Mahkamah Agung (MA) mengabulkan permohonan uji materi yang diajukan Partai Garuda terkait aturan batas minimal usia calon kepala daerah dalam Pasal 4 ayat 1 Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) Nomor 9 Tahun 2020. MA mengubah batas usia bakal calon kepala daerah, dari yang semula dihitung sejak penetapan pasangan calon, kemudian diganti dihitung sejak pelantikan calon terpilih. Prosesnya juga terbilang singkat, hanya butuh waktu tiga hari.
Putusan tersebut diduga sebagai jalan untuk meloloskan putra Presiden Joko Widodo, Kaesang Pangarep, untuk maju di Pilkada 2024. Padahal jika mengacu pada aturan lama, Kaesang tak bisa ikut kontestasi pilkada karena usianya belum genap 30 tahun saat penetapan paslon pada September 2024.
Menanggapi hal tersebut, Ahli Hukum Tata Negara Sekolah Tinggi Hukum (STH) Jentera Indonesia, Bivitri Susanti mengatakan, putusan tersebut memiliki kesamaan dengan putusan MK 90 tentang batas usia capres-cawapres yang meloloskan Gibran Rakabuming Raka sebagai kandidat. Kedua putusan itu sejatinya sama-sama mengotak-atik batas umur dengan menambahkan atau mengubah norma tertentu.
“Soalnya adalah apakah 30 tahun untuk gubernur dan calon wakil gubernur itu dihitungnya sejak penetapan pendaftaran atau sejak pelantikan,” jelas Bivitri dalam Talkshow Ruang Publik KBR bertajuk “Mengkritisi Putusan MA soal Usia Calon Kepala Daerah” (5/6).
Dalam pertimbangan hukumnya MA berdalih putusan itu atas dasar memajukan anak muda. Namun Bivitri memandang, dimajukan atau dimundurkan 3 bulan tidak akan membuat anak muda menjadi tidak muda lagi, ia juga tidak melihat niat itu dalam menjelaskan penafsiran tekstual atau original intent dari UU Nomor 10 Tahun 2016 (UU Pilkada) yang disebut mengakomodasi anak muda.
Lebih lanjut, Bivitri menerangkan, MA membuat putusan yang mengacu pada UUD 1945, padahal kewenangan MA hanya melakukan uji materi peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang. Ia menjelaskan, pengujian materi dengan ukuran UUD 1945 seharusnya dilakukan di Mahkamah Konstitusi (MK).
“Jadi wajar kalau kita kemudian mengaitkan bahwa ini ada soal memori kita membaca sebuah pola yang sama antara mahkamah kakak (MK) untuk kakaknya dengan mahkamah adik (MA) untuk adiknya,” ucapnya.
Ia juga menjelaskan perbedaan antara putusan MK dan MA dalam hal pelaksanaan putusan. Jika MK putusan akan langsung berlaku saat ditetapkan, sementara putusan MA yang meminta merevisi aturan PKPU, aturan itu harus diubah sendiri oleh KPU.
Sementara Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Khoirunnisa Nur Agustyati melihat MA mencampuradukkan antara syarat calon untuk menjadi kepala daerah dan syarat pelantikan calon kepala daerah. Dalam Pasal 7 huruf C UU Pilkada diatur tegas bahwa usia menjadi salah satu syarat pencalonan.
“Inilah yang kemudian membentuk opini publik, sekarang tuh seolah-olah dengan menggunakan instrumen hukum itu semua bisa dilegalkan. Kayak ini jadi dinormalisasi,” kata Ninis.
Ninis menjelaskan, jika UU Pilkada tidak ada perubahan, tetap terdapat syarat pencalonan diri sebagai sebagai calon gubernur dan wakil gubernur minimal berusia 30 tahun. Sepanjang UU Pilkada tidak diatur, seharusnya Komisi Pemilihan Umum (KPU) bekerja sesuai dengan undang-undang, karena kepastian hukum adalah salah satu prinsip pemilu yang berintegritas.
KPU memiliki sejarah kurang patuh terhadap putusan MA, sebelumnya KPU pernah tidak menjalankan putusan MA soal afirmasi keterwakilan perempuan calon anggota legislatif, yang jelas bertentangan dengan undang-undang. KPU juga pernah tidak menindaklanjuti putusan MA mengenai ketentuan mantan narapidana korupsi yang disyaratkan telah menjalani masa jeda lima tahun untuk mencalonkan diri. Dalam dua kasus tersebut, KPU tidak melakukan revisi PKPU dan hanya menerbitkan surat edaran ke partai politik untuk mengikuti putusan.
Diketahui, MA memerintahkan KPU untuk mencabut Pasal 4 ayat (1) huruf d PKPU Nomor 9/2020 yang mengatur batas syarat usia minimum calon kepala daerah, yakni 30 tahun bagi calon gubernur-wakil gubernur dan 25 tahun bagi calon bupati-wakil bupati serta calon wali kota-wakil wali kota sejak ditetapkan menjadi pasangan calon.
“Jadi menurut saya, seharusnya on the track, karena undang-undang Pilkadanya tidak diubah maka yang menjadi pegangan KPU dalam membuat peraturan teknisnya, ya peraturan KPU-nya. Walaupun dalam putusan membatalkan PKPU, tapi sekarang KPU ini dalam tahapan proses pembentukan peraturan teknis PKPU yang barunya. Jadi menurut saya, KPU tidak usah menjalankan putusan MA ini,” jelas Ninis.
Lebih lanjut, Ninis menjelaskan, dalam pemilu penting untuk mengingat prinsip integritas, kejujuran, keadilan, dan kepastian hukum. Ketika membuat peraturan teknis, KPU harus berpegang pada undang-undang Pilkada. Misal undang-undang menyebutkan bahwa syarat minimal usia calon gubernur adalah 30 tahun, seharusnya hal itu menjadi pegangan KPU dalam menyusun aturan teknisnya, sehingga aturan tersebut tidak mudah goyah.
Ia memandang banyaknya permasalahan yang terjadi di tubuh penyelenggara pemilu karena pembentuk undang-undang memilih untuk tidak merevisi undang-undang Pemilu. Akhirnya publik banyak menggunakan jalur uji materi ke MK dan MA untuk mengubah poin-poin tertentu. Sebagai contoh, perubahan usia calon presiden dilakukan melalui uji materi di MK, sedangkan aturan teknis pemilu lainnya diajukan ke MA.
Ia juga menyayangkan putusan MA terkait batas calon kepala daerah dihitung saat pelantikan pemenang Pilkada. Hakim harus memiliki perspektif yang adil dan mempertimbangkan tahapan pencalonan yang sudah berjalan. Karena pendaftaran calon perseorangan sudah dimulai dan selesai diverifikasi, harusnya aturan yang diberlakukan pada calon perseorangan sama dengan calon yang maju dari partai politik.
“Dalam setiap proses pemilu, prinsip keadilan harus dijaga agar tidak ada perbedaan perlakuan yang merugikan salah satu pihak. Hakim dan KPU harus memastikan bahwa semua calon, baik perorangan maupun yang melalui jalur partai politik, diperlakukan dengan adil dan sesuai aturan yang berlaku,” tandasnya. []