November 15, 2024

Pilkada Berselimut Pandemi dan Ketidakpastian

Pelaksanaan Pilkada 2020 dipaksakan untuk terselenggara pada Desember 2020. Meskipun persiapannya terengah-engah, tekad bulat dari DPR, Pemerintah, dan KPU untuk melanjutkan tahapan pilkada sepertinya semakin meninggi. Padahal, persiapan melanjutkan tahapan pilkada, apalagi dilakukan ditengah pandemi, tidak bisa hanya mengedepankan kebulatan tekad, semangat, dan keyakinan hati saja. Ada banyak apsek yang penting untuk diperhitungkan secara cermat dan teliti. Ketersediaan perangkat hukum, dukungan anggaran yang cukup, jaminan kesehatan bagi setiap warga negara, serta kondisi sosial psikologis masyarakat yang sedang berada dibawah bayang-bayang pandemi mesti menjadi faktor dominan yang dipertimbangkan.

Dan benar saja. Persiapan untuk melanjutkan pilkada masih jauh dari maksimal. Kerangka hukumnya di level undang-undang tidak ada. Kebutuhan terhadap anggaran naik berkali lipat. Tetapi, anggaran yang besar itu belum bisa dipastikan juga akan bersumber dari mana. Paling tidak kondisi tersebut terungkap dalam rapat konsultasi angara Komisi II DPR, Pemerintah dan Penyelenggara Pemilu pada Rabu 3 Juni 2020 lalu. Paparan kebutuhan tambahan anggaran dari KPU dan Bawasu sebagai akibat pelaksanaan pilkada dengan protkol Covid-19 direspon dengan akan menjadwalkan rapat dengan Kementrian Keuangan.

Kerangka Hukum

International IDEA merumuskan 14 tolak ukur untuk menentukan sebuah penyelenggaraan pemilu dapat memenuhi standar pemilu demokratis. Di dalam 14 poin tersebut, poin pertama adalah soal kerangka hukum. Kerangka hukum mesti disusun  sedemkian rupa sehingga tidak bermakna ganda, dapat dipahami, terbuka, dan harus dapat menyoroti semua unsur sistem pemilu yang diperlukan untuk memastikan pemilu yang demokratis (International IDEA: 2002).

Agar sebuah kerangka hukum tidak bermakna ganda, serta mampu dipahami oleh semua orang yang terlibat di dalam pemilu, tentu mesti disiapkan dengan baik. Kerangka hukum mesti melibatkan multistakeholder agar materi muatannya komprehensif dan aktual. Selain masukan, karena kerangka hukum akan berdampak kepada implementasi teknis dari sebuah pemilu, pilihan terhadap hal-hal yang akan diatur mesti berbasiskan pada simulasi yang akurat dan faktual. Setelah semua itu, sebuah kerangka hukum perlu disosialisasikan secara meluas. Tujuannya agar hal-hal apa yang sudah disusun di dalam kerangka hukum pemilu, dapat dilaksanakan secara demokratis dan dipahami oleh semua orang.

Kondisi ini yang tidak terjadi di dalam persiapan kelanjutan Pilkada 2020. Pemerintah, DPR, dan KPU nekad meneruskan tahapan pilkada ditengah pandemi, disaat tidak ada kerangka hukum yang memadai untuk melaksanakan pilkada disaat bencana masih terjadi. Apalagi bencana tersebut berstatus pandemi. Lebih mengherankan lagi, Pemerintah, DPR, dan KPU seolah tidak sensitif terhadap angka infeksi Covid-19 yang masih terus bertambah. Bahkan, rilis dari pemerintah sendiri melalui juru bicara penanganan Covid-19, pertambahan jumlah korban yang terinfeksi Covid-19 tertinggi terjadi pada Sabtu, 6 Juni 2020, sebanyak 993 orang.

Ketetuan di dalam UU Pilkada sama sekali tidak mengatur mekanisme pilkada disaat bencana terjadi. Mulai dari tahapan pendaftaran pemilih, pendaftaran calon, kampanye, pemungutan dan penghitungan suara, hingga rekapitulasi suara, mengatur pelaksanaan pilkada dalam kondisi tanpa bencana.

Perpu No. 2/2020 yang merupakan regulasi terhadap respon pelaksanaan pilkada karena terjadi pandemi Covid-19, sama sekali juga tidak mengatur mekanisme pelaksanaan pilkada dengan protokol kesehatan yang ketat ditengah bencana. Perpu No. 2/2020 hanya bicara soal penundaan pilkada, melanjutkannya kembali, lalu situasi-situasi yang dapat menunda tahapan pilkada. Artinya, seluruh tahapan pilkada mesti dilaksanakan dalam situasi yang biasa, sesuai dengan kerangka hukum yang berlaku saat ini.

Pemerintah dan DPR tidak bisa hanya memaksa KPU untuk segera menyelesaikan Peraturan KPU sebagai dasar hukum melaksanakan pilkada ditengah kondisi pandemi. Jika memang pilkada akan dilaksanakan dengan protocol kesehatan yang ketat, dan perlu penyesuaian-penyesuaian di beberapa tahapan pilkada harusnya hal tersebut diatur pada regulasi setingkat undang-undang. Pertanyaanya, kenapa mekanisme pilkada dengan protokol kesehatan yang ketat dan penyesuaian di beberapa tahapan tidak diatur di dalam Perpu No. 2 Tahun 2020?

Selain soal ketersediaan kerangka hukum, rasionalitas untuk memastikan kerangka hukum yang disusun itu bisa dilaksanakan atau tidak, perlu juga hitung oleh DPR, Pemerintah, dan KPU. Mungkinkah melaksanakan bimbingan teknis penyelenggara ad hoc pemilu (PPK, PPS, dan KPPS) dengan menggunakan platform dalam jaringan (daring) bisa dilaksanakan secara mereta di seluruh daerah yang akan melaksanakan pilkada? Bagaiamana ketersediaan infrastruktur internet? Bisakah dipastikan semua penyelenggara ad hoc memiliki perangkat elektronik untuk mengikuti bimbingan teknis tersebut?

Proses bimbingan teknis bagi penyelenggara ad hoc ini penting untuk dipastikan dapat menyentuh tujuannya. Jika tidak, ujung tombak penyelenggara pilkada yang akan memfasilitasi pemilih memberikan hak suaranya ini bisa menimbulkan masalah. Suara pemilih yang dipungut oleh penyelenggara ad hoc inilah nanti yang akan menentukan siapa yang akan menjadi kepala daerah. Jika tidak hati-hati, titipan amanah suara pemilih bisa menjadi salah alamat.

Prasyarat Mutlak

KPU dan Bawaslu sebagai penyelenggara pemilu penting untuk memberikan prasyarat sebelum betul-betul melanjutkan tahapan Pilkada 2020. Sebagaimana sudah direncanakan KPU, jika memang pemungutan suara akan dilaksanakan pada 9 Desember 2020, tahapan pilkada mesti dilanjutkan kembali pada 15 Juni 2020.

Karena pelaksanaan pilkada ini ditengah kondisi pandemi, penting untuk dipastikan agar semua alat pelindung diri dan perangkat kesehatan sudah tersedia sebelum tahapan pilkada dimulai. Termasuk juga kepastian tambahan dukungan anggaran sebagai akibat penyesuaian protokol kesehatan.

Jika sebelum tahapan dimulai alat pelindung diri tidak tersedia, dan tambahan dukungan anggaran masih berselimut ketidakpastian, sebaiknya KPU bersikap jelas untuk tidak melanjutkan tahapan Pilkada 2020. Prasyarat ini yang penting ditegaskan oleh KPU dan Bawaslu sebagai sikap kelembagaan untuk memastikan agar penyeleggaraan pilkada tidak asal jadi. Sebab jika transisi demokrasi dilaksanakan dibawah rasa takut ancaman keselamatan jiwa sebagai akibat pandemi Covid-19, pilkada ini hanya akan menjadi ladang kesia-siaan dan penyesalan. []

FADLI RAMADHANIL

Peneliti Hukum Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem)