August 8, 2024

Pilkada Berada di Tengah Ketidakpastian

Hingga kemarin, tambahan anggaran pilkada lanjutan belum diterima penyelenggara pemilu. Pembahasan draf PKPU yang jadi payung hukum protokol kesehatan Covid-19 di tiap tahapan juga ditunda Komisi II DPR.

Tahapan lanjutan pilkada serentak 2020 sudah berjalan tiga hari pada Rabu (17/6/2020), tetapi pelaksanaannya masih diselimuti ketidakpastian, seperti masalah anggaran tambahan dan regulasi. Hal ini dinilai sebagai bentuk ketidakseriusan pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat dalam mendukung pelaksanaan pilkada aman dan berkualitas.

Tahapan Pilkada 2020 di 270 daerah kembali bergulir, 15 Juni, di tengah belum berakhirnya pandemi Covid-19. Guna menjamin tahapan berjalan sesuai protokol kesehatan Covid-19, Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) mengajukan tambahan anggaran Rp 5,2 triliun.

Dalam rapat pemerintah bersama Komisi II DPR dan penyelenggara pemilu, muncul kesepakatan komitmen realisasi tambahan Rp 1,02 triliun. Sementara itu, realisasi untuk anggaran tahap selanjutnya akan dibicarakan selambat-lambatnya 17 Juni.

”Sampai malam ini belum tersedia. Masih ada proses administrasi yang agak rumit. Kemungkinan paling cepat besok baru bisa revisi DIPA (daftar isian pelaksanaan anggaran) karena tambahan anggaran disetujui Kementerian Keuangan. Kalau sudah revisi, anggaran baru bisa digunakan,” kata anggota KPU, Pramono Ubaid Tanthowi, Rabu (17/6/2020) malam.

Anggota Bawaslu, Fritz Edward Siregar, pun mengatakan, tambahan anggaran bagi Bawaslu belum juga dicairkan. Bawaslu membutuhkan tambahan Rp 478,9 miliar.

Menurut dia, sementara Bawaslu menggunakan anggaran internal untuk menyiapkan perlengkapan guna memenuhi protokol kesehatan Covid-19. Ini terutama untuk tahapan verifikasi faktual dukungan bakal calon perseorangan yang dimulai 24 Juni.

Pembahasan tertunda

Rencana KPU mengonsultasikan Peraturan KPU (PKPU) tentang Pilkada dalam Kondisi Bencana Non-alam Covid-19 juga tertunda. Komisi II DPR semula menjadwalkan rapat dengar pendapat (RDP) konsultasi PKPU itu pada 16 Juni, kemudian menundanya jadi 17 Juni. Setelah itu, Komisi II DPR menunda lagi RDP itu jadi 22 Juni atau dua hari sebelum tahapan verifikasi faktual dukungan bakal calon perseorangan.

Wakil Ketua Komisi II DPR dari Fraksi Nasdem Saan Mustopa mengatakan, RDP dengan KPU terkait dengan PKPU Pilkada dalam Kondisi Bencana Non-alam baru bisa dilakukan Senin depan. Komisi II berupaya mengadakan rapat konsultasi Rabu ini, tetapi izin dari pimpinan DPR belum turun.

Menurut Saan, rapat konsultasi pada Senin pekan depan itu tidak akan berlama-lama dan langsung membahas pokok persoalan serta memberi persetujuan. Draf PKPU itu juga telah disampaikan ke Komisi II DPR sehingga tak akan butuh waktu lama untuk pembahasan. Dia yakin penyelenggaraan tahapan tak akan terkendala.

Terkait hal itu, peneliti Network for Democracy and Electoral Integrity, Hadar Nafis Gumay, mengatakan, penundaan itu menunjukkan ketidakseriusan DPR mendukung penyelenggaraan pilkada pada masa pandemi Covid-19. Sebab, salah satu syarat utama pilkada di masa pandemi adalah setiap tahapan memperhatikan protokol kesehatan.

Tata cara protokol kesehatan dalam pilkada dapat dilakukan dengan optimal jika ada landasan hukum yang jelas mengatur hal itu. Namun, PKPU itu belum bisa diundangkan karena belum dikonsultasikan dengan DPR dan pemerintah.

”Seolah-olah mereka hanya aktif di awal-awal karena punya intensi untuk tetap dilaksanakannya pilkada pada Desember. Tetapi, begitu tahapan dijalankan, mereka lepas saja. Ini menjadi problem bagi penyelenggara pemilu karena anggaran juga belum dicairkan pemerintah,” katanya.

Peneliti Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi, Fadli Ramadhanil, menilai, pilkada di tengah pandemi disiapkan dengan terburu-buru dan tidak berada dalam kerangka hukum yang cukup. Penundaan rapat konsultasi PKPU dengan DPR menguatkan indikasi dari ketidaksiapan penyelenggaraan pilkada di tengah pandemi.

Seolah-olah mereka hanya aktif di awal-awal karena punya intensi untuk tetap dilaksanakannya pilkada pada Desember. Tetapi, begitu tahapan dijalankan, mereka lepas saja. Ini menjadi problem bagi penyelenggara pemilu karena anggaran juga belum dicairkan pemerintah

Program padat karya

Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian dalam konferensi pers secara virtual mengatakan, penyelenggaraan pilkada pada 9 Desember 2020 berimbas pada penambahan anggaran Rp 5,2 triliun untuk 270 daerah. Penambahan anggaran ini disebabkan bertambahnya jumlah tempat pemungutan suara dari 276.000 TPS menjadi 304.000 TPS dan perlunya penyediaan alat pelindung diri bagi petugas di lapangan.

Tito melihat penambahan jumlah TPS sekaligus menjadi program padat karya. Akan ada jutaan orang mendapatkan insentif sebagai anggota Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS). Ini belum termasuk Panitia Pemilihan Kecamatan ataupun Panitia Pengawas Lapangan.

”Artinya, riil ini program padat karya, seperti memberikan bantuan kepada petugas-petugas di bawah, tetapi bekerja dulu selama enam bulan mulai Juni sampai Desember,” ujar Tito.

Kemarin, Bawaslu dan Komisi Aparatur Sipil Negara menandatangani perjanjian kerja sama terkait pengawasan netralitas ASN dalam pilkada. Ketua Bawaslu Abhan mengatakan, kerja sama itu meliputi pertukaran data dan informasi, pencegahan, pengawasan, penindakan, dan pengawasan tindak lanjut rekomendasi. (RINI KUSTIASIH/ NINA SUSILO/INGKI RINALDI/LAKSANA AGUNG SAPUTRA)

Dikliping dari artikel yang terbit di harian Kompas edisi 18 Juni 2020 di halaman 2 dengan judul “Pilkada di Tengah Ketidakpastian” . https://kompas.id/baca/polhuk/2020/06/18/pilkada-di-tengah-ketidakpastian/