Pilkada serentak merupakan model baru pemilihan kepala daerah yang menitikberatkan pada proses pilkada secara serentak di tiap daerah secara periodik. Konsep ini diperkenalkan pada tahun 2015 melalui UU 8/2015, dengan tujuan penyelenggaraan pilkada yang efektif dan efisien, serta berorientasi pada kerja sama yang baik antar partai politik di daerah sehingga menghasilkan soliditas politik daerah untuk demokrasi yang berkeadaban (Kumolo, 2015).
Setelah tahun 2015, 2017, dan 2018, pilkada serentak akan digelar lagi pada 2020, mengingat kepala daerah produk Pilkada Serentak 2015, akan purna jabatan. Namun, pandemi Covid-19 yang menghantui dunia sejak awal tahun, masih belum diketahui ujungnya. Pagebluk (wabah penyakit) yang melanda dunia ini, tidak hanya soal kesehatan, tapi juga masuk ke sela-sela sendi kehidupan masyarakat, mulai dari ekonomi hingga politik, tak terkecuali Pilkada Serentak 2020.
Persoalan Pilkada Serentak 2020 di tengah pagebluk kemudian meriuhkan diskursus publik, hingga menjadi bahasan di Senayan. Namun, setelah Rapat Kerja Komisi II, bersama KPU, Bawaslu, dan DKPP, DPR bersama Pemerintah bersepakat untuk melanjutkan keseluruhan tahapan pilkada. Alasannya sederhana, pilkada sudah terjadwal dan wabah Covid-19 masih belum bisa terprediksi kapan berakhirnya. Sontak, keputusan ini mengundang protes publik.
Publik dan para pegiat pemilu seperti Perludem, menyatakan bahwa Pilkada Serentak 2020 sebaiknya ditunda karena alasan keselamatan nyawa masyarakat akibat ancaman virus berbahaya ini dan kurangnya koordinasi antar pemangku kebijakan (Perludem.org, 2020). Komnas HAM menyatakan hal senada, dengan alasan banyaknya Bapaslon dan penyelenggara yang juga terinfeksi virus berbahaya ini (Suara.com, 2020).
Ancaman Covid-19 dan Kluster Baru Pilkada
Besarnya penolakan publik bukan tanpa sebab, peforma pemerintah dalam menangani Covid-19 masih sangat buruk. Hingga saat ini, kasus terkonfirmasi di Indonesia hampir menyentuh angka 250 ribu, dengan penambahan kasus perharinya bisa mencapai empat ribu kasus. Masifnya penyebaran Covid-19 diakibatkan masih banyaknya kerumunan masyarakat yang menyebabkan mudahnya transmisi coronavirus kepada orang lain. Sementara itu, hampir di setiap tahapan pilkada, sulit untuk menghindari adanya kerumunan massa dengan mobilisasi massa yang sangat tinggi.
Di waktu bersamaan, terdapat tiga Komisioner KPU yang terkonfirmasi Positif Covid-19 yakni Arief Budiman, Pramono Ubaid, dan Evi Novida Ginting, serta satu Komisioner Bawaslu RI, Ratna Dewi Pettalolo. Selain itu, hingga saat ini, tercatat sudah 63 orang Bapaslon yang terkonfirmasi positif Covid-19 (Salabi, 2020), bahkan 3 bacalon, atas nama Nadjmi Adhani (Cawalkot Banjarbaru), Edward Antony (Cawabup Way Kanan), dan Nur Ahmad Syarifudin (Cabup Sidoarjo), meninggal dunia akibat Covid-19. Ditambah, dari 270 daerah yang ikut dalam Pilkada Serentak 2020, 45 daerah masuk zona merah. Hal ini membuktikan bahwa Covid-19 menjadi ancaman serius pada pagelaran Pilkada Serentak 2020.
Menanti Kesadaran Penyelenggara Pilkada
Pandemi yang semakin gencar mencari mangsa, mengancam tahapan-tahapan lainnya dalam pilkada. Terdapat proses interaksi yang masif dan mobilisasi massa yang besar dalam beberapa tahapan pilkada seperti pendaftaran paslon, penetapan paslon dan pengundian nomor urut, proses kampanye, debat publik, hingga pemungutan suara. Ini terlihat dari pendaftaran paslon di beberapa daerah yang diantar oleh massa yang berkerumun dan berpotensi memunculkan kluster Covid-19 baru.
Peristiwa ini makin mendorong publik untuk menyatakan penundaan pilkada, hingga Presiden Joko Widodo memberikan pernyataan ke publik. Namun, Mendagri Tito Karnavian, hanya melakukan teguran kepada paslon-paslon yang melanggar protokol kesehatan. Ketidaktegasan Pemerintah, serta Bawaslu dan aparat hukum menjadi sinyalemen bahwa penundaan Pilkada Serentak 2020 harus dilakukan.
Fenomena ini sudah dapat diprediksi, dikarenakan belum ada legal frameworks yang jelas dan tegas dalam pengaturan terkait protokol kesehatan untuk pilkada. Terbaru, Presiden menerbitkan Perppu 2/2020 pada Pasal 120 ayat (1) yang hanya mengatur terkait bolehnya penundaan pilkada bila terdpaat bencana non-alam. Namun, protokol kesehatan dan hal-hal teknis lainnya untuk mencegah kluster covid baru di pilkada, belum memiliki landasan hukum yang jelas. Sehingga, PKPU juga tak dapat mengatur lebih rigid karena pengaturan terkait sanksi, sudah sangat rigid dijelaskan pada UU 1/2015 dan UU 10/2016 sebagai perubahan kedua atas undang-undang a quo, bila mengingat asas lex superiori derogat legi inferiori atau hukum yang lebih tinggi mengenyampingkan hukum yang lebih rendah.
Di sisi lain, PKPU 10/2020 yang menjadi pengaturan pilkada di tengah pagebluk, masih mengizinkan pertemuan tatap muka dalam hal kampanye dan debat calon, walaupun terbatas seperti pada Pasal 58 dan Pasal 59 Peraturan a quo. Bahkan pada Pasal 63 ayat 1 PKPU 10/2020 masih membolehkan rapat umum, konser musik, gerak jalan, dan kegiatan berkerumun lainnya. Parahnya, baik PKPU 6/2020 dan perubahannya PKPU 10/2020 tidak mengatur sanksi apapun terkait pelanggaran protokol kesehatan.
Dalam hal penindakan tegas, yang paling mungkin dilaksanakan adalah ketentuan Pasal 9 dan Pasal 93 UU 6/2018 tentang Kekarantinaan Kesehatan, yang menjelaskan bahwa setiap orang harus wajib mematuhi penyelenggaraan kekarantinaan kesehatan dan bila melanggar, dapat dikenakan sanksi pidana. Pengaturan di atas, dapat dilakukan untuk menindak tegas para paslon yang melanggar protokol kesehatan, walaupun penyidikannya hanya dapat dilakukan oleh Polri dan PPNS Kekarantinaan Kesehatan, yang berada di luar dimensi pilkada.
Pilihan Realistis: Tunda Pilkada
Ketidaksiapan kerangka hukum dan penyelenggara pilkada dalam menghadapi pilkada di tengah pandemi, mengkonfirmasi pentingnya penundaan Pilkada Serentak 2020. Penundaan pilkada menjadi pilihan realistis yang dapat diambil karena Pilkada Serentak berpotensi menghasilkan kluster Covid-19 baru yang cukup besar. Selain itu, melihat peforma buruk Pemerintah dalam penanganan Covid-19 seperti tolerannya negara terhadap banyak pelanggaran protokol kesehatan, semakin menguatkan wacana penundaan pilkada.
Keputusan untuk menunda pilkada karena alasan pandemi, akan berdampak signifikan terhadap penanganan Covid-19 yang merenggut banyak korban jiwa. Penundaan pilkada juga tidak merenggut hak asasi dan medegradasi demokrasi, karena hak politik warga dapat dikesampingkan oleh hak untuk hidup. ICCPR dalam ICCPR General Comment No. 29 Art. 4, menyatakan bahwa negara harus mengutamakan hal-hal yang bersifat darurat dan dapat menderogasi derogable rights seperti hak politik (ICCPR, 2001). Lebih lanjut, Katherin Ellena dalam IFES COVID-19 Briefing Series: Legal Considerations When Delaying or Adapting Election, menyatakan paling tidak, terdapat empat hal yang harus diperhatikan Pemerintah dalam penundaan pilkada seperti non-diskriminasi, proporsional, jangka waktu pasti, dan daerah atau lokasi yang pasti dalam penundaan pilkada (Ellena, 2020).
Di samping itu, Perppu 2/2020 yang telah disahkan menjadi UU 6/2020, juga telah memberikan peluang kepada penyelenggara pilkada untuk menunda Pilkada Serentak 2020. Hal ini dikarenakan, faktor penundaan pilkada diperluas dengan nomenklatur “bencana non-alam” yang menjadi sinyal pandemi Covid-19 ikut masuk menjadi faktor. Tinggal, political will dari para stakeholder yang dibutuhkan untuk menunda pilkada dengan mempersiapkan legal frameworks protokol kesehatan secara teknis dan tegas, demi menghindari penyebaran masif Covid-19 di Indonesia. []
KAHFI ADLAN HAFIZ
Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada