November 28, 2024

Pilkada 2024: Eksploitasi Data Pribadi dan Ancaman Demokrasi Digital di Tengah Maraknya Hoaks di Media Sosial

Gangguan terhadap hak-hak digital diperkirakan akan semakin massif menjelang Pilkada 2024, terlebih saat memasuki masa kampanye. Ekspolitasi data pribadi untuk keperluan kampanye politik menjadi salah satu gangguan yang mengancam demokrasi digital. Dalam gelaran pilkada kasus-kasus pada ranah digital terkait dengan UU 27/2022 Tentang Perlidungan Data Pribadi (PDP), UU 1/2024 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE), dan UU 14/2008 Tentang Keterbukaan Informasi Publik (KIP).

“Data pribadi yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu (UU Pemilu) juga berkaitan dengan sektor lain, seperti administrasi kependudukan dan imigrasi. Karena data yang diproses oleh penyelenggara pemilu juga mencakup data kependudukan seperti NIK, nomor kartu keluarga, tempat tanggal lahir, alamat, nomor paspor, hingga status disabilitas,” kata Program Manager Southeast Asia Freedom of Expression Network (SAFEnet), Unggul Sagena dalam Diskusi bertajuk “Potensi Gangguan Informasi di Pilkada dan Pentingnya Kolaborasi di Tingkat Lokal” di Cikini, Jakarta Pusat (27/9).

Unggul menyebut, data kependudukan Ditjen Dukcapil Kemendagri merupakan basis data untuk menyusun Daftar Penduduk Potensial Pemilih Pemilihan (DP4) di Pemilu maupun Pilkada. Menurutnya, dalam penggunaan data tersebut terdapat prinsip zero sharing policy (kebijakan yang melarang lembaga pengguna untuk membagikan data kependudukan ke lembaga lain) dari KPU, untuk semua data yang didapatkan dari Disdukcapil.

“Menurut UU PDP, data pribadi itu mencakup keduanya, baik melalui sistem elektronik atau juga non elektronik. Kertas-kertas yang petugas KPU bawa waktu verifikasi ke rumah kita merupakan data pribadi juga, asalkan di dalamnya mengandung data-data diri kita,” jelasnya.

Mengenai pengendalian data pemilu, Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) merupakan badan publik atau penyelenggara negara di bidang kepemiluan yang menentukan tujuan dan kendali pemrosesan data pribadi. Unggul menjelaskan, salah satu tugas KPU adalah penyusunan dan memutakhirkan data pemilih serta membuat daftar pemilih, selain itu KPU juga menjadi pengendali data peserta pemilu yakni partai politik dan data calon.

Kemudian mengenai pengawasan PDP pada pemilu, Unggul menerangkan bahwa selain Kementerian Komunikasi dan Informasi (Kominfo), BSSN, dan Kepolisian, pengawasan pelindungan data pribadi juga dilakukan oleh Bawaslu. Lembaga-lembaga tersebut memiliki tugas merumuskan dan menetapkan kebijakan strategi PDP, pengawasan terhadap penyelenggaraan PDP, dan penegakan hukum administratif terhadap pelanggaran UU PDP.

“Berdasarkan ketentuan Pasal 93, Pasal 97, Pasal 180, Pasal 219, Pasal 239, Pasal 251 dan Pasal 261 UU Pemilu, Bawaslu memiliki tugas dan kewajiban melakukan pengawasan atas pelaksanaan verifikasi peserta pemilu dan kelengkapan administrasi,” jelasnya.

Namun Unggul juga mengingatkan, platform digital juga patut menjadi perhatian, karena dalam pemilu media sosial juga menjadi lahan pertarungan kandidat. Ia menyebut, seringkali partai politik menggunakan data-data dari medsos melalui ”micro targeting” untuk membuat profil pemilih dan acuan dalam menentukan strategi kampanye.

“Di situ potensi eksploitasi dan penyalahgunaan data khususnya saat tahapan kampanye yang melibatkan proses pengumpulan, penyimpanan, dan analisis data pribadi pemilih,” imbuhnya.

Tantangan Pengawasan dan Perlindungan Hak Digital

Sementara itu mengenai kampanye di media sosial, Tenaga Ahli Bawaslu, Iji Jaelani mengatakan, pengawasan kampanye media sosial di pilkada masih kurang terakomodasi. Menurutnya, regulasi pengawasan tidak memberikan ruang yang optimal untuk melakukan monitoring terhadap pelanggaran kampanye yang terjadi. Iji menyebut, objek pengawasan pelanggaran adalah penyelenggara, peserta, maupun pemilih.

“Namun, dalam konteks kampanye, pemilih itu menjadi lepas dari perhatian, padahal pemilih bisa menjadi bagian dari penyebaran disinformasi. Artinya, ini memang problem di sisi regulasi. Bawaslu sebagai penyelenggara pemilu tidak bisa keluar dari ruang itu,” jelas Iji.

Terlebih menurutnya, regulasi kampanye di media sosial sangat normatif yakni, dilakukan pada masa kampanye, dengan maksimal 20 akun yang didaftarkan dan ketika tidak diatur, perspektifnya adalah tidak dilarang. Hal yang menyulitkan lagi adalah dalam Peraturan KPU (PKPU) Kampanye Pilkada, tidak ada yang terkait dengan citra diri. Padahal dalam pilpres dan pileg ketika seseorang menampilkan citra diri, sudah diartikan sebagai kampanye.

“Sekarang, dalam regulasi pilkada, citra diri tidak masuk dalam definisi kampanye,” imbuhnya.

Lebih lanjut, Iji menyebut kerawanan dan potensi pelanggaran kampanye di media sosial adalah akun-akun yang tidak terdaftar. Akun-akun tersebut bisa mengganggu keamanan, konteks sosial-politik, atau bahkan melanggar undang-undang lain. Selain itu, kampanye hitam dan penyebaran berita bohong juga menjadi kerawanan utama dan konsentrasi pengawasan Bawaslu.

“Bawaslu sangat terbuka jika ada kolaborasi-kolaborasi yang dapat dilakukan, termasuk identifikasi akun-akun yang melanggar, melalui aduan, patroli pengawasan, ataupun penelusuran. Patroli pengawasan dilakukan bekerja sama dengan Kominfo, di mana data terkait apakah suatu akun melanggar atau tidak, disuplai oleh mereka,” ujarnya.

Lonjakan Hoaks Memperkeruh Disinformasi Pemilu

Sepanjang tahun 2023 Litbang Masyarakat Antifitnah Indonesia (Mafindo) menemukan 2330 hoaks dengan hoaks politik sebanyak 1292. Angka tersebut juga mengalami peningkatan dari tahun ke tahun sejak tahun 2018. Sementara pada tahun 2024 angka temuan hoaks pada semester pertama, sejak Januari-Juni sudah mencapai 2.119 mendekati seluruh temuan sepanjang tahun 2023.

“Peningkatan drastis itu kemungkinan besar dipicu oleh momentum politik seputar Pilpres dan Pilkada 2024, yang menjadi periode rawan disinformasi,” jelas Partnership Tular Nalar Mafindo Jakarta, Erie Heriyah.

Erie juga menyebut lonjakan temuan itu juga berarti adanya indikasi pemantauan dan deteksi hoaks semakin baik, dengan lebih banyaknya hoaks yang teridentifikasi lebih cepat dibanding tahun-tahun sebelumnya. Namun juga dapat berarti adanya potensi resiko yang lebih tinggi terhadap stabilitas sosial dan proses demokrasi dibanding tahun-tahun sebelumnya.

Lebih lanjut Erie menjelaskan, proses pemilu yang paling banyak diangkat menjadi hoaks adalah masa kampanye (19,9%), sengketa pemilu (8,8%), dan penghitungan suara (7,8%). Namun sebenarnya angka hoaks tertinggi cenderung membahas pemilu secara umum (26,6%) dan lain-lain sebanyak (15,8%).

“Hoaks yang membahas pemilu secara umum menunjukkan bahwa disinformasi tidak hanya terbatas pada tahapan spesifik, tetapi mencangkup narasi luas yang berupaya mempengaruhi presepsi publik terhadap keseluruhan proses pemilu,” terangnya.

Sementara saluran penyebaran hoaks pemilu secara umum beredar di Facebook, namun hoaks pemilu sepanjang semester 1 2024 paling banyak ditemukan di TikTok (26,7%), diikuti oleh YouTube (25,4%), Facebook (23,7%), Twitter (12,8%), dan WhatsApp (5,2%). Erie menyebut peralihan hoaks ke platform berbasis video, dominasi TikTok dan YouTube dalam penyebaran hoaks pemilu menunjukkan semakin populernya platform berbasis video sebagai saluran penyebar informasi politik.

“Popularitas TikTok di kalangan Gen Z dan milenial, yang merupakan pemilih pemula dengan porsi terbesar dalam Pemilu 2024, menjadikan saluran kunci untuk penyebaran hoaks, menyoroti kebutuhan untuk fokus pada platform ini dalam strategi mitigasi disinformasi,” jelas Erie.

Kemudian Peneliti Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Annisa Alfath menjelaskan, sejauh ini langkah baik yang dilakukan Koalisi Lawan Disinformasi yang terdiri dari 19 organisasi masyarakat sipil. Koalisi itu melakukan berbagai upaya, seperti edukasi kepada pemilih agar tidak mudah terjebak hoaks, pre-bunking dan debunking serta cek fakta.

Selain itu, ada juga moderasi konten yang dilakukan oleh masyarakat sipil bekerja sama dengan platform media sosial. Platform memberikan kanal khusus kepada koalisi untuk melaporkan konten yang diduga disinformasi, untuk kemudian platform akan merespons dengan tindakan seperti men-take down konten atau akun yang menyebarkan hoaks.

“Koalisi Lawan Disinformasi juga sering melakukan diskusi dengan penyelenggara pemilu dan platform media sosial untuk merumuskan kolaborasi dalam melawan disinformasi. Kolaborasi ini penting karena jika berjalan sendiri-sendiri, upaya melawan disinformasi akan lebih berat,” ucap Annisa.

Selain itu Perludem juga melakukan pelatihan pemantauan kepada mahasiswa di daerah-daerah, karena dinilai lebih paham teknologi digital. Melalui itu diharapkan mahasiswa dapat berperan aktif dalam pelaporan disinformasi serta edukasi politik dan berkontribusi mengurangi penyebaran hoaks. []