Di suatu sore, seorang pria paruh baya baru saja selesai memperbaiki baliho yang tumbang. Sebelumnya, baliho ini telah terpasang kurang lebih setengah tahun. Yang memuat gambar dari seorang tokoh yang dari isi balihonya mensyaratkan yang bersangkutan berniat untuk mengikuti kontestasi Pilkada di daerah itu.
Sang pria yang baru kehilangan pekerjaan sebagai pekerja pariwisata ini mengaku mendapatkan penghasilan dari baliho itu. Jasanya adalah mengecek dan memperbaiki baliho yang terpasang di seluruh kecamatan dan desa di daerahnya. Jasa ini menyerta bentuk kerja utamanya yaitu memasang dan memperbaiki baliho sebagai alat peraga kampanye. Ia juga dijanjikan akan mendapat upah bulanan sebagai relawan pengumpul data sampai menjadi saksi di TPS kelak. Kesimpulannya, pria ini akan mendapat penghasilan beberapa bulan ke depan dalam pesta demokrasi lokal.
Pandemi Covid-19 bukan hanya mengubah tatanan sosial tetapi juga telah menyeret ekonomi dari grafik bertumbuh menjadi menurun, bahkan menuju minus. Bagaikan domino bersusun yang dijatuhkan, sendi perekonomian satu sama lain goyah dan rontok.
Saat Pemerintah melarang kerumunan dan pembatasan sosial untuk menahan laju penularan virus, maka secara otomatis mengakibatkan beberapa aktivitas seperti pesta-pesta, sekolah, peribadatan, restoran, mall, dan objek lainnya harus tutup. Semuanya mengakibatkan PHK/dirumahkan bagi karyawan.
Daerah Perkotaan dan pedesaan yang tadinya saling menyangga di dalam membangun perekonomian, kini saling lempar beban akibat ekonomi yang semakin seret. Bahan baku dari pedesaan tidak lagi ditampung perkotaan akibat pembatasan-pembatasan dan penutupan berbagi sektor ekonomi.
Saat perkotaan mengurangi aktivitas, berdampak besar bagi daerah penyangga/pedesaan. Pasokan hasil pertanian/bahan pangan dan bahan baku produksi menurun tajam, daya beli menjadi berkurang. Produk dari perkotaan tidak memiliki pasar, keseimbangan ekonomi tergoncang dan terancam roboh, di saat seperti ini. Diperlukan suntikan atau stimulus untuk menopang atau memulihkan kembali perekonomian.
Pada suatu acara, Mendagri Tito Karnavian menyebutkan mahalnya biaya Pilkada, baik penganggaran oleh Negara serta dana yang dikeluarkan oleh pasangan calon. Tidak bisa dipungkiri bahwa Pilkada identik dengan biaya tinggi. Sebagai contoh, Kabupaten Humbang Hasundutan yang dimekarkan tahun 2003, biaya Pilkada yang ditanggung oleh APBD Kabupaten di tahun 2015 dan tahun 2020 jauh di atas Pendapatan Asli Daerah (PAD) tersebut.
Kemudian biaya yang dikeluarkan oleh kandidat juga sangat tinggi. Walau tak bisa disebutkan secara gamblang karena berkaitan dengan Laporan Dana Kampanye tetapi biaya yang dikeluarkan oleh kandidat melebihi biaya pilkada itu sendiri. Pilkada saat ini tidak lagi hanya elektabilitas dan kapasitas kandidat, tetapi ada yang terpenting yaitu Isitas (isi dari tas/uang yang ada di tasnya). Jika PAD suatu kabupaten sebesar Rp 35 miliar per tahun, dana APBD untuk pilkada sebesar Rp 50 miliar, dengan empat kandidat yang menyiapkan dana masing-masing sebesar Rp 50 miliar, akan ada Rp 250 miliar perputaran uang di daerah yang PAD nya hanya Rp 35 miliar. Hebat bukan?
Di masa perlambatan dan stagnasi ekonomi akibat pandemik Corona ini, ketersediaan uang sangatlah membantu perekonomian. Anggota DPR pun pernah meminta Menteri Keuangan untuk mencetak uang dan dibagi ke rakyat.
Jika dikaji dari perspektif hak azasi manusia (HAM), serta untuk efektifitas penyelenggaraan di mana setiap warga negara berhak untuk hidup sehat dan nyaman serta menikmati demokrasi dengan bahagia, maka pilkada serentak 2020 sebaiknya ditunda dulu. Sependapat dengan pendapat Menteri Kesehatan.
Tetapi kalau dilihat dari perspektif ekonomi, maka Pilkada Serentak 2020 ini adalah stimulus ekonomi yang sangat membantu perekonomian. Daya beli masyarakat suatu daerah pun bertambah. Sehingga, layak untuk dilaksanakan di tahun 2020 ini walau rentan dengan penyimpangan berupa politik uang. []
PABER SIHAR COLOMBUS SIMAMORA
Pemerhati pemilu dan teknologi