October 8, 2024

Pilkada dan Netralitas ASN

Salah satu masalah kronis dalam Pilkada adalah politisasi Aparatur Sipil Negara (ASN, dulu disebut PNS). Memang dari segi jumlah, ASN di suatu daerah rata-rata sangat kecil persentasenya dibanding total jumlah pemilih. Tapi jangan lupa, ASN rata-rata memiliki status sosial yang tinggi. Sehingga dukungan mereka ke salah satu Pasangan Calon (Paslon) potensial memiliki efek berlipat di masyarakat.

Jika dicermati, pola politisasi ASN bisa berlangsung dua arah. Pertama, ASN yang dimobilisasi sebagai basis dukungan politik—biasanya dilakukan petahana, sanak keluarganya, atau (mantan) birokrat yang menjadi Paslon. Kedua, ASN yang aktif menggalang dukungan untuk kepentingan salah satu Paslon dengan harapan dapat promosi atau mutasi ke jabatan yang lebih prestise.

Dari sisi regulasi, sebenarnya UU Pilkada sudah mengatur soal politisasi ASN. Pertama, di Pasal 69 dinyatakan bahwa dalam kampanye dilarang: (h) menggunakan fasilitas dan anggaran pemerintah. Kedua, di Pasal 70 dinyatakan bahwa dalam kampanye, Paslon dilarang melibatkan para pejabat dan ASN. Dan ketiga, Pasal 71 UU Pilkada melarang: (a) para pejabat utk membuat keputusan dan/atau kebijakan yang menguntungkan atau merugikan salah satu Paslon; (b) petahana untuk mengganti pejabat daerah sejak 6 bulan sebelum penetapan Paslon; (c) petahana menggunakan kewenangan, program, dan kegiatan yang menguntungkan atau merugikan salah satu Paslon.

Selain UU Pilkada, juga ada beberapa aturan lain.

Dalam paparan Kementerian KemPAN-RB kemarin (30/11) di Rapat Dengar Pendapat antara Komisi II DPR dengan KPU, Bawaslu, DKPP, Kemdagri, KemPAN-RB, Kejaksaan Agung, Mabes TNI, dan Mabes Polri, dijelaskan bahwa sudah terdapat beberapa temuan pelanggaran netralitas ASN.

Secara total, hingga November 2017, terdapat 45 pelanggaran yang ditangani KemPAN-RB.

Soal penegakan hukum, sebenarnya sudah ada nota kesepahaman (MoU) antara Bawaslu, Kemdagri, KemPAN-RB, Komisi Aparatur Sipil Negara (KASN), dan Badan Kepegawaian Negara (BKN).

Soal apakah penegakan hukumnya efektif atau tidak, memang tergantung seberapa jauh komitmen lembaga-lembaga tersebut untuk mengefektifkan MoU ini.

PRAMONO U. TANTHOWI

ANGGOTA KPU RI 2017-2022