August 8, 2024

Pilkada oleh DPRD Akan Diterapkan di Wilayah Rawan Konflik

Kementerian Dalam Negeri akan mengkaji kembali rencana pelaksanaan pilkada secara tidak langsung. Menurut rencana, hanya daerah rawan konflik yang mekanisme pemilihannya dilakukan oleh DPRD. Sementara itu, sejumlah fraksi DPR dan elemen masyarakat menolak rencana tersebut.

Menteri Dalam Negeri Tito Karnavian mengutarakan, pilkada langsung berpotensi menimbulkan konflik horizontal di tengah masyarakat. Menurut dia, pelaksanaan pilkada langsung juga dapat mengganggu keamanan dan ketertiban nasional.

”Hal ini saya pelajari berdasarkan pengalaman saya sebagai Kapolri dan kapolda selama 15 tahun menjaga pelaksanaan pilkada langsung. Berdasarkan teori keamanan, setiap pembelahan akan muncul potensi konflik,” ujarnya di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Senin (18/11/2019).

Tito mengatakan, masih ada sejumlah daerah rawan konflik yang indeks demokrasinya rendah. Oleh sebab itu, pilkada oleh DPRD hanya akan dilaksanakan di daerah yang rawan konflik.

”Seperti contohnya di daerah Papua wilayah pegunungan, indeks demokrasinya cenderung rendah. Namun, di daerah pesisir, indeks demokrasinya sudah cukup baik,” ucapnya.

Nantinya, Kemendagri juga akan melakukan kajian dengan mengundang sejumlah lembaga untuk memberi masukan terkait pelaksanaan pilkada secara tidak langsung. Tito mengatakan, lembaga yang akan diminta masukan antara lain Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia dan Centre for Strategic and International Studies (CSIS).

”Perlu ada evaluasi pelaksanaan pilkada tersebut dan harus dilakukan dengan kajian akademik, bukan hanya empirik semata. Semua evaluasi perlu berdasarkan fakta dan data dengan metode yang benar oleh institusi yang berkompeten,” katanya.

Biaya pilkada yang besar juga akan dirasakan oleh para calon kepala daerah ketika pilkada. Biaya tersebut tidak akan bisa ditutup oleh gajinya dan pemasukan resminya ketika terpilih sebagai kepala daerah.

Tito pun juga telah berkoordinasi dengan Badan Pusat Statistik (BPS) dan Balitbang Kemendagri untuk melakukan pemetaan wilayah mana saja yang indeks demokrasi masyarakatnya masih rendah.

”Ada daerah yang indeks demokrasinya rendah karena tingkat intelektualitas masyarakatnya juga masih kurang sehingga apa pun program yang disampaikan oleh calon kepala daerah tidak akan didengar. Oleh sebab itu, perlu dilakukan pilkada dalam bentuk lain, yaitu pemilihan oleh DPRD,” ucapnya.

Dihubungi secara terpisah, peneliti CSIS, Arya Fernandes, menuturkan, Kemendagri terlalu terburu-buru ketika mencetuskan rencana pilkada tidak langsung. Menurut dia, potensi konflik horizontal di masyarakat tidak bisa diredam hanya dengan menghapus pelaksanaan pilkada langsung.

”Polarisasi ataupun konflik horizontal biasanya muncul ketika hanya ada dua calon kepala daerah yang bersaing untuk merebutkan jabatan. Perlu ada mekanisme yang mengatur agar bisa muncul banyak calon sehingga masyarakat memiliki banyak opsi ketika pelaksanaan pilkada,” ujarnya.

Selain itu, Arya mengatakan, perlu ada kajian yang serius untuk memetakan daerah mana saja yang rawan konflik ketika pilkada. Pendidikan politik yang baik oleh parpol bisa menjadi salah satu cara untuk meningkatkan indeks demokrasi masyarakat.

”Kajian-kajian tersebut bisa dilakukan khusus untuk daerah Papua sehingga bisa disesuaikan mekanisme pilkadanya agar tidak terjadi konflik. Namun, untuk daerah lain, sepertinya kepala daerah tidak perlu lagi dipilih oleh DPRD,” katanya.

Biaya besar

Tito menambahkan, pelaksanaan pilkada langsung juga membutuhkan biaya yang besar. Ia menambahkan, anggaran besar tersebut digunakan untuk mencetak surat suara dan membiayai para petugas pelaksana pemilu.
”Selain itu, biaya pilkada yang besar juga akan dirasakan oleh para calon kepala daerah ketika pilkada. Biaya tersebut tidak akan bisa ditutup oleh gajinya dan pemasukan resminya ketika terpilih sebagai kepala daerah,” ucapnya.

Sementara itu, Wakil Ketua Komisi II DPR dari Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) Arif Wibowo mengatakan, evaluasi menyeluruh terhadap penyelenggaraan pilkada serentak akan segera dilakukan. Evaluasi itu di antaranya terkait maraknya politik uang, strategi memangkas biaya politik, serta penguatan fungsi lembaga yang menangani tindak pidana pilkada.

”Evaluasi ini nantinya untuk perbaikan tata kelola Pilkada 2020, terutama mengantisipasi politik berbiaya tinggi, politik uang yang gila-gilaan,” kata Arif.

Sekalipun ada banyak hal yang perlu dievaluasi, tidak ada poin yang terkait langsung dengan revisi Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada. Revisi UU Pilkada pun diakui Arif bukan prioritas untuk didorong masuk ke Program Legislasi Nasional (Prolegnas) 2020. Pengubahan terlalu berisiko untuk dilakukan karena tahapan Pilkada 2020 sudah dimulai.

Ketua Komisi II dari Fraksi Partai Golkar Ahmad Doli Kurnia menambahkan, evaluasi menyeluruh dibutuhkan untuk menentukan perbaikan pada pergelaran pilkada berikutnya. Termasuk wacana mengembalikan pilkada oleh DPRD sebagai salah satu opsi perbaikan. ”Kita tidak bisa menentukan bahwa pilkada akan kembali oleh DPRD atau apa pun begitu saja. Semua harus melalui evaluasi komprehensif,” katanya.

Penolakan

Wacana mengembalikan pilkada oleh DPRD juga ditolak oleh sejumlah fraksi di DPR. Anggota Komisi II dari Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Mardani Ali Sera, mengatakan, pilkada oleh DPRD merupakan kemunduran bagi demokrasi. Sebab, kepala daerah tidak lagi mendapatkan mandat dari rakyat, tetapi dari DPRD.

Menurut dia, pelaksanaan pilkada oleh DPRD juga tidak serta-merta mengurangi ongkos politik. Biaya yang ditanggung kepala daerah setelah terpilih justru akan lebih besar karena tersandera kepentingan dengan DPRD. ”Ongkos politik bisa lebih mahal karena selama lima tahun kepala daerah ada pada posisi yang tidak kokoh. Ditambah lagi kepentingan publik yang dikorbankan tidak ternilai,” ujar Mardani.

Arif menambahkan, ada sejumlah pilihan untuk mengurangi biaya politik, di antaranya mengurangi biaya kampanye, memastikan daftar pemilih tetap, serta memperbaiki sistem seleksi dan rekrutmen calon kepala daerah. Selain itu, pendidikan politik bagi masyarakat juga sudah harus diberikan sejak dini.

”Jika KPU dan partai politik sudah bekerja sejak awal, menyosialisasikan kampanye bersih, ongkos politik pasti bisa dikurangi,” katanya.

Arif mengatakan, PDI-P telah sepakat bahwa mekanisme pilkada oleh DPRD tidak diperlukan. ”Sebab, itu berpotensi menguatkan oligarki, elitis, dan tidak merepresentasikan aspirasi rakyat secara otentik. Pilkada oleh DPRD bisa saja dilakukan suatu hari kalau kelembagaan parpol sudah baik,” ujarnya. (DHANANG DAVID ARITONANG/KURNIA YUNITA RAHAYU)

Dikliping dari artikel yang terbit di Kompas.ID https://kompas.id/baca/utama/2019/11/18/pilkada-oleh-dprd-akan-diterapkan-di-wilayah-rawan-konflik/