August 8, 2024

Pilkada, Realisasi Janji, dan Covid-19

Pandemi Covid-19 yang belum usai membuat kapasitas fiskal daerah berkurang. Padahal, Pilkada 2020 harus jalan. Pencairan dana tambahan pun dinanti agar ancaman Covid-19 tak menjadi kekhawatiran petugas di lapangan.

Pandemi Covid-19 yang belum usai membuat kapasitas fiskal sejumlah daerah berkurang. Turunnya kemampuan keuangan dicerminkan dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah sejumlah daerah. Akibatnya, kebutuhan anggaran Pilkada 2020 di sejumlah daerah pun tidak terelakkan untuk ditambah.

Tambahan kebutuhan anggaran itu ditujukan untuk memenuhi perlengkapan kesehatan bagi petugas penyelenggara pemilihan. Sebagian di antaranya untuk masker dan cairan antiseptik, sedangkan lainnya guna memenuhi protokol kesehatan Covid-19. Anggaran tambahan itu sudah disetujui pemerintah dan DPR. Namun, sejauh ini baru di atas kertas. Berdasarkan rapat dengar pendapat antara DPR, pemerintah, dan penyelenggara pemilu pada Kamis (11/6/2020) lalu, tambahan anggaran bagi KPU Rp 4,7 triliun, Bawaslu Rp 478,9 miliar, dan Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu Rp 39 miliar.

Pencairan anggaran tahap pertama ditujukan ke KPU dan Bawaslu dengan total Rp 1,02 triliun. Realisasi komitmen itu disebutkan Juni 2020, tetapi hingga lanjutan tahapan pilkada pada Rabu (24/6/2020) depan, anggaran belum juga cair. Konsekuensinya, pelantikan sejumlah petugas ad hoc pun dilakukan bersahaja. Para petugas membawa perlengkapan kesehatan masing-masing, seperti masker dan pembersih tangan. Aktivitas bimbingan teknis di sejumlah daerah juga berlangsung dengan perlengkapan seadanya.

Hal ini tak sesuai Surat Edaran KPU No 488/PP.08.2-SD/07/SJ/VI/2020 tentang Petunjuk Teknis Penyediaan Perlengkapan Protokol Kesehatan Covid-19 pada Pilkada. SE itu menetapkan 10 jenis perlengkapan protokol kesehatan, tak sekadar masker dan sanitasi, tetapi juga pelindung wajah, termometer inframerah, serta alat tes cepat (rapid test) dan vitamin penambah daya tahan tubuh.

“Realisasi komitmen itu disebutkan Juni 2020, tetapi hingga lanjutan tahapan pilkada pada Rabu (24/6/2020) depan, anggaran belum juga cair. Konsekuensinya, pelantikan sejumlah petugas ad hoc pun dilakukan bersahaja. Para petugas membawa perlengkapan kesehatan masing-masing, seperti masker dan pembersih tangan. Aktivitas bimbingan teknis di sejumlah daerah juga berlangsung dengan perlengkapan seadanya”

Fakta itu membuat petugas KPU dan Bawaslu dalam risiko sangat besar. Saat bersamaan, terdapat keraguan dari sisi petugas yang menjalankan tugas di lapangan dan keraguan masyarakat yang berinteraksi. Apalagi dengan alat perlindungan diri yang tidak lengkap.

KPU Tersandera

Teori menarik diutarakan Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Titi Anggraini yang hadir saat acara Satu Meja The Forum: Pillkada di Tengah Korona, yang ditayangkan Kompas TV, Rabu (17/6) lalu. Titi yang hadir secara daring menanyakan sikap KPU yang seperti tersandera terkait keputusan menyelenggarakan Pilkada 2020 pada 9 Desember mendatang. Selain 9 Desember, KPU juga sempat memaparkan pilihan Pilkada pada 17 Maret 2021 dan 29 September 2021. Hal itu karena merujuk sejumlah prasyarat yang diminta KPU jika pilkada digelar pada 9 Desember 2020.

Catatan Kompas, sebagian prasyaratnya mulai dari peraturan pemerintah pengganti undang-undang penundaan pilkada yang harus terbit akhir April 2020, juga pencabutan Peraturan Pemerintah Nomor 21/2020 terkait Pembatasan Sosial Berkala Besar sebelum dilanjutkannya tahapan. Dua syarat itu tak terpenuhi.

Pada kesempatan itu, Titi menyampaikan relevansi untuk melihat kembali kemungkinan memundurkan pilkada ke 2021. Titi juga menyebutkan, keinginan menggelar Pilkada 2020 pada 9 Desember bertentangan dengan argumentasi untuk beroleh kepemimpinan definitif di masa pandemi. Hal ini terkait petahana yang mesti mengambil cuti di luar tanggungan selama masa kampanye. Namun, dengan kontestasi pilkada, kepala daerah membagi fokus, perhatian pada pemulihan warga akibat Covid-19 dan elektoral meraup banyak suara.

Tunggu realisasi

Namun, anggota KPU, Ilham Saputra, dalam acara yang sama menampik bahwa KPU tersandera dan kehilangan independensi. Ilham mencontohkan, langkah KPU untuk menghentikan dan menunda tahapan pilkada yang tengah berjalan pada Maret lalu membuktikan hal itu. Hal yang mungkin belum disadari Ilham dari apa yang dimaksud Titi ialah sikap dan keputusan-keputusan KPU setelah penundaan tahapan tersebut dilakukan.

Ilham juga mengatakan bahwa KPU masih menunggu realisasi tambahan anggaran yang sudah disetujui bersama pemerintah dan DPR, terutama untuk memenuhi kebutuhan perlengkapan kesehatan guna menjalankan tahapan verifikasi faktual dukungan bakal calon perseorangan.

Menurut dia, tahapan itu krusial. Pasalnya, verifikasi dilakukan dengan mendatangi orang-orang dari rumah ke rumah. Dengan kata lain, tahapan itu berisiko cukup tinggi jika dipandang dari potensi penularan Covid-19. Apalagi jika perlengkapan kesehatan untuk memenuhi protokol penanganan Covid-19 belum bisa disediakan secara lengkap.

”Bagaimana dengan janji yang kemudian kita bisa melakukan pengadaan masker, hand sanitizer. Memberikan vitamin. Nah, itu yang belum ada jaminan,” papar Ilham.

Pada sisi lain, regulasi berupa Peraturan KPU (PKPU) tentang Pilkada dalam Kondisi Bencana Nonalam belum kunjung dibahas serta dikonsulltasikan lagi kepada DPR dan pemerintah. PKPU tersebut nantinya akan mengatur tata cara penyelenggaraan setiap tahapan Pilkada serentak 2020 selama masa pandemi Covid-19. Rencananya, jadwal pembahasan tersebut akan dilakukan dalam forum Rapat Dengar Pendapat (RDP) pada Rabu lalu, tetapi ditunda hingga Senin (22/6/2020) mendatang.

Mengenai hal ini, anggota Komisi II DPR dari Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Mardani Ali Sera, yang hadir dalam acara tersebut, mengatakan, Komisi II DPR sudah siap. Akan tetapi, hal lalu dibantah Ilham yang menyebutkan penundaan jadwal justru berasal dari Komisi II DPR.

Ilham juga mengingatkan draf PKPU yang telah dikirimkan ke Komisi II DPR, agar dipelajari dengan seksama sehingga harapannya dalam RDP lanjutan Senin depan, tidak ada lagi pertanyaan-pertanyaan dari nol.

Keuntungan petahana

Direktur Eksekutif Indo Barometer M Qodari mengatakan, pada dasarnya petahana diuntungkan jika saat pilkada dilakukan, yang bersangkutan masih menjabat. Hal ini mengingat interaksi secara penuh dengan masyarakat bisa dilakukan. Kondisi ini dinilainya relatif sama saat pandemi ataupun tidak.

Akan tetapi Gubernur Sulawesi Utara, Olly Dondokambey yang akan kembali bertarung mempertahankan jabatannya justru khawatir jika Pilkada 2020 dilakukan 9 Desember 2020. Alasannya, relatif beririsannya aktivitas sebagai kepala daerah dan dugaan melakukan politisasi bantuan sosial, bisa saja dialamatkan pada petahana.

“Pilkada pada 9 Desember justru berpeluang mendapatkan pemimpin di masa krisis”

Menurut Olly, lebih baik pilkada dilakukan setelah habis masa jabatan sejumlah kepala daerah jika pandemi Covid-19 berkepanjangan. Pasalnya, pihaknya tidak mungkin berhenti memberikan bantuan sosial serta menggerakkan pembangunan ekonomi selama menjabat di masa pandemi berlangsung.
Pelaksana Tugas Direktur Jenderal Politik dan Pemerintahan Umum

Kementerian Dalam Negeri Bahtiar mengatakan, pilkada pada 9 Desember justru berpeluang mendapatkan pemimpin di masa krisis. Selain itu, jika pilkada tidak dilakukan pada 9 Desember, hal itu akan membuat ratusan pelaksana tugas mesti ditunjuk pemerintah untuk menggantikan kepala daerah yang habis masa jabatannya. Pilkada pada awal Desember juga dinilai Bahtiar akan membuat para calon mempertarungkan gagasan dan kinerja hadapi pandemi.

Terkait keraguaan warga jika menggunakan hak pilihnya di tengah pandemi, Mardani menambahkan, hal itu sesuatu yang wajar. Pasalnya, publik dinilai belum menyadari rencana pelaksanaan pilkada di tengah pandemi Covid-19 yang masih tinggi. Biasanya, minat publik untuk mencoblos akan semakin tinggi menjelang hari pemungutan suara pada 9 Desember mendatang.

Namun, meskipun hal itu menjadi kebiasaan saat pemilihan, kini, tampaknya, mesti diingatkan pula ancaman gelombang kedua pandemi Covid-19 jangan sampai benar-benar terjadi. (INGKI RINALDI)

Dikliping dari artikel yang terbit di harian Kompas edisi 19 Juni 2020 di halaman 2 dengan judul “Pilkada, Realisasi Janji dan Covid-19” . https://kompas.id/baca/polhuk/2020/06/19/pilkada-realisasi-janji-dan-covid-19/