September 13, 2024

Polarisasi Publik Setelah Putusan MA

Peneliti Center for Digital Society (CfDS) UGM, Allysa Putri Rendry mengungkapkan pasca putusan Mahkamah Agung (MA) Nomor 23 P/HUM/2024 banyak masyarakat menentang bahkan menolak diberlakukannya putusan tersebut. Namun tak sedikit pula masyarakat yang memandang hal itu sebagai hal yang sah karena berlandaskan hukum dan konstitusi.

“Terjadi polarisasi pendapat di masyarakat dan media. Beberapa merasa putusan tersebut janggal dan menentang keras karena kekhawatiran tentang politik dinasti. Di sisi lain, ada masyarakat yang sangat percaya pada lembaga pemerintah dan memahami proses hukum dan konstitusi,” kata Allysa dalam diskusi online bertajuk “Politik Dinasti dan Putusan MA: Apa Respon Publik dan Media?” (14/6).

Allysa menyebut ketidakpuasan terhadap putusan MA 23/2024 dan putusan MK 90/2023 disebabkan nuansa politik dalam putusan-putusan itu. Banyak masyarakat yang merasa kedua lembaga tersebut tidak independen dan dipengaruhi oleh pihak-pihak tertentu.

“Ketidakpuasan publik bisa berasal dari pengalaman buruk dengan sistem hukum sebelumnya, yang dianggap tidak adil dalam sosial dan ekonomi. Faktor-faktor inilah yang membuat masyarakat sulit menerima putusan-putusan tadi,” jelasnya.

Sementara masyarakat yang mendukung dan tidak mempermasalahkan menurut Allysa karena berlandaskan hukum dan konstitusi. Mereka melihat putusan-putusan itu memberi kesempatan pada generasi muda berpartisipasi aktif dalam politik menghilangkan keterbatasan persyaratan umur.

“Orang-orang yang belum merasakan dampak negatif politik dinasti mungkin menganggapnya tidak berbahaya. Namun, bagi yang sudah merasakan, dampaknya sangat besar, kekuasaan berputar hanya di kalangan terbatas, dan akses politik menjadi sangat sulit,” terang Allysa.

Menurut Peneliti Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Kahfi Adlan Hafidz, menjaga demokrasi tidak hanya memerlukan kepatuhan terhadap hukum, tetapi juga batasan etik. Ia mengatakan, sejarah menunjukkan bahwa negara-negara demokrasi dapat runtuh karena pemimpin hanya bersandar pada ketentuan hukum tanpa memperhatikan batasan etik, seperti Jerman di era Hitler dan Israel saat ini.

“Hal ini juga terjadi di penyelenggara pemilu, di mana banyak anggota KPU mendapatkan sanksi etik dari DKPP. Masalah etika ini dapat meruntuhkan demokrasi dan hak asasi manusia,” ujar Kahfi.

Meski keluarga presiden atau keluarga politik tidak dilarang secara hukum maju dalam pemilu, namun mereka harus mempertimbangkan potensi konflik kepentingan dan nepotisme. Publik harus mempertimbangkan dampak politik dinasti dalam negara demokrasi.

“Negara demokrasi akan berhasil jika dijalankan dengan mematuhi batasan etik dan menjauhkan diri dari konflik kepentingan,” ucapnya. []