepala Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 menyetujui usulan kebutuhan tambahan anggaran untuk KPU, Bawaslu, dan DKPP terkait penyelenggaraan tahapan lanjutan Pilkada 2020 yang akan didukung dengan anggaran yang bersumber dari APBN dengan memperhatikan kemampuan APBD masing-masing daerah.

Agak mencengangkan ketika Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU) Arief Budiman mengatakan, hingga hari ini tambahan anggaran untuk Pilkada 2020 belum dicairkan. Sampai tanggal 24 Juni pun anggaran belum bisa dicairkan. Akibat belum cairnya tambahan anggaran tersebut, tahapan verifikasi faktual dukungan calon kepala daerah perseorangan digeser dari 18 Juni ke 24 Juni.

Fiskal daerah

Kapasitas fiskal daerah yang tertekan akibat pandemi Covid-19 membuat banyak pemerintah daerah belum bisa memenuhi kebutuhan anggaran Pilkada 2020. Sementara kucuran dana dari pemerintah pusat juga belum diterima penyelenggara pemilu. Pemerintah diminta segera mengatasi problem anggaran itu. Terlebih sejak 15 Juni lalu, tahapan pemilihan lanjutan telah dimulai.

Mengacu Peraturan Menteri Dalam Negeri (Permendagri) Nomor 41 Tahun 2020 tentang Pendanaan Kegiatan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) yang Bersumber dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD), pencairan anggaran pilkada tahap pertama, paling sedikit 40 persen dari nilai naskah perjanjian hibah daerah (NPHD), harus dicairkan paling lama 14 hari kerja setelah penandatanganan NPHD. NPHD di total 270 daerah yang menggelar Pilkada 2020 telah ditandatangani Oktober 2019.

Adapun tahap kedua, paling sedikit 60 persen dari NPHD, paling lama lima bulan sebelum hari pemungutan suara Pilkada 2020. Dengan pemungutan suara diputuskan 9 Desember 2020, tenggat pencairan 9 Juli 2020.

Namun, berdasarkan data Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri), per 24 Juni 2020 masih ada 32 pemda yang nilai transfernya ke KPU belum 40 persen. Adapun untuk Bawaslu masih ada 30 pemda.

Sekalipun sadar akan kondisi yang dihadapi Pemda harusnya Kemendagri mengingatkan Pemda bahwa pilkada termasuk kebijakan strategis atau prioritas nasional. Mengacu pada UU Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah, jika Pemda tak turut menyukseskan agenda prioritas nasional, bisa dijatuhi sanksi. Di Pasal 68 UU Pemda disebutkan, kepala daerah yang tidak mengikuti program strategis nasional dapat dikenai sanksi, mulai dari teguran tertulis hingga pemberhentian.

Padahal kita ketahui bersama bahwa suda mulai tahapan verifikasi calon perseorangan Pilkada 2020 yang harusnya terjadwal  pada 24-29 Juni. Bakal berlangsung dalam keterbatasan perlengkapan kesehatan guna memenuhi protokol kesehatan Covid-19. Risiko penularan Covid-19 mesti diawasi, terutama di sebagian daerah yang memiliki tingkat kerawanan tinggi.

Keterbatasan itu menyusul belum cairnya tambahan anggaran untuk pemenuhan perlengkapan kesehatan. Pada saat yang sama, Peraturan KPU nomor 5 tahun 2020 yang mengharuskan mengatur protokol penyelenggaraan pilkada dalam kondisi bencana nonalam Covid-19 harus du terapkan dalam semua tahapan berlangsung.

Indeks kerawanan pemilu

Bawaslu kembali meluncurkan IKP Pilkada 2020 mutakhir per Juni 2020, terdapat 27 kabupaten/kota yang terindikasi rawan tinggi dalam konteks pandemi. 20 daerah dengan kerawanan tertinggi dalam konteks pandemi adalah Kota Makassar, Kabupaten Bone Bolango, Kabupaten Bulungan, Kabupaten Karawang, Kota Manado, Kabupaten Minahasa Utara, Kota Tomohon, dan Kabupaten Gowa. Kemudian Kabupaten Sijunjung, Kota Sungai Penuh, Kabupaten Tasikmalaya, Kabupaten Lamongan, Kabupaten Kotawaringin Timur, Kota Banjarbaru, Kota Ternate, Kota Depok, dan Kota Tangerang Selatan. Selanjutnya Kota Semarang, Kabupaten Bantul, dan Kabupaten Melawi.

Selain itu, 146 kabupaten/kota terindikasi rawan sedang dalam konteks pandemi dan 88 kabupaten kota ada dalam titik rawan rendah. Aspek yang diukur dalam konteks pandemi adalah anggaran pilkada terkait Covid-19, data terkait Covid-19, dukungan pemerintah daerah, resistensi masyarakat terhadap penyelenggaraan pilkada, dan hambatan pengawasan pemilu akibat wabah Covid-19.

Artinya dari rangkain persoalan di atas Bawaslu sudah memitigasi persolan yang harus segera mendapatkan perhatian yang serius dari pemerintah. Banyak pihak berpandangan bahwa kondisi ini tidak normal mulai dari keterbatasan anggaran, deadline, pelaksanaan pilkada yang selalu mengalami perubahan dari jadwal pelaksanaannya serta persoalan Covid 19 yang makin hari makin memperihatinkan. Jangan sampai pelaksanaan Pilkada 2020 dengan ketererbatasan APD menjadi klaster baru bagi pemyelenggara dan peserta pemilu karena tidak menerapkan protokel kesehatan Covid -19.

Situasi ini harus menjadi alarem pemerintah dan para pemangku kepentingan untuk mempertimbangkan kembali pelaksanaan Pilkada 2020 di tengah pandemic. Pilkada bukan hanya prosedural semata lima tahunan. Semua aspek harus menjadi pertimbangan yang matang. []

NASARUDIN SILI LULI

Pegiat Kebangsaan dan Kenegaraan